10 Chapter 09 : Can You Do It?

"How could the death of someone you had never met affect you so?"

The Cuckoo's Calling - Robert Galbraith -

< - - - - - >

Aku tidak terkejut ketika tidak mendapati kabar dari Kachan pagi itu. Ibu, entah bagaimana, menyambutku dengan onigiri isi tuna. Aku memakannya sambil mendengarkan ocehan Ibu mengenai gosip terbaru soal aktor yang terkena skandal perselingkuhan. Rasa asam dari saus mayo menyebar di mulutku, membuatku sadar akan keadaan normal Ibu.

Aku mendengarkan dengan seksama, masih dengan apronnya, Ibu duduk santai di sofa sambil bergonta-ganti channel TV. Ibu, sadar kan kalau aku akan berangkat ke sekolah yang dilarang Ayah?

Aku berpamitan setelah memakan dua onigiri lagi, semakin terkejut ketika Ibu dengan suka rela mengantarku hingga depan pintu. Aku melambai riang padanya, berusaha mempertahankan suasana hatinya hari itu. Aku tidak keberatan jika harus sarapan dengan Nato kalengan di kulkas, tetapi sarapan buatan Ibu memang yang terbaik.

< - - - - - >

Meski sudah menghafal rute ke sekolah, aku sempat beberapa kali dibuat kebingungan akibat kehilangan konsentrasi dan melamun selama berjalan. Sebelum akhirnya aku sampai tepat waktu akibat mendengar suara murid yang ku kenal melewati jalan yang sama denganku. Mereka panik dan takut terlambat, sehingga aku ikut berlari bersama mereka.

"Ohayou, Midorya-Kun!" Uararaka menyambutku di depan kelas.

"Midorya-Kun, kau hampir terlambat!" Iida ikut berseru setelah aku menaruh tas di meja.

Aku tertawa gugup sambil menjawab, "aku melamun di jalan tadi, sampai tidak sadar dan hilang arah."

Uraraka tertawa dengan jawabanku, "kau harusnya membawa kompas."

"Haha, biasanya aku bawa." Aku melirik Kachan yang duduk diam di bangku depan. Detak jantungnya normal, tetapi aku tahu dia pasti sedang memendam amarah setelah ucapanku kemarin malam.

Aku justru akan lebih terkejut kalau menemukannya di depan apartemenku. Jadi amarahnya saat ini termasuk hal yang wajar. Aku juga tidak akan menyalahkannya.

< - - - - - >

Setelah makan siang, aku yang mendengarkan ocehan Uraraka dan Iida dengan setengah hati, menyadari adanya langkah berat dan familiar di lobi kelas. Langkah itu mengarah ke kelas kami, saat menyadari siapa pemilik langkah itu, aku disambut oleh suara menggelegar dan berat dari depan kelas.

"Aku All Might, masuk melalui pintu depan!"

Kelas menjadi sunyi selama beberapa menit, sebelum teriakan kagum dan debaran penuh semangat memenuhi telingaku. "Waahh! All Might!"

Setelah keriuhan kagum akan diajar oleh simbol perdamaian dan pahlawan nomor satu di Jepang, kami berganti kostum untuk melakukan pelatihan di ground test beta. Aku memberengut ketika mendengar keriuhan di ruang ganti laki-laki serta campuran berbagai bau. Aku tidak pernah nyaman jika harus berganti pakaian di ruang ganti. Untung saja aku mengenakan kaus hitam di balik kemeja sekolah. Meski panas, aku tidak ingin mereka melihat luka-luka di tubuhku.

"Waahh, Midorya-Kun, kostummu keren!"

Aku sedikit tersipu dengan pujian Uraraka ketika kami bertemu di ground test beta.

"Kenapa memilih warna hijau putih? Aku ingat kau pernah mengenakan warna training itu saat test kemarin." Iida menambahkan.

"Oh, oh. Apa itu warna favoritmu?" Uraraka bertanya dengan semangat.

Aku menggaruk pipi, merasakan bahan sarung tangan yang tebal dan hangat di wajahku. "Sebenarnya, aku buta warna."

Uraraka dan Iida mengeluarkan suara shock yang terdengar berlebihan. Ya, ini adalah tembok sempurna untuk menghindari pertanyaan mengenai warna. Aku tidak berbohong, aku memang tidak tahu warna, karena selama hidupku yang kulihat hanyalah kegelapan.

"Oh, maaf sudah menyinggung."

"Eh... ehmm, tidak apa-apa. Aku meminta warna yang mirip dengan baju trainingku karena tidak terpikirkan warna lain. Aku juga menambahkan agar pembuat kostumku bisa membantu sedikit mengenai perpaduan warnanya."

Kachan yang membantuku menggambar kostum, aku hanya memberikan deskripsi singkat mengenai pakaian yang kuinginkan. Baju ketat yang menutupi tangan dan kaki, sarung tangan panjang sampai siku untuk meringankan beban tekanan quirk, topeng dengan telinga kelinci yang merepresentasikan rambut All Might, dan sepatu dengan sol yang kuat untuk tekanan kekuatan ketika melompat.

Aku meminta beberapa alat pendukung seperti penutup telinga yang dapat mengurangi jumlah suara yang jauh dan hanya fokus pada suara didekatku. Topeng kelinci pun aku meminta dibagian mata untuk dibuat tertutupi jaring-jaring hitam. Sehingga setidaknya lawanku tidak akan tahu aku menutup kedua mataku, meski mereka tahu pun tidak jadi masalah bagiku. Karena saat itu mereka pasti meremehkanku.

Iida dan Uraraka saling memberikan komentar dan pujian mengenai kostum masing-masing. Dari yang kudengar, Iida memiliki kostum yang mirip dengan Ingenium, menjadikan kakak laki-lakinya sebagai panutan. Uraraka memiliki kostum yang imut, dengan perpaduan warna pink dan putih dengan baju ketat dan helm mirip astrounut.

< - - - - - >

Setelah segala keributan tak berujung, All Might datang sambil membawa kotak berisi bola-bola yang sudah dilebeli dengan nomer. Aku memberengut ketika mendapati bahwa aku tidak dapat meraba tonjolan angka di bola dengan baik akibat luka di jari-jariku. Aku mencoba sekali lagi dan tetap saja ragu dengan angka yang kudapatkan. Akan terlihat aneh jika aku bertanaya pada orang-orang untuk memastikan.

"Eeeh, Midorya-Kun, kau satu kelompok denganku ya?" Uraraka melirik bola milikku, membuatku beruntung bisa kabur dari situasi menyebalkan itu.

"Waah, sepertinya iya." Aku membalas dengan tersenyum senang.

Tetapi semua kesenanganku segera di jatuhkan oleh hasil pengundian lawan masing-masing tim. Kachan menggeram cukup keras, tanpa melepaskan tatapan tajamnya padaku. Meski merasa ini bukan waktu yang baik untuk mengganggu anjing yang lepas, aku tetap senang bisa menghajarnya sekali lagi. Aku harus menjadikan kesempatan ini untuk kembali mengikatkan tali leher pada anjing yang sudah kabur sebelum menjadi liar dan tidak dapat dikendalikan.

Kedua tim dibagi menjadi tim Hero dan tim Villain, dimana Villain akan bersembunyi di gedung dan menyembunyikan bom yang akan berbunyi nyaring – sebagai ganti ledakan, karena hal itu berbahaya – ketika waktu kami untuk mengambilnya habis. Aku sudah menghafal lay out dari gedung berlantai 5 itu dan mendapati Kachan serta Iida berada di lantai 4. Mereka tidak bersuara sama sekali, hanya saja Kachan seperti menggoreskan sesuatu di dinding gedung menggunakan batu.

Aku tersenyum puas – merasa beruntung meminta penutup mulut dari besi – sehingga tidak ada yang tahu ekspresi yang kubuat saat ini.

Pintar dan cepat tanggap seperti biasa. Ternyata dia serius ingin melawanku. Apa ini caranya melampiaskan amarah?

"Midorya-Kun, kau siap?" Uraraka meremas tangannya, degupan jantung gugupnya segera mengalihkan perhatianku.

Aku mengangguk mantap, "ya," sebelum menambahkan dengan pelan "sepertinya."

Uraraka tertawa, "mau bagaimanapun kita harus siap."

Aku harus lebih sering membuatnya tertawa. Tetapi sebaiknya tidak dalam waktu genting seperti ini, karena aku akan lebih sering kehilangan fokus.

"Uraraka-San, ketika Kachan menyerang langsung, biar aku yang menghadapinya. Kau pergilah ke lantai 4 dan persiapkan sergapan untuk Iida."

Kami berjalan memasuki gedung. Uraraka tampak sangat tegang, sesekali bersembunyi di balik dinding dan mengintip untuk memastikan lorong yang akan kami lalui selanjutnya. Aku tetap santai, karena tahu Kachan menunggu di tengah-tengah lorong lantai 2.

"Kenapa kau ingin menghadapinya langsung?"

Aku tersenyum dan memejamkan mataku, fokus pada pendengaran. "Karena dia tidak akan peduli padamu. Targetnya adalah aku."

Uraraka terlihat ragu, terlebih ketika kami sudah melewati tangga dan sampai di lantai 2. Di balik lorong itu Kachan menunggu dengan tenang.

"Kau akan baik-baik saja?" Uraraka meremas tanganku.

"Kachan tidak akan membunuhku." Ujarku meyakinkan.

Dia tidak akan bisa. Bahkan jika mencobanya ribuan kali.

< - - - - - >

avataravatar
Next chapter