17 Chapter 16 : It's Yours

"Orang yang memendam perasaan seringkali terjebak oleh hatinya sendiri. Sibuk merangkai semua kejadian di sekitarnya untuk membenarkan hatinya berharap. Sibuk menghubungkan banyak hal agar hatinya senang menimbun mimpi. Sehingga suatu ketika dia tidak tahu lagi mana simpul yang nyata dan mana simpul yang dusta."

Daun yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin - Tere Liye

< - - - - - >

Aku berjalan dengan cepat menuju arena pertandingan, tepat setelah namaku bergaung dilapangan. Hentakan kaki seseorang yang berjalan tepat di belokan ujung, langkah yang berat itu mengingatkanku pada seseorang. Aku melewati pria setinggi 7 kaki, dua kali tinggiku, membuatku paham kegunaan pintu-pintu raksasa di kelas Yuei.

Aku ingin menghindar dari masalah, tidak terlibat dalam urusan keluarga si nomor dua yang malang. Tapi sepertinya hari ini keberuntungan sedang membenciku. Endevour, si raksasa api berwajah garang, berbalik dan menegurku.

"Kau, anak yang dekat dengan All Might." Komentarnya membuatku menahan diri untuk tidak meludah. Buah tidak jatuh jauh dari pohonnya, mereka membicarakan hal yang sama.

"Kau tahu, sehebat apa pun dirimu sampai menarik perhatian All Might, Shoto-ku pasti mengalahkanmu. Jangan membuat pertarungan ini membosankan dan mempermalukan Shoto, sebaiknya kau berusaha." Setelahnya Endevour kembali berjalan menjauh, seraya memberikan tatapan tajam menusuk.

Aku tersenyum dan memilah kata-kata yang tepat sebelum mengeluarkannya. "Endevour-San, aku bukan All Might." Aku berbalik, menghilangkan sikap kaku sejak bertemu dengannya. Mengarahkan bola mataku tepat ke wajahnya yang berbalik.

"Aku tahu, kau bukan All Might." Dengusnya.

Aku memberikan senyum kecil padanya, "Todoroki juga bukan dirimu."

Suara degup jantungnya semakin cepat. Dia menangkap maksudku dengan cepat. Sejujurnya, aku melakukan ini bukan karena Todoroki, aku hanya kesal hari ini. Sangat kesal, terlebih dengan sikap Kachan tadi. Aku pun berjalan meninggalkan Endevour yang meracau dan menyumpahiku sepenuh hati.

< - - - - - >

Aku berdiri berhadapan dengan Todoroki, mendengar dengan tenang - sambil berusaha mengurangi volume suara Present Mic yang membuatku bersumpah untuk merusak pita suaranya - sampai Midnight memberikan aba-aba. Aku menggerutu, berusaha terlihat tenang sambil berpura-pura ketakutan dan gugup adalah tugasku. Tapi saat ini, aku hanya ingin menghancurkan anak sombong yang berhasil memecah belah kepalaku setelah deklarasi perangnya tadi.

"PERTANDINGAN DIMULAI!!"

Aku langsung menurunkan kelopak mataku dan sedikit menunduk, menutupinya dengan poni panjang yang masih kurawat dengan baik. Menunggu gerakan selanjutnya dari Todoroki sambil berkonsentrasi.

Serangan pertama datang, getaran menjalar di sepanjang arena, tepat setelah Todoroki menggerakan tangan kanannya. Aku dengan cepat memasang kuda-kuda dan mengarahkan kepalan tanganku pada gunung es runcing yang siap merobek perut. Seluruh tubuhku dialiri oleh kekuatan One For All. Bergejolak dan mendesakku untuk menggunakannya. Aku tidak menolak keganasan itu, menyerahkan seluruh diriku untuk dikendalikan oleh kekuatan besar yang merasukiku.

Todoroki kembali melemparkan serangan, getaran demi getaran menghantam arena. Aku melompat, menghindari serangan besar yang justru merugikannya sambil mendekatkan jarak kami. Aku tidak berhenti untuk menerima serangan, memanfaatkan kecepatanku untuk terus mendekat, sedangkan Todoroki terus berusaha menjauhkanku dengan serangan esnya. Aku berhasil mendekat, melompat setinggi mungkin untuk mengambil momentum. Aku lengah sejenak, karena tidak menyadari dinding es yang datang kembali melancarkan serangan ke punggungku.

Menyerang titik buta merupakan sebuah keuntungan. Sayangnya bagi orang yang mengandalkan pendengaran, aku hampir tidak memiliki titik buta. Tetapi karena masih melayang di udara, aku hanya sempat menyingkir sedikit untuk menghindari luka fatal. Tubuhku terjatuh dan terguling cukup jauh, hampir mendekati garis batas arena. Punggungku tergores cukup dalam, darah merembas dan membasahi pakaian olahraga Yuei. Todoroki tidak membiarkanku menghela nafas, serangan selanjutnya datang.

Aku memaksakan diri untuk bangun dan melemparkan diri menjauh dari serangan beruntun miliknya. Nafas Todoroki mulai berat, gerakannya semakin lambat. Dia terus menahan diri, tidak menggunakan api miliknya meski quirk es akan menurunkan performa tubuhnya. Aku menggertakkan gigi, darah mulai berhenti menetes di punggungku. Setelah mengalirkan kekuatan 30% di kaki dan mendengarkan beberapa tulang bergeletuk menyakitkan, aku melompati setiap es yang datang, berlari di atasnya berusaha mendekat. Aku melompat dari satu pilar es runcing yang mengancam ke pilar lainnya, berputar di udara dan terus menerjang.

Todoroki menyadari jarakku yang semakin dekat. Degupan jantungnya semakin cepat, dia berpikir untuk mendorongku mundur dengan dinding besar. Tapi aku tidak berhenti, aku menerjang dinding itu dan memukulnya dengan kekuatan 30% sambil meluncur cepat tepat ke perutnya. Todoroki terlambat menahan seranganku, tanganku menghujam perutnya, membuatnya tercekat dan terdorong cepat ke arah luar arena. Tepat sebelum tubuhnya terjungkal keluar, ia menahan dirinya dengan dinding es di belakang.

Aku mengerut kesal, sekarang sepertinya akan mudah jika aku maju tanpa jeda dan menembus pertahanannya untuk melemparnya keluar arena. Tubuhnya sudah tidak kuat menahan dingin akibat efek samping quirk miliknya. Seandainya dia menggunakan apinya, sudah pasti akan mengimbangi efek samping quirk es. Kenapa dia tidak menggunakannya?

Kenapa aku peduli dan tidak menyelesaikan pertarungan ini?

< - - - - - >

Muak, kesal dan marah. Perasaan ini menumpuk sejak siang tadi ketika festival mencapai puncaknya. Aku menggerutu dan mengutuk jeleknya mood yang kudapat hari ini.

"Kenapa kau masih keras kepala?"

Todoroki mengangkat wajahnya memandangiku yang tidak pernah membalas tatapannya sejak pertama kali bertarung.

"Kau menganggap remeh pertarungan ini? Kau merendahkanku sampai tidak menggunakan seluruh kekuatanmu?!"

Aku mengangkat wajah, menunjukkan kedua mataku yang tertutup. Membuat seisi stadion menarik nafas kaget. Bisikkan 'dia menutup matanya?' 'apa matanya bermasalah?' mulai memasuki telingaku. Kamera menyorot tajam ke arah wajahku yang selama ini tersembunyi.

"Apa maksudmu? Apa yang kau inginkan?"

Apa yang aku inginkan?

Pertarungan yang adil. Aku ingin menguras seluruh tenaga di tubuhku untuk melampiaskan rasa frustasi ini. Aku ingin melepaskannya, aku ingin bertarungan serius dan memenangkannya.

"Keluarkan kekuatanmu yang sebenarnya! Gunakan APIMU!"

Todoroki menjadi geram, "aku tetap akan memenangkannya dengan quirk ibuku. Aku tidak akan pernah menyentuh kekuatan ayahku. Tidak akan!"

Dasar keras kepala!

"Bajingan keras kepala satu ini!" Todoroki tertegun dengan ucapan kasarku.

"Aku bilang APIMU! KEKUATAN ITU MILIKMU SENDIRI, BUKAN AYAHMU!" Teriakkanku menggema.

Todoroki tidak bergerak, atau menjawab ucapanku. Hanya sorakan penonton yang terus menyemangati kami tanpa tahu kejadian sesungguhnya di arena. Hawa panas mulai mengepul di arena, aku bisa merasakannya. Api Todoroki yang muncul dan membakar separuh badannya, membuat seragamnya ikut ditelan api besar itu.

Bau terbakar merebak tertiup angin, hawa panas menyentuh wajahku dengan ganas. Aku tersenyum puas, melupakan karakter yang selama ini kubangun. Badanku bergetar, kekuatan penuh mengalir tanpa henti.

Akhirnya!

Aku menerjang kembali dengan kecepatan penuh, melupakan sendi-sendi di kaki yang sudah mengeluarkan bunyi berbahaya. Todoroki menyerang, tangan kirinya teracung bersiap melemparkan semburan api. Tidak ada waktu untuk berhenti atau mundur. Aku menarik tanganku bersiap melepaskan tekanan angin besar.

Ujung kepalan tanganku menyentuh api Todorki, menyebarkan rasa perih terbakar. Api menyebar akibat tekanan angin dari tanganku, membuat penonton bersorak ketakutan. Aku bisa membayangkan, seberapa besar dan kuat api ini.

Inilah pertarungan yang sesungguhnya!

"Kenapa?" Todoroki, meski terus menyerang masih sempat membuka obrolan denganku.

Aku mendekat dan melepaskan pukulan ke wajahnya, Todoroki terdorong mundur. Menggenggam erat tanganku. Reaksi lambat akibat rasa dingin mulai menjalar di tangan kananku. Dia membekukannya!

Aku menarik tanganku yang sekarang dingin dan berat. Tidak putus asa, aku mengarahkan lututku membentur dagunya. Bau darah menguar dengan kuat, Todoroki meludahkan sesuatu.

"Khau, Mido- UGH!"

Aku tidak berhenti untuk mendengarkan omong kosong lainnya. Tangan kiriku melepaskan pukulan di perut Todoroki. Aku terkejut dia masih diam di tempat, meski pukulan yang ku berikan menggunakan All for One hampir 30%. Sekarang jari-jari tanganku terancam hancur.

Todoroki menahan tanganku, "kau, Midorya! Kenapa kau membantuku?" Suaranya serak, berbisik.

Aku tidak bisa menjawab, karena pertanyaan itu sejak tadi terus menggangguku. Kenapa?

"Kau bisa menang dengan mudah, tanpa harus membantuku."

Kepalaku berputar, terus mencari jawaban. Aku tidak pernah memperdulikan seseorang, bahkan tidak dengan Kachan. Kenapa?

< - - - - - >

"... Ibuku menjadi gila."

Ya, dimulai dari kata-kata itu. Aku tidak mendengarkan cerita hidupnya yang tragis itu dengan serius, tapi aku teringat kata-kata itu.

"...Ayahku membuat Ibu membenciku. Setiap melihatku, Ibu akan melihat sosok Ayah..."

Apa karena ini? Kami memiliki nasib yang sama?

Tidak, aku tidak seharusnya peduli. Tujuanku hanya satu, berbeda dengan anak ini. Dia ingin menjadi pahlawan untuk membuktikan bahwa dia bisa kuar dengan quirk ibunya. Aku, melangkah ke sini karena ingin membunuh. Kami tidak mirip sama sekali!

"Keluarkan kekuatanmu yang sebenarnya! Gunakan APIMU!"

"Aku bilang APIMU! KEKUATAN ITU MILIKMU SENDIRI, BUKAN AYAHMU!"

"Ta-tapi, tapi menurutku, bukankah quirk itu milikmu?"

Aku tertegun, membuka kelopak mataku tanpa sadar. Melepaskan semua konsentrasi dan mengacaukan indra pendengarku. Telingaku berdenging. Rasa perih dan bau gosong menyadarkanku. Tangan kiriku terbakar dan Todoroki bersiap melakukan serangan dengan esnya. Dinding itu datang dengan cepat, menghantam perutku dengan ujungnya yang tumpul.

"UGHH!"

Aku terseret jauh, diserbu oleh dua hingga tiga tiang panjang dari es yang menahan tubuhku. Terus meluncur, sebelum berhenti menghantam dinding di luar arena. Sorakan kemenangan bergaung ketika akhirnya aku berhasil mengontrol suara di sekitarku. Meski akhirnya suara itu kembali terdengar jauh.

Kami sama, tentu saja! Bukan pada tujuan, bukan pula pada masa lalu. Kami sama-sama ingin lari dari kenyataan.

Bahwa quirk pria brengsek itu juga mengalir di dalam tubuh ku!

< - - - - - >

avataravatar
Next chapter