7 Chapter 06 : Exam

"It was one of those moments when a great Don't Care wave hits you, and you float off on it, head back, looking at the sky."

The Screaming Staircase - Jonathan Stroud

< - - - - - >

"OI, gerakkan kaki pendekmu lebih cepat. Aku tidak ingin terlambat!" Gerutuan Kachan pagi itu tidak mengurangi semangat yang aku tunjukkan. Setelah berpamitan dengan All Might pagi-pagi buta, aku langsung mandi dan mempersiapkan pakaian SMP untuk mengikuti tes Yuei.

Aku melewati ruang makan dan mendapati Ibu masih duduk di meja makan sambil memandang sendu pada sisa makanan di meja. Aku memperlambat langkah sebelum mencapai pintu depan, kemudian berbalik menuju ruang makan. Teriakkan Kachan terdengar semakin keras dan mulai mengeluarkan makian kasar.

Aku berhenti di depan pintu yang terbuka lebar, menunjukkan senyum khas Izukun yang mulai jarang ku tunjukkan pada Ibu. "Ibu, aku berangkat."

Secepat itu senyumku jatuh dan berganti dengan tatapan dingin. "Aku pasti akan lulus, Ibu tidak usah khawatir."

Tapi itulah yang Ibu khawatirkan.

< - - - - - >

Aku mengikuti langkah Kachan dari belakang, berusaha fokus untuk memetakan daerah yang baru aku jelajahi. Aku dan Kachan tidak pernah membicarakan banyak hal, sehingga dalam waktu-waktu seperti ini kami lebih sering diam dan fokus pada pikiran masing-masing.

Hanya hari ini, Kachan mengajakku berbicara.

"Kau yakin, ingin melakukannya?" Ada keraguan dalam suaranya.

Aku mengangguk penuh semangat, "tentu saja. Semoga kita sama-sama lulus."

"Yah, semoga saja."

Aku mengerut ke arahnya, "kau tidak yakin aku lulus?"

Kachan mengumpat kasar untuk membersihkan tenggorokkannya. "Aku yakin kau lulus tes tulis. Yang aku tidak yakin adalah tes praktik."

"Ternyata kau benar-benar mengenalku." Kataku penuh haru.

"Diamlah! Sebaiknya kau benar-benar lulus dan tidak babak belur. Aku tidak ingin menggotong mayat saat pulang nanti!" Sergahnya kasar.

Aku tertawa, merasa lega dia benar-benar mengkhawatirkanku.

"Aku akan membantumu, seperti biasa."

"Aku tahu kau akan membantuku."

Kachan akan membantu membacakan soal dan pilihan jawaban untukku. Kami sudah melakukan kerja sama ini sejak SMP, seharusnya tidak akan banyak kendala. Aku juga sudah banyak berlatih untuk menulis dan menyilang jawaban dengan tepat di kotak jawaban, selain itu, tulisan di kertas ujian dapat teraba olehku meski hanya sedikit menimbulkan huruf. Ada banyak cara dalam mengerjakan ujian, aku tidak perlu khawatir.

Saat melewati gerbang Yuei, tiba-tiba saja suara teriakkan bergaung melewati gendang telingaku. Membuatku kehilangan keseimbangan dan konsentrasi. Aku tersandung kakiku sendiri dan terjatuh bebas ke arah depan. Sesaat aku tidak bisa merasakan apa pun, telingaku sangat sakit. Tetapi rasa sakit di wajahku akibat terjatuh ke aspal tidak kunjung muncul.

Perlahan sebuah suara mulai datang, aku kembali bisa mendengar meski sedikit samar. Suara lembut dan dipenuhi kekhawatiran. Aku tidak pernah menangkap suara seperti ini, selain suara Ibu ketika aku mulai bisa mencerna kegelapan di sekitarku. Siapa?

"Kau tak apa?" Suara seorang perempuan. Setelahnya aku merasakan tubuhku melayang.

"OI!" Kachan mengguncang tubuhku dengan kasar. Membuat gadis di sebelahnya ketakutan dan melepaskan quirk miliknya yang membuatku melayang.

"Ah, maaf aku menyentuhmu dan mengaktifkan quirk milikku. Aku rasa, jatuh di depan sekolah sebelum ujian adalah sebuah kesialan." Dia tertawa sambil bergerak untuk menggaruk kepalanya.

Aku mulai berdiri dengan tegak dan mengacuhkan ocehan Kachan mengenai telingaku. Aku tersenyum bodoh pada gadis itu, "ti-tidak masalah!"

"Terima kasih sudah menolongku." Aku menunduk dalam dan baru berdiri setelah gadis itu pergi menjauh.

"Apa-apaan tadi?" Sergahnya tidak sabaran.

"Ada suara yang keras sekali, rasanya gendang telingaku mau pecah." Omelku.

Kachan melirik ke gedung sekolah, "sepertinya Present Mic, kau tidak apa-apa?"

Aku mengedipkan mata dengan bingung. "Aku lupa kalau ada Present Mic. Harusnya aku membawa penutup telingaku tadi."

"Kau bisa memisahkan suaranya? Sepertinya dia akan semakin ribut nanti." Ujar Kachan sangsi.

Aku mengangguk, "sudahlah, ayo masuk. Aku akan berusaha melakukannya nanti."

Kachan berjalan mengikuti, sebelum berhenti mendadak karena hampir menabrakku. "OI, JALAN YANG BENAR!" Raungnya

Aku berbalik, "Kachan, kau kenal perempuan tadi? Seharusnya kita menanyakan namanya tadi."

"OI, CEPAT JALAN SAJA!" Kachan mendorongku masuk dan membuatku tertawa dengan kekesalannya.

Tapi, aku serius. Aku harus bertemu lagi dengannya.

< - - - - - >

Aku berhasil melewati ujian tulis dan sangat percaya diri mendapatkan nilai sempurna. Kachan bahkan tertawa dan mendengus dengan sombong sambil memandang rendah orang-orang di sekitarnya. Setelah memasuki aula besar dengan berderet-deret bangku dan meja panjang yang di susun seperti tangga, Kachan menarikku untuk duduk agak di atas. Selama satu jam aku mati-matian berkonsentrasi untuk mengurangi suara dari Present Mic yang menjelaskan dengan penuh semangat dan sangat menjiwai.

Aku benar-benar harus menciptakan alat peredam suara. Atau aku iseng saja mengotak-atik alat pendukung Present Mic sehingga suara yang keluar akan kecil dan tidak menggelegar seperti ini?

"Maaf, saya ingin bertanya sesuatu." Seseorang berdiri dengan sikap selayaknya tentara. Tapi kemudian aku merasakan tatapan tajamnya beralih padaku.

"Tapi sebelumnya, untuk anak laki-laki berambut hijau di sana. Bisakah kau memperhatikan penjelasan lebih serius lagi? Beberapa kali aku melihatmu tertidur." Tegurnya sambil menggerakkan tangan untuk membetulkan kacamata miliknya.

Aku memang sengaja menutup mataku agar bisa berkonsentrasi mengurangi jumlah suara yang masuk ke telingaku.

"Apa maksud bocah kacamata itu?" Geram Kachan dengan suara pelan. Dia tahu kapan harus berteriak saat berada di dekatku dan kapan harus berbisik seperti saat ini.

Aku membuka kelopak mataku, berhubung Present Mic sedang diam seribu bahasa sekarang. Aku berdiri dengan sedikit linglung dan bersusah payah memandang ke arah siswa sok tahu itu. Tunggu, tadi dia duduk di sebelah mana?

"Arah jam 11, dua baris di atas kita." Bisik Kachan.

Aku membungkuk dalam dengan badan gemetar. "Maaf karena sudah membuatmu tidak nyaman. Aku terlalu bersemangat sampai kurang tidur, aku akan berusaha untuk memperhatikan penjelasan berikutnya."

Tanpa menerima permintaan maafku, pertanyaan yang diajukan pun sepertinya cukup berbobot. Aku sendiri penasaran sejak awal mendengar penjelasan mengenai poin di setiap robot. Mendengar bahwa robot raksasa itu tidak memiliki poin, pasti membuat semua orang akan menghindari robot itu. Tapi kenapa rasanya janggal?

< - - - - - >

Aku dan Kachan harus berpisah, karena kami mendapat tempat ujian yang berbeda. Aku berniat mengikuti orang-orang yang terus bergumam mengenai ruang ujian mereka dan berganti baju di ruang ganti bersama mereka.

"Deku," panggil Kachan sebelum kami berpisah. "Aku tidak tahu apa yang membuatmu datang ke sini, tapi setidaknya kau harus lulus. Karena itu, kau..." Dia memandangku ragu-ragu.

Aku tahu apa yang ingin disinggung Kachan. Quirk.

"Tidak masalah, aku hanya perlu dapat poin dan lulus. Kau tidak perlu khawatir." Aku membalasnya dengan sebuah senyum. Senyuman yang sangat dipahami Kachan.

Aku berdiri canggung dengan pakaian olahraga hijau putih mencolok. Pakaian yang aku cari-cari sejak sebulan lalu muncul di atas kasurku pagi tadi, setidaknya dengan baju ini aku bisa menyembunyikan otot dan bekas luka terkutuk itu. Di depanku terdapat gerbang besar, di dalamnya ada replika kota yang sangat mirip dengan aslinya. Hanya saja replika itu diisi oleh robot-robot, bukan manusia.

"Yuei tidak pernah mengecewakan, replikanya sangat mirip." Gumamku sambil mengatur kembali volume suara Present Mic. Ssungguh sial, mendapatkan Present Mic sebagai pemandu ujian kali ini.

"Ada lagi yang ingin kalian tanyakan sebelum ujian dimulai?" Katanya penuh semangat dengan suara cempreng yang menggelegar.

Aku memberanikan diri, mengangkat tinggi tanganku yang gemetar.

"Maaf sebelumnya, bisakah Anda mengecilkan volume suara? Telingaku sangat sensitif. Terlalu sensitif dan suara keras dapat mengganggu konsentrasi serta merusaknya." Kataku dengan tegas. Kemudian sadar akan kesunyian akibat ucapanku.

"A-aah, M-m-m-maaf. A-Aku ti-tidak bermaksud ... uuhmm..." Aku menggerakkan badanku panik, menutupi seluruh wajah yang panas dengan kedua tanganku.

"Baiklah, maaf jika suaraku terlalu mengganggu telingamu nak." Dari nada suaranya yang mulai normal dan tenang, aku tahu Present Mic sedang tersenyum dengan permintaanku.

"Ujian dimulai!"

< - - - - - >

Aku berlari dengan cepat, setelah memetakan hampir seluruh robot di wilayah itu, dimulai dari tempat-tempat tersembunyi. Pertama aku mengaktifkan quirk sebesar 15% untuk menambah kecepatan lariku. Aku berbelok tajam di sebuah gang sempit dimana terdapat suara besi yang berbenturan, berusaha untuk keluar dari gang itu. Dengan menambahkan sedikit kecepatan, aku mulai memantul di dinding gang menuju robot kecil dan mengayunkan tanganku ke belakang. Robot itu hancur dalam sekali serang.

Aku melakukan gerakan yang sama untuk memanjat ke salah satu gedung dan mengamati dari ketinggian. Aku menangkap banyak suara. Terlalu banyak, tetapi keributan seperti ini harus ku biasakan jika ingin bertahan dengan identitasku sebagai anak yang normal. Aku kembali mendeteksi suara langkah berat dan besi yang berbenturan dengan aspal, tidak jauh dari tempatku berdiri. Dan seseorang sedang menerjang ke arah yang sama. Aku mengambil ancang-ancang dan melompati gedung demi gedung dengan ketinggian yang hampir sama serta jarak yang berdekatan. Satu-satunya jalan pintas dari pada berbelok di jalan berliku di bawah sana.

Saat mendekati lokasi robot, aku melompat lebih tinggi dan mengerahkan tenaga di tangan kananku sambil meluncur dengan cepat ke arah robot itu. Aku berhasil menghabisinya tepat ketika seseorang muncul di belokan. Saat laki-laki itu mengeluarkan sumpah serapah padaku, aku mengabaikannya dan mulai berlari menuju lokasi robot selanjutnya. Satu ada di gang kecil setidaknya 3 meter dari sini. Satu lagi sedang mengendap-endap di balik bayang-bayang gedung, dua lainnya ada di sebelah sebuah truk. Aku melaju cepat dan menghancurkan keempat robot itu dalam sekali serang.

Aku berhenti sejenak ketika berusaha melacak lokasi robot yang lain. Getaran suara yang terdengar sedikit membuatku waspada. Aku teringat ucapan mengenai robot raksasa dengan poin 0 yang harus dihindari dan sekarang robot itu mulai merangkak naik. Aku tidak dapat menghitung poinku, karena setiap poin robot ditentukan dari warnanya, aku tidak tahu sudah menghancurkan robot apa saja tadi. Ketika bersiap untuk menjauh sambil menghancurkan setidaknya 5 robot lagi dalam perjalanan, aku berhenti akibat suara terikan seseorang di sela-sela gemuruh langkah robot raksasa.

Aku langsung menghentikan langkahku, menyebabkan beberapa peserta menabrak dan mengumpat kasar sebelum kembali berlari. Setelah menajamkan pendengaran dan melacak asal suaranya, aku menemukan seorang gadis terjepit bangunan yang runtuh akibat gerakan robot raksasa yang kasar itu. Sungguh, apa mereka serius melakukan tes berbahaya seperti ini?

Aku menggertakkan gigi kesal sebelum berbalik dan berlari dengan cepat ke arah robot itu. Makian lain berdatangan akibat tindakan bodohku. Tentu saja ini bodoh, kenapa aku harus bergerak ke sana?

Langkah lebar robot itu hampir mencapai lokasi sang gadis. Tidak akan sempat, aku tidak bisa secepat itu sampai di sana. Mengira gadis itu akan berputus asa, aku memperlambat lariku. Tapi kemudian gadis itu semakin menggeliat untuk melepaskan tubuhnya dari bawah reruntuhan.

"Tidak, aku harus keluar dari sini. Mati konyol di ujian masuk bukan tujuanku!"

Tanpa ku sadari, kakiku kembali bergerak, kecepatanku bertambah. Aku menambah kekuatan di kakiku hingga 20%, menyebabkan beberapa otot menegang hebat dan hampir putus. Sambil menahan rasa sakit, aku melompat sekuat tenaga, meluncur layaknya roket menuju robot setinggi 6 meter. Tepat di hadapan kepala robot, aku menarik tangan ke belakang, mempersiapkan pukulan dengan kekuatan 25% dan melepaskannya tepat ke wajah kotak sang robot. Robot itu terpukul mundur, mengangkat kakinya yang hampir menghancurkan badan seorang gadis. Aku langsung meluncur jatuh ke bawah, melihat kondisi kaki yang berdenyut menyakitkan, tidak mungkin bagiku untuk mendarat dengan mulus.

"Aktifkan!" Gadis itu memekik, membuat tubuhku ringan dan mengurangi kecepatan jatuhku.

Setelah mendarat dengan aman, gadis itu berhasil lolos dari kuburan beton dengan quirknya. Aku ingin mengucapkan terima kasih karena menyelamatkan wajahku dari aspal di jalan tetapi terhalang oleh suara muntah yang hebat.

"Uh... terima kasih telah menyelamatkanku!" Katanya sambil menunduk dalam. Kakinya pincang dan menyebabkan bunyi bergemeletuk antar tulangnya.

Aku membuka kelopak mataku, mengarahkannya cukup lama pada gadis yang sedang menunduk di hadapanku. Gadis yang menyelamatkan wajahku pagi tadi. Aku memang tertarik dengan suaranya dan berharap bisa bertemu lagi dengannya.

Tapi kenapa badanku bergerak sendiri untuk menyelamatkannya?

< - - - - - >

avataravatar
Next chapter