15 Chapter 14 : Three Sides

"Bukan seberapa lama umat manusia bisa bertahan hidup sebagai ukuran kebahagiaan, tapi seberapa besar kemampuan mereka memeluk erat-erat semua hal menyakitkan yang mereka alami."

Hujan - Tere Liye

< - - - - - >

Satu minggu sudah berlalu. Kegiatan di Yuei berjalan seperti biasa, meski sempat terkena isu akibat penyusupan Villain yang dapat membahayakan nyawa murid. Beruntungnya tidak ada murid yang mengalami luka fatal. Sungguh suatu keberuntungan.

"Ohayou Izukun!"

Aku melirik Ibu yang menata piring di atas meja dengan gembira. Aku tidak menjawab atau memberikan komentar apa pun. Meski sekarang terdapat tiga piring di atas meja. Wangi nasi goreng mengepul dan memenuhi ruang makan.

Kachan sudah menunggu di depan pintu, jadi aku menghabiskan sarapan secepat mungkin. Membiarkan Ibu yang terlihat asik dengan dunianya, memasak telur rebus sambil berdendang. Saat aku melewati pintu, Ibu datang untuk mengirimku pergi. Mencium kening dan mencubit pipiku gemas. Lalu melambai setelah menitipkanku pada Kachan.

Ibu mulai menyajikan tiga porsi makanan sejak aku pulang sore itu. Tepat setelah kejadian di USJ. Ibu menyiapkan makan malam lebih banyak dari biasanya dan membuat telur rebus.

< - - - - - >

"Okaeri Izukun! Bagaimana harimu di sekolah?"

Aku tidak menjawab, berdiri kaku di ambang pintu.

"Malam ini Ibu membuat sesuatu yang spesial. Tentu saja untuk merayakan kelulusan Izukun di Yuei."

Apa maksud wanita gila ini?

"Ayahmu sampai pulang untuk merayakannya!"

Tubuhku menegang waspada mendengar nama itu, menajamkan pendengaran untuk menelusuri seluruh rumah. Mencari keberadaan pria itu. Dimana?

Tidak ada. Benarkah tidak ada? Kalau begitu, apa maksudnya ini?

< - - - - - >

Setelah hari itu, Ibu terus menyiapkan makan untuk tiga orang. Aku tidak pernah melihat atau merasakan keberadaan pria itu, tapi sampai sekarang piringnya selalu kosong. Aku bahkan tidak tahu kemana perginya makanan itu, atau siapa yang memakannya. Mungkinkah Ibu berhalusinasi?

Tentu saja tidak, pasti orang itu datang. Dia terus datang, karena sikap Ibu terlihat semakin baik setiap harinya. Tapi bagaimana?

Apa ini hanya gertakan? Pesan yang disampaikannya, terlihat seperti dulu.

Aku mengawasimu!

Kau ingin bermain seperti dulu? Aku harus meladeninya, menjadi anak anjing penurut yang takut ditinggal majikannya. Permainan yang menyenangkan.

"Deku, kalau kau terus tersenyum begitu, aku akan menendang bokongmu ke rumah sakit jiwa." Kachan memukul bahuku untuk menyadarkan pikiran gelapku.

"Aku sungguh ingin pergi ke sana sekarang."

Kachan tidak menjawab, dia lebih sering berpikir sebelum mengatakan pikirannya secara spontan. Padahal biasanya dia tidak akan berpikir sebelum mengatakan sesuatu.

"Hari ini kau ingin pergi latihan?"

"Tentu saja. Festival olahraga Yuei beberapa hari lagi bukan?"

"Ya, waktunya menendang bokong murid sombong dan mencapai puncak."

Kachan dan obsesinya dengan menendang bokong seseorang. Aku tidak menanggapi ucapannya. Sebenarnya aku belum menanyakan apa yang di dengar Kachan selama aku pingsan. Kegilaan Ibu sudah cukup untuk mengalihkan pikiranku dari masalah itu.

"Midorya-Kun!!" Suara Uraraka terdengar dari kejauhan. Aku sudah tahu dia berjalan tidak jauh dari kami.

"Ayo pergi ke pantai sore ini." Aku berbisik serius pada Kachan sebelum berbalik dan melambai malu-malu ke arah Uraraka.

"Ohayou, Katsuki-Kun!"

Aku mendelik, menaikkan sebelah alis ketika mendengar Uraraka menyebutkan nama depan Kachan. Bukan Bakugo-Kun seperti biasanya.

"Ayo sebelum terlambat!"

Bersemangat dan penuh energi seperti biasanya. Aku harus bisa mengikuti langkahnya yang riang itu.

< - - - - - >

Aku menerjang dengan cepat setelah mendarat dengan kasar di atas pasir halus. Menggunakan quirk hampir 20% untuk mempercepat langkahku dan menyerang Kachan. Suara ledakan terdengar, lebih berisik dari biasanya. Tetapi sekarang konsentrasiku sudah meningkat dan berhasil mengurangi berisiknya suara ledakan Kachan dan fokus pada gerakan tangan dan kakinya. Kaki kiri bersiap untuk menendang sedangkan tangan kanannya mengarahkan ledakan tepat di telingaku.

Aku mengumpulkan kekuatan di kedua tangan, menarik tangan Kachan sebelum mengeluarkan ledakan besar dan memuntirnya ke belakang. Kachan kehilangan keseimbangan dan membatalkan serangan dari kakinya. Tidak menyerah, tangan Kachan yang lain melayangkan ledakan tepat di wajahku, membuatku mundur dan melepaskannya yang tertatih kembali berdiri tegak untuk serangan berikutnya.

Aku menendang pasir sebanyak mungkin dan berlari mengelilingi Kachan. Sesuai dugaan, Kachan mulai meledakkan udara di sekitarnya untuk menjernihkan pandangan. Aku melompat setinggi mungkin dan menyerang dari atas. Trik kuno yang sering berhasil ketika lawan yakin kita tidak menggunakan trik kotor seperti ini.

Tapi sepertinya Kachan mengenalku dengan baik, karena ketika asap ledakannya berkurang, Kachan langsung mengarahkan kedua tangannya ke atas untuk menyerangku. Aku tersenyum puas meski sadar tidak bisa menghindar selama di udara dengan jarak sedekat itu. Jadi, apa yang harus kulakukan sekarang?

Aku menerobos ledakan besar itu, menyebabkan kedua telingaku berdenging hebat. Aku segera menutup paksa pendengaranku dan menggunakan insting terbaikku untuk menjatuhkan diri tepat di depan wajah Kachan dan menekan tubuhnya ke pasir pantai.

"Hahh, hah..."

Aku menarik oksigen sebanyak mungkin, membuka kembali indra pendengaranku dan menyebabkan cairan hangat dan kental mengalir dari kedua lubang telingaku. Kedua tanganku gemetar, rasa sakit mulai menjalar akibat mencari mati menerobos ledakan sebesar itu.

"Kau benar-benar ingin membunuhku." Geramku setelah meringis dan menahan diri untuk tidak jatuh akibat keseimbanganku yang terganggu.

Kachan menggeram tidak jelas, akibat wajahnya yang terbenam di pasir. Aku menarik rambutnya kasar dan menyebabkan suara batuk-batuk tersedak.

"Kau yang bilang untuk serius."

"Aku tidak bisa membantah yang itu. Aku lupa kau selalu punya niat untuk membunuhku diam-diam."

"Sebaiknya berhat-hati dengan mulutmu."

Kami sama-sama terdiam. Kachan tidak melakukan perlawanan lagi, tapi aku tetap tidak bergerak untuk melepaskannya.

"Kau, menahan ledakan tadi dan menerobos? Tidak seperti biasanya."

"Aku tidak punya pilihan." Aku mengalihkan pertanyaan sebelum introgasi Kachan dimulai. "Kapan Uraraka mulai memanggilmu dengan nama depan?"

"Kenapa kau peduli?"

Aku tidak bisa menjawabnya.Karena sekarang aku juga mulai menanyakan hal yang sama.

< - - - - - >

Aku pernah mendengar Uraraka mengobrol dengan Mina karena gadis bertanduk itu terlihat penasaran dengan interaksi kecil Uraraka dengan Kachan. Serta sikap Kachan yang tidak membentak atau mengusir Uraraka dan menanggapi ucapan tidak penting dari gadis itu.

"Jadi, sejak kapan kalian akrab?"

"Siapa? Aku dan Katsuki-Kun?"

"Lihat, sekarang kau bahkan berani menyebutkan nama depannya."

Uraraka tertawa, "bukankah kalian juga akrab dengannya?"

"Midorya-Kun iya, tapi kami semua tidak. Dia terus menghardik dan berusaha mencekik kami jika berjalan beriringan dengannya."

"Kalian berlebihan."

"Dia bahkan memberikan julukan untuk semua orang."

"Oh, aku suka julukanku. 'Round Face'? Bukankah ini caranya agar bisa akrab dengan semua orang?"

"Aku tidak tahu kau itu bodoh atau polos."

Gadis itu bodoh, sudah pasti bukan? Sepolos apa pun perempuan, tidak ada yang suka jika wajah atau bentuk tubuhnya dihina seperti itu.

< - - - - - >

"Kami hanya sempat berbicara sekali. Setelah pertarungan di ground test beta dan kau dibawa ke ruang kesehatan." Kachan menjawab dengan tenang. Dari detak jantungnya aku tahu dia tidak berbohong.

"Apa yang kalian bicarakan?"

Kachan memberontak, aku mendekatkan wajahku tepat di samping wajahnya. "Kenapa kau ingin tahu? Bagaimana kalau aku sebut ini urusan pribadi?"

Aku melepaskan rambut Kachan dan berdiri dari atas tubuhnya. Membiarkannya mengerang kesakitan sebelum duduk bersila di atas pasir.

"Hei," Kachan kembali bersuara setelah diam selama hampir lima menit. "Jika kau hanya ingin memanfaatkan gadis itu, sebaiknya jangan sampai membuatnya merasa dekat denganmu. Kau hanya akan menyakiti hatinya."

Aku semakin terkejut dengan ucapan Kachan. "Huh, Hahah! Apa otakmu mengkerut. Kenapa kau jadi peduli pada orang lain? Kachan peduli pada seseorang dan mulai menawarkan bantuan tanpa diminta. Kau, apa kau benar-benar Kachan?"

Diamnya Kachan sebagai jawaban membuatku semakin kesal. Aku semakin tidak bisa memahami jalan pikiran Kachan. Menyebalkan! Kenapa kesannya kami sedang memperebutkan perempuan?

Lagi pula, kenapa aku peduli dengan gadis itu?

< - - - - - >

avataravatar
Next chapter