11 Chapter 10 : Villain vs Hero

"Kalau kau ingin menggerakkan orang sesuai dengan kehendakmu, genggamlah rahasianya..."

- Akiyoshi Rikako -

< - - - - - >

Aku melompat keluar dari balik tembok, menahan diri untuk berhenti tepat di tengah-tengah lorong sempit, menyebabkan suara berdecit dari sepatuku. Geraman Kachan terdengar menggema di lorong itu, aku memberikan isyarat agar Uraraka bersiap menerjang.

"Yo Kachan," sapaku sambil mengangkat tangan grogi. Berharap dia tidak memedulikan Uraraka dan membuat rencana kami berjalan mulus.

Selama hampir 10 detik Kachan tidak bergerak. Detak jantungnya pun teratur, tidak ada perasaan ragu-ragu dan cemas akan sesuatu. Kenapa?

Tangan Kachan bergerak, membentang lurus dengan telapak tangan yang terbuka lebar menghadapku. Aku bersiap menahan ledakan besar yang mengarah langsung padaku. Tepat ketika ledakan kecil terdengar, kedua tangannya bergeser, membentuk sudut 75 derajat dan mengarah ke dinding sebelah kananku. Tempat Uraraka bersembunyi.

"Jangan pikir, kau bisa menang dengan mudah DEKU!"

Di sela-sela suara ledakkan, aku berteriak sekuat tenaga.

"URARAKA! LARI!"

Ledakkan itu menghancurkan dinding bahkan hingga ke lantai atas dan bawah. Salah satu bongkahan tembok besar bergerak jatuh ke arah Uraraka. Aku menambah kecepatan dan memfokuskan quirk di kaki, melompat sambil merengkuh tubuh Uraraka. Kami terguling di tangga dan membentur dinding. Tulang selangkaku sepertinya retak.

"Midorya-Kun!" Uraraka berteriak panik.

"Brengsek!" Umpatku.

Aku berdiri dan melompati reruntuhan, Uraraka mengikuti dengan cepat. Beruntung tubuhnya baik-baik saja, sehingga rencana ini masih bisa dijalankan.

Lubang menganga di antara aku dan Kachan – yang anehnya berdiri tenang. Bocah berdiri di depanku masih Kachan yang memiliki parameter kesabaran serendah tikus tanah dan keangkuhan setinggi singa betina. Sehingga aku hanya perlu memprofokasi keangkuhannya itu. Kepercayaan dirinya akan rencana yang disusunnya untuk mengalahkanku.

Tanpa permisi, aku menggendong Uraraka – membuatnya tersentak sehingga detak jantungnya menjadi berisik – dan mengalirkan quirk ke kedua kakiku.

"Kau tahu, aku tidak akan membiarkanmu melewatiku Deku!" Ancam Kachan.

Aku tetap melompat, tetapi kemudian Uraraka mengaktifkan quirknya pada tubuhku sehingga aku melayang di tengah-tengah lubang dan bergerak cepat ke atas. Aku berputar di udara dan menendang langit-langit gedung menuju lantai atas.

"SIALAN!" Kachan mengumpat sambil menerjang dengan ledakannya.

Aku melemparkan Uraraka melalui lubang itu, membuatnya tersandung ketika berusaha untuk berdiri dengan kedua kaki dan jatuh terguling. Aku mendengar bunyi gemeretak di sendi kakinya. Membuatku ragu apakah ia sanggup berlalu ke lantai atas. Tapi dia kembali berdiri dan berlari secepat yang bisa dilakukan oleh seseorang dengan pergelangan kaki terkilir. Bahkan lebih cepat.

Aku dihantam ledakan tepat di telinga kiriku, tanpa sempat menghindar karena masih melayang dengan quirk Uraraka. Dalam keadaan tidak siap itu, telingaku berdenging hebat. Aku terlempar cukup jauh sebelum berhenti ketika membentur dinding. Seluruh tubuhku sakit. Tulang punggungku berderak cukup keras. Tembok tempatku terbentur hancur lebur. Topeng yang kugunakan robek sebelah, menampilkan setengah wajahku. Bau amis memenuhi rongga hidung, sedangkan sesuatu yang kental mengalir di telinga kiriku.

Anjing brengsek itu! Berani-beraninya dia menghancurkan setengah wajahku!

Aku berdiri dengan sempoyongan, berusaha menyeimbangkan pijakanku. Di tengah kesunyian telinga kiri, aku masih bisa menangkap suara derapan kaki Kachan yang berusaha mengejar Uraraka. Tanpa memedulikan keadaan telinga kiriku, aku menerjang melompati dinding untuk menambah kecepatan. Berbelok dengan kasar di salah satu sudut dinding dan melemparkan tubuhku ke arah Kachan dengan kecepatan luar biasa. Kakiku sakit, aku pasti menggunakan lebih dari 30%.

Aku menabrak punggung Kachan, menyebabkan kami berdua terguling di lantai melewati tangga menuju lantai atas dan berhenti di sebuah ruangan kosong luas di ujung gedung.

"Jangan menggangguku Deku!"

"Kau yang jangan mengganggu!" Aku balas membentaknya.

Kachan tertawa merendahkan. "Kau, selalu membuatku menempel padamu! Menyimpan rahasia busuk sendirian dan sekarang berlagak tidak takut mati di hadapanku!"

Aku tersenyum lebar, memamerkan deretan gigi yang dipenuhi darah. "Aku tidak pernah takut mati. Kau, memangnya bisa membunuhku?" Kataku merendahkan.

Akhirnya, ketenangan yang berusaha dia tunjukkan di hadapanku dengan mengatur detak jantungnya, menghilang seketika. Tubuh besarnya bergetar, hanya sedikit. Berusaha menahan diri agar tidak terlihat lemah di hadapanku.

"Lagi pula, yang menyimpan rahasia busuk bukan hanya aku kan?"

Kata-kataku tepat sasaran. Sekarang tubuh Kachan benar-benar bergetar ketakutan. Dengan amarah yang tidak dapat di kontrol, dia mengarahkan granat di pergelangan tangannya ke arahku, mengancam. Bersiap menarik pemicu yang akan mengirimkan ledakan besar ke arahku.

Aku menggerutu, "quirk milikmu benar-benar berisik. Aku bisa tuli dan buta permanen karenanya!"

"Kalau kau tahu, sebaiknya diam saja di tempatmu dan mati!"

Aku membalas, tertawa merendahkan, "sudah kubilang. Kau tidak bisa membunuhku. Tahu apa kau tentang kematian?"

Tangannya mengepal grogi, keraguan menyelimuti ketika bersiap menarik pemicu granatnya. "BRENGSEK! AKU BUKAN ANJINGMU!"

Kachan menarik pemicu, menciptakan ledakkan besar yang menyerbu perlahan ke arahku. Aku melompat di detik-detik terakhir, tepat ketika Uraraka mengaktifkan kembali quirk miliknya dan membuatku melayang ke langit-langit gedung. Dengan kekuatan 30% yang terkumpul di tangan kanan, aku mengarahkan pukulan tepat di tengah langit-langit ruangan.

Kachan masih percaya dengan ledakannya yang mengenaiku, asap dan debu memenuhi paru-paruku. Keberadaanku tertutupi akibat dampak dari ledakkan Kachan, menguntungkanku. Setelahnya Uraraka melepaskan quirk miliknya dan beraksi di atas sana mengamankan bom waktu. Sedangkan aku, menyempatkan diri menyelinap ke belakang Kachan.

Jantungnya sempat berhenti berdetak sebelum iramanya meningkat, di penuhi teror ketakutan ketika jari-jariku menyentuh lehernya.

"Aku, harus mengaitkan tali leher pada anjing yang sudah lepas bukan?" Aku mengeluarkan bisikkan mengancam.

"Mari saling menjaga rahasia busuk masing-masing ke depannya, Kachan."

Bersamaan dengan bunyi berakhirnya pertarungan, tubuh Kachan merosot jatuh ke lantai. Aku hanya memandangnya dengan perasaan senang. Akhirnya bocah angkuh itu paham posisinya.

Suara berdenging itu kembali, menghantam kedua telingaku, menyebabkan tubuhku kehilangan keseimbangan. Aku terjatuh bebas ke belakang sambil memegangi kedua telingaku. Menjadi buta total sebelum akhirnya kehilangan kesadaran.

< - - - - - >

Kesadaranku kembali secara perlahan, menikmati kesunyian dan kegelapan tanpa bisa bergerak karena takut akan keadaan sekitarku. Aku tidak tahu sedang berada di mana, tetapi bahan lembut dan empuk yang kurasakan di permukaan kulitku membuktikan bahwa aku berada di atas tempat tidur.

Ruang kesehatan?

Rasa sakit datang bertubi-tubi setelah aku sadar sepenuhnya. Tetapi tidak separah sebelum aku kehilangan kesadaran. Perlahan berbagai suara memasuki telingaku. Rasa sakit yang berkurang dan kembalinya pendengaran tidak langsung membuatku bergerak tiba-tiba. Aku terus menunggu, sampai aku bisa mencerna semua suara dan memindai keadaan sekitarku.

"... ik-baik saja?"

"Dia beruntung."

"Kenapa telinganya berdarah begitu parah?"

"Anak itu pernah bilang telinganya sangat sensitif bukan? Suara ledakkan dari si jabrik itu merobek gendang telinganya. Beruntung aku masih bisa menyembuhkannya dengan quirkku."

"Lalu, kau ingin bilang sesuatu soal matanya?"

Aku langsung terduduk dan membuat keributan. Recovery Girl dan All Might mengintip dari balik tirai pemisah ranjangku dengan meja kerja Recovery Girl. Nenek itu memandangiku cukup lama. Aku sudah memastikan kontak lensa yang masih menempel dengan aman, memandangi mereka kebingungan.

"Lihat, dia baik-baik saja. Sampai bisa berteriak." Sindir sang nenek.

Aku tertawa kaku, "haha, aku baik-baik saja. Terima kasih Recovery Girl-San."

"Syukurlah," All Might menghela nafas lega. Melepaskan segala rasa khawatir yang membebani "aku khawatir kau tidak akan bangun."

"Uhm... apa yang terjadi?" Tanyaku dengan wajah polos.

All Might menghela nafasnya sekali lagi, terlalu berat untuk mengingat kejadian siang tadi. "Kau pingsan, setelah pertarungan. Kami melihat darah menggenang keluar dari kedua telingamu. Seharusnya kau bilang kalau telingamu memang sangat sensitif, agar kostum pahlawanmu bisa menyesuaikan. Kau juga bisa meminta alat pendukung yang sesuai." Nasihatnya.

Aku berpura-pura merasa bersalah sambil menggaruk kepalaku yang sangat tidak gatal. Sesekali memperhatikan gerakan Recovery Girl yang terus-terusan melirikku.

"Akan aku ambilkan barang-barangmu, sebaiknya kau langsung pulang setelah ini." All Might beranjak dari tempat duduknya.

"Ah, uhmm... t-terima kasih."

< - - - - - >

Setelah pintu ruangan menutup dan langkah kaki All Might yang menjauh, Recovery Girl terang-terangan menatapku dengan kemarahan menumpuk.

"Midorya-San!"

"I-i-iya, Recovery Girl-San."

"Kenapa kau tidak mengatakannya?"

"M-m-masalah, a-a-apa?"

"Ma-ta-mu!"

Aku menghela nafas pasrah, mau bagaimana pun Recovery Girl pasti menyadarinya. Tapi aku tidak pernah menyangka akan secepat ini.

"Maaf, Recovery-San. Jika aku bertanya, apa anak cacat yang tidak bisa melihat akan diterima di sekolah pahlawan?"

Recovery Girl menggeleng dengan sedih. "Tentu saja tidak. Aku bahkan akan menentangnya terang-terangan."

"Bahkan jika anak itu memiliki potensi, dia tetap akan di tertawakan dan di caci maki. Anggap saja, aku ingin mewujudkan impian masa kecilku, meski saat ketahuan nanti aku tetap harus rela meninggalkan sekolah ini."

"Setidaknya kau harus memberitahu Toshinori. Dia sangat mengkhawatirkanmu."

"Apa dia tetap akan memberikan quirknya padaku jika tahu aku buta sejak awal?"

Recovery Girl terdiam cukup lama. "Ya, jika alasannya memberikan quirk bukan karena keterbatasanmu. Toshinori pasti memiliki alasan yang lebih kuat."

Bahkan jika dia tahu aku sedang memanfaatkannya?

Sebaiknya tidak terlalu berharap. Karena itu aku hanya memasang senyum menenangkan di hadapan Recovery Girl sambil membujuknya untuk menutup mulut.

"Aku tidak akan membeberkan apa pun. Itu hakmu dan rahasia milikmu. Kaulah yang harusnya tahu kapan mengatakannya."

"Terima kasih, Recovery-San."

Di dunia ini, tidak akan ada yang menerima anak cacat. Bahkan jika anak itu diberkahi dengan hati bak malaikat sekalipun. Jadi sebaiknya aku tidak berharap All Might memahami keadaanku. Aku akan lebih senang jika ia membenciku setelah semua ini selesai.

Ya, itu lebih baik!

< - - - - - >

avataravatar
Next chapter