9 Chapter 08 : Fracture

"I think we regular people may have forgotten a basic truth―we don't really have the right to judge anyone else."

Confessions - Minato Kanae -

< - - - - - >

Lagi-lagi, keberuntunganku datang. Gadis itu memandangiku yang sedang memikirkan hal tidak penting seperti kenapa pintu kelas kami memiliki besar dan tinggi dua kali lipat dariku? Kachan sudah melesat masuk dan menduduki bangku paling ujung dekat dengan jendela di baris ke tiga. Dia menandai wilayahnya dengan meletakkan kaki di atas meja. Sombong, angkuh dan percaya diri seperti biasanya.

"Selamat pagi!" Sapanya riang.

Aku mundur selangkah akibat wajahnya yang sangat dekat, hampir tidak menyadari fakta bahwa kami memang memiliki tinggi yang sama. Sambil menutupi wajahku yang memanas, aku merasakan debaran jantung akibat sikap sok akrabnya.

"Kau bocah hijau yang menyelamatkanku. Syukurlah kau lulus ujian!" Aku rasa dia tersenyum. Entahlah, sekarang aku benar-benar penasaran bagaimana seseorang jika tersenyum. Apa dia selalu tersenyum?

"Bo-bocah, bocah hijau?" Aku mempertanyakan sebutan lucu yang dia gunakan.

Kepalanya mengangguk dengan semangat, sampai-sampai suara gesekan kasar dari baju seragamnya membuatku merinding. Kepalanya tidak akan putus kan? Aku baru pertama kali bertemu seseorang yang penuh energi sepertinya.

"Aku Ochaco Uraraka, salam kenal." Gadis itu mengulurkan tangannya, membuatku tergoda dan penasaran seperti apa rasanya menggenggam tangan itu.

"I-i-izuku Mi-m-midorya, sa-salam kenal!" Tanganku berhenti bahkan sebelum menyentuh ujung jarinya, akibat sebuah keributan mengalihkan perhatian kami.

"Hei! Kau tidak menghargai properti sekolah yang telah digunakan turun-temurun oleh kakak kelas kita. Sebaiknya turunkan kakimu sekarang juga!" Keributan yang berasal dari tempat duduk Kachan membuatku menoleh penasaran dan menemukan anak berkacamata yang menegurku sedang menyulut emosi Kachan.

"Bocah kacamata berisik ini," Kachan bergumam sambil berusaha menulikan telinganya.

"Hei! Kau tidak mendengarku?"

Oke, sekarang aku ingin Kachan mengamuk saja. Anak itu menyebalkan.

"MEMANGNYA KENAPA? MAU KUTARUH KAKIKU DI KEPALAMU JUGA BUKAN URUSANMU, SIAPA YANG PEDULI PADA ORANG-ORANG TUA ITU!"

Aku langsung berjalan cepat untuk menarik Kachan.

"Kenapa kau menghalangiku?!"

"Su-sudahlah, Ka-k-Kachan. Lagi pula dia ada benarnya juga, kau tidak mungkin mengotori meja belajarmu selama satu tahun ke depan kan?" Bujukku, sesekali memberikan lirikan untuk menyuruhnya diam saja.

Kachan kembali duduk, membuat semua orang yang memperhatikan berbisik-bisik kagum.

"Dia menjinakkannya!"

"Itu anak yang kasar dan meledak-ledak saat ujian kan?"

"Anak pengumpat yang merobohkan gedung ya?"

"Sudah kubilang dia jinak, saat makan siang ayo ajak dia."

Oke, aku rasa rumor tentang Kachan tidak ada yang baik. Kenapa pula harus menggunakan kata 'jinak', dia kan bukan anjing. Setidaknya bukan anjing mereka kan?

"Kau, anak mengantuk waktu itu?"

Aku baru menginjakkan kaki di kelas ini selama kurang lebih 10 menit dan sekarang sudah punya dua julukan. Kenapa semua orang selalu mengingat seseorang dengan cara yang aneh.

Tiba-tiba saja anak berkacamata itu membungkuk, "maafkan aku sudah menegurmu waktu itu. Aku tidak tahu kau sudah mengerti maksud ujian praktik kemarin."

Aku langsung teringat kata-kata All Might mengenai skor ku yang memiliki selisih sangat jauh dari yang lain, akibat poin penyelamatan yang kulakukan. Gadis itu benar-benar menjadi jimat keberuntunganku, haruskah ku tempatkan ia di dekatku?

"E-eh, uhm... tidak apa-apa. Kau juga tidak salah, aku yang lengah tidak mendengar penjelasannya."

Anak berkacamata itu terlihat senang dengan reaksi bersahabatku, kembali berdiri tegak – terlalu tegak, aku sampai bertanya-tanya apakah punggungnya tidak sakit – dan mengulurkan tangannya padaku. "Aku Tenya Iida, salam kenal!"

Wah, wah, lihat siapa yang kutemukan. Adik dari Ingenium, benar-benar beruntung. Sebaiknya berteman dengannya. Aku menyambut tangan itu dengan terburu-buru dan memperkenalkan diri.

< - - - - - >

Setelah dikejutkan oleh sosok kepompong kuning aneh dan menyeramkan – deskripsi Kachan ketika aku bertanya kenapa semua orang mengeluarkan suara tercekik – serta perintah tegas untuk berganti pakaian gym untuk melakukan tes, kami semua berakhir di lapangan luas di belakang gedung utama.

"Kalian pasti ingat tes kebugaran yang pernah dilakukan saat SMP dulu, kali ini kita akan melakukan tes yang sama. Hanya saja kalian diperbolehkan memakai quirk." Guru kami yang memperkenalkan diri sebagai Aizawa Shouta, membuat hampir seisi kelas merinding ketakutan ketika dia tersenyum. Bahkan Kachan sedikit sependapat dengan mereka.

"Baiklah, aku terlalu malas menjelaskan, kalian mencobanya langsung saja." Dia melemparkan bola itu ke arahku.

"Kau. Poin ujian praktikmu hampir setara dengan All Might." Setiap orang mendesah terkejut, sedangkan Kachan memberikan desisan menyebalkan.

"Lempar bola itu menggunakan quirkmu." Perintahnya.

Kachan, meski setenang anjing Bullmastif, melirikku ragu-ragu. "Oi, kau benar-benar akan melakukannya?" Nadanya khawatir, meski berbisik dengan tenang.

Aku maju ke tempat yang di tunjuk Aizawa-Sensei. Membuat Kachan menjadi lebih tegang dari sebelumnya, bersiap-siap untuk segala kemungkinan yang akan terjadi.

Aku mengatur quirkku sebesar 25% – yaps, aku tidak hanya berdiam diri menunggu waktu tahun ajaran baru, tentu saja aku melatih quirkku dengan All Might – merasakan getaran kekuatan yang mengalir di tangan kiriku. Menurut All Might, tubuhku memancarkan aliran hijau elektrik ketika mengaktifkan quirk One for All.

Aku menarik tangan kiriku ke belakang dan melontarkannya sekuat tenaga ke depan. Bola itu langsung berdesing di udara, membuatku meringis mendengarnya. Aku kembali fokus ketika Aizawa-Sensei membacakan jarak yang di tempuh bola tersebut. Aku tercekat akibat kata-kata 'infinity' keluar dari mulutnya.

"A-A-APA-APAAN ITU DEKU?!!"

Kachan yang memiliki kesabaran setipis selembar tisu, terbakar amarah akibat quirk yang ku tunjukkan. Yah, bukan salahnya, dia tidak pernah melihatku menggunakan quirk ini. Langkah beratnya dengan niat menerkamku itu langsung dihentikan oleh Aizawa-Sensei.

"Aku tidak ingin mengasuh anak-anak yang tidak kompeten, bahkan tidak bisa menahan amarahnya sendiri. Jika kalian mendapat urutan paling bawah di setiap tes, aku tidak akan segan-segan mengeluarkan kalian dari kelasku."

Dengan begitu kami mulai mengikuti Aizawa-Sensei yang berjalan menuju sudut lain lapangan tempat tes pertama akan dijalankan. Aku menepuk bahu Kachan sambil lalu, "kau bisa memukulku di pantai malam ini."

"TCH!"

< - - - - - >

[Aku sudah di pantai, jangan kabur dan jelaskan semuanya. Sebelum aku benar-benar menghajar wajah brengsekmu itu]

Aku berjalan ke pantai setelah mendengar pesan Kachan, meski sudah berdiri di balik pohon di dekat pembatas pantai dengan jalan raya selama hampir satu jam. Aku tetap menunggu dengan sabar sampai Kachan muncul lebih awal, karena jika tidak, dia akan melompat dan menyerangku membabi-buta.

"Jadi, kau ingin mengetahui yang mana?"

Kachan mati-matian menahan dirinya untuk tidak menerjang ke arahku, "quirk yang kau gunakan tadi."

Sekarang dia menjaga jarak dan detak jantungnya semakin cepat. Tunggu, dia tidak ketakutan kan?

Aku tersenyum sinis, "aku meminjamnya, agar bisa masuk ke Yuei."

Kachan mengerut, "k-kau tidak melakukan hal aneh kan?"

"Memangnya definisi 'meminjam' sudah berubah ya?"

"Kata itu memiliki makna yang berbeda jika kau menggunakannya."

Aku tertawa mendengar jawaban Kachan. Sekarang amarah Kachan meledak bersamaan datangnya rasa takut akibat senyum dan tawaku.

"Kau tidak salah. Tapi aku serius meminjamnya, dengan izin orang yang memiliki quirk ini, tentu saja. Yah, dengan sedikit akting dan tipu muslihat. Kau tahu, ucapan dan mimik wajah menjadi senjata utama untuk bertahan di dunia yang tidak adil ini." Aku tertawa merendahkan.

Aku mendengar Kachan bersusah payah menelan ludahnya sendiri, "kenapa?"

Aku tersenyum semakin lebar mendengar pertanyaan itu, "apa aku harus memberitahumu? Anggap saja ini urusan pribadiku."

"Aku tidak bertanya alasanmu!" Bantah Kachan. Membuatku memicingkan mata, menunggu lanjutan ucapannya. "Kenapa baru sekarang?"

"Segala sesuatu perlu perencanaan dengan matang dan persiapan yang panjang. Aku baru memikirkan cara ini sebelum mengumpulkan data karir, tapi aku sudah merencanakan hal ini jauh sebelum itu. Waktu yang kudapatkan sangat sempurna."

Kachan mengepalkan tangannya, mengeluarkan pertanyaan yang membuat perasaan puas serta bahagia mulai membuncah.

"Apa, aku juga bagian dari rencanamu?"

Aku tertawa, sampai seluruh badanku bergetar. Kachan mengerut ketakutan sekarang, berharap untuk tidak datang atau bahkan ingin berbalik dan pulang ke rumahnya.

"Kau sendiri sudah tahu jawabannya, sejak hari itu."

Aku menikmati setiap detakan yang dipenuhi perasaan takut itu. "Oh, tenang saja. Aku tidak pernah berniat melukai siapa pun. Kau boleh pegang kata-kataku. Bagian dariku yang ingin menjadi Hero masih ada, hanya saja sekarang bagian yang berpikir rasional menuntunku ke jalan yang sedikit berbeda."

"Deku, kau-" Kachan berhenti di hadapanku, tangan mengepal, kemarahan memuncak.

Aku membalasnya dengan senyum paling ramah, "ayo berjuang bersama selama tiga tahun lagi, Kachan!"

Ya, tiga tahun. Dalam jangka waktu ini, pria brengsek itu harus mati di tanganku!

< - - - - - >

avataravatar
Next chapter