18 Chapter 17 : Sparks

"You see, but you do not observe."

A Scandal in Bohemia - Sir Arthur Conan Doyle

< - - - - - >

Bakugo POV

Suara ledakkan besar, asap hitam mengepul dan tubuh seseorang melayang keluar dari arena. Aku tersenyum puas setelah komentator seksi itu menyebutkan namaku sebagai pemenangnya. Pandanganku melayang pada bangku penonton, bertemu dengan mata hijau yang memandang ngeri ke arena. Pandangan palsu yang membuatku muak.

Aku mengalihkan pandangan pada deretan robot-robot kecil putih yang melesat dengan tandu. Tubuh gadis bundar itu tidak bergerak dan membuatku menggeram kesal karena dia sangat lemah. Aku tidak tertarik sama sekali pada gadis itu, sungguh. Meski para pecundang di kelas sedang menjadikanku bahan gosip hangat dan membuat telingaku sakit. Aku bisa saja meledakkan tubuhnya atau mencekiknya jika sedang berjalan denganku. Hanya saja, Deku terlihat nyaman bersama gadis itu dan beberapa kali mulai sering kembali pada kebiasaannya dulu.

Bergumam tidak jelas dan menjadi gugup seketika. Aku tahu kapan dia melakukan akting palsu memuakkan itu, hanya ketika bersama gadis itu dia melakukannya dengan tulus dan tanpa ia sadari. Dia peduli pada gadis itu, melebihi rasa peduli – kalaupun ada – yang bisa dia tunjukkan padaku.

Aku tidak peduli pada gadis itu. Tapi pada akhirnya kakiku bergerak sebelum aku menyadarinya dan berhenti tepat di depan tubuh gadis itu. Wajah bulatnya tertutupi rambut coklat tebal yang sekarang mengembang tidak karuan.

< - - - - - >

"Hei, itu bukan salahmu."

"SIAPA YANG BILANG ITU SALAHKU??!!"

"Kau merasa bersalah."

"AKU TIDAK–"

"Ayolah, tidak ada yang menyalahkanmu. Kau tetap terlihat seperti pahlawan, bahkan seorang pahlawan terhebat pun pernah melakukan kesalahan."

< - - - - - >

Tanpa berpikir dua kali, sambil mengenyahkan pikiran mengenai wajah bulatnya yang bersemu merah ketika tersenyum, aku menunduk dan mengangkat tubuh gadis itu. Mengabaikan robot-robot kecil yang sekarang berhenti dan berbalik untuk mengikuti kami, seolah memintaku menjatuhkan tubuh gadis itu di atas tandu.

Aku tahu, para pecundang di tribun sedang bersorak dengan tindakan bodohku. Seseorang bahkan terbakar amarah dan mengarahkan hawa membunuhnya padaku. Apa dia pikir hal itu akan membuatku takut?

"Jangan mati dulu, bodoh!" Gumamku saat melewati lorong panjang menuju ruang kesehatan.

Setelah melemparkan gadis itu di ranjang dan mendapatteguran keras dari nenek tua pendek di sana, aku pergi keluar dan berniatkembali ke bangku penonton.

< - - - - - >

Tepat di ujung tangga, aku bertemu dengan Deku yang bersandar pada dinding, menunggu kedatanganku. Kedua tangannya terlipat dan dia terlihat mati-matian menahan diri.

Aku tersenyum sinis melihatnya tidak sabaran. Apa karena percakapan dengan bocah es itu? Atau kejadian di arena tadi? Sepertinya para pecundang di kelas sudah membicarakan kejadian tadi dengan heboh dan membuat telinganya panas.

"Kau tahu akan menyesal menantangku?" Mulainya. Lihatlah, dia semakin berani bersikap tidak tahu diri secara terbuka padaku. Biasanya dia akan bersikap manis dan polos seolah kami adalah sahabat lama.

"Aku hanya menambah percikan kecil untuk memanaskan suasana." Jantungku masih berdebar cepat setiap melihat senyum ceria yang ia tunjukkan. Tatapan mata dingin yang berbanding terbalik dari senyumnya itu justru membuatnya lebih menakutkan.

"Berhati-hatilah saat menyulut api Kachan. Kau tidak akan tahu sampai sebesar apa api itu menjalar. Apakah dia akan memberikan kehangatan? Atau justru melahapmu hidup-hidup?"

Tenggorokanku tercekat, berusaha menelan air liur dengan gugup. Deku tidak pernah bermain-main ketika mengatakan sesuatu, itu adalah ancaman untuk kesekian kalinya yang telah dia lontarkan padaku sejak perselisihan kami.

"Huh," aku mendengus untuk menghilangkan rasa tidak nyaman di tenggorokanku. "Kau akan berurusan dengan api sesungguhnya setelah ini."

"Oh, si anak malang dari nomor 2." Dia mengangguk maklum. "Kau juga mengetahui kisah menyedihkannya."

Cepatnya pergantian suasana hati Deku, kadang-kadang masih membuatku ketakutan. Aku bukanlah seseorang yang takut pada hal bodoh, tetapi jika menghabiskan masa kecil dengan anak yang menakutkan seperti Deku mungkin mereka sudah gila sekarang. Aku menjatuhkan ketegangan yang tadi tercipta, melupakan ancamannya dan menanggapi dengan santai.

"Kau akan menang dengan mudah jika dia masih keras kepala." Komentarku.

Aku tidak segera mendapatkan jawaban darinya, mata yang memang kosong itu sekarang semakin tidak bernyawa. Deku sedang berpikir keras.

"Aku tidak berniat kalah darinya, tapi aku tidak ingin menang dengan mudah tanpa menikmati pertarungan." Ia bergumam seraya memandangi pada kedua telapak tangannya.

Bocah es itu berhasil menarik perhatian Deku.

Aku tersenyum mengingat percakapan mereka, "kau sama dengannya."

Mendengar hal itu, tubuh Deku menegang, dia melirik marah. Emosinya terpancar dengan jelas, bahkan dia semakin pintar menunjukkannya.

"Apa maksudmu?" Nadanya menjadi berat dan penuh tekanan.

Aku berjalan tidak acuh, melewatinya yang bisa saja menerkamku ketika kami berpapasan. "Kau paham apa maksudku."

< - - - - - >

Aku menyulut kembali kemarahan Deku dan menantikan pertandingan seru di bawah sana. Aku duduk di bangku tengah, menatap serius pada arena yang sudah bersih dan siap digunakan. Si rambut bodoh sedang duduk di sebelahku sambil terus mencoba mengajakku berbicara. Dasar otak udang, memangnya dia kira aku tidak tahu. Dia hanya ingin mengorek hubunganku dengan si gadis bulat itu.

Selang beberapa menit, Deku dan si bocah panas dingin dengan muka kaku berjalan memasuki arena. Deku terlihat lebih santai, tetapi masih memendam amarahnya. Dari sudut lain aku mendengar gadis berwajah bulat yang tadi pingsan tidak berdaya berlari tertatih-tatih mencari tempat duduk di sekitar bangku penonton. Kami bertemu pandang sesaat dan dia tersenyum lebar seolah berterimakasih padaku.

Aku mengacuhkannya dan mengalihkan tatapan pada arena. Menunggu dengan sabar sampai keduanya memulai pertarungan.

Serangan es meluncur membuka pertarungan, Deku menghindar sambil meningkatkan kekuatan dan kecepatannya. Beberapa kali tangannya beradu dengan batu es yang tidak berhenti menyerang untuk menciptakan jarak diantara mereka. Bodohnya, Deku terkena salah satu serangan dan melukai punggungnya. Oh, itu pasti sakit. Lukanya menganga besar dan berdarah-darah.

Aku tidak bisa melihat ekspresi Deku, tapi bocah es itu sudah kedinginan. Darah yang awalnya mengalir deras berhenti menetes, seolah Deku telah kehilangan seluruh darah di tubuhnya. Aku memicing melihat kejadian itu, meludah dengan kasar tepat di sebelah kaki bocah berambut aneh dan membuatnya terlonjak.

"Haha! Ini pasti seru!" Aku memajukkan diri, duduk tegak untuk mengamati lebih serius pertarungan di bawah sana. Deku kembali berlari mendekat, menghancurkan dinding es besar. Berhasil mengenai perut si bocah es dan hampir membuatnya terjungkal keluar arena. Aku bersiap untuk berdiri dan meninggalkan tribun karena sepertinya pertarungan ini sudah selesai. Tapi selama tiga menit ke depan, Deku hanya diam dan tidak melakukan serangan terakhir. Aku mengerut tidak senang. Mulutnya bergerak, mereka membicarakan sesuatu. Aku tidak bisa mendengar karena jaraknya yang terlalu jauh.

Aku fokus pada mulut Deku, berusaha menebak arah pembicaraan kecil mereka yang lebih penting dari pada mengakhiri pertarungan ini.

"...APIMU! KEKUATAN ITU MILIKMU SENDIRI, BUKAN AYAHMU!"

Deku mengangkat wajahnya sambil berteriak cukup keras, membuat bocah es itu tersentak dan stadium langsung heboh akibat kelopak matanya yang tertutup rapat. Aku meremas tanganku yang basah dengan keringat dan rasa gatal untuk meledakkan sesuatu.

"Sialan! Si brengsek itu!" Letupan kecil terbentuk untuk meluapkan perasaan kesal yang membendung sejak tadi.

Bocah es itu memanas dan menguarkan uap panasnya ke seluruh sudut stadium. Percikan api terbentuk, perlahan mulai membesar. Aku menyadari Deku tersenyum puas dengan perubahan itu dan tidak sabar untuk kembali menerjang dengan serius. Deku terus melayangkan pukulannya, bocah es itu juga menggunakan kedua quirknya dengan baik. Sebelah tangan Deku membeku, lawannya pun hampir babak belur.

Kegilaan itu bertahan cukup lama sampai akhirnya Deku kehilangan konsentrasi dan melepaskan kewaspadaannya. Tubuhnya terhempas keluar dari arena menabrak dinding setelah diserang dengan tiang es bertubi-tubi. Tertancap cukup lama, sebelum jatuh ke tanah kering di bawahnya.

< - - - - - >

"A-A-APAAA?!!" Aku meluapkan seluruh emosi dan meledak-ledak tidak karuan. Deku terlempar keluar arena semudah itu? Yang benar saja?!

Para pecundang di sekitarku berusaha menahan agar aku tidak melompat dengan ganas ke bawah sana dan menghajar Deku.

"KAU BILANG AKAN MAJU SAMPAI FINAL! DASAR BRENGSEK TIDAK PUNYA OTAK!!!"

"Ba-bakugou-Kun!"

"Te-tenanglah!"

"To-t-ttolong kami..."

"URARAKAA!!!"

Aku menangkap kedipan samar dari mata Deku, dia terbangun dan justru tampak semakin tidak berdaya. Pasti terjadi sesuatu. Apa Deku menyadari kesamaan dia dengan bocah es itu?

Si brengsek itu, apa yang dia pikirkan?!

< - - - - - >

avataravatar
Next chapter