6 Chapter 05 : Power

"Someone in mad is someone who shows her personality in the most honest way ..."

dan hujan pun berhenti - Farida Susanti

< - - - - - >

All Might menunggu reaksi dariku sore itu. Sedangkan aku hanya bisa terdiam kaku dan kikuk dengan tingkahnya yang tidak berhenti menatapku. Membuatku hampir melompat-lompat dan berlari seperti kelinci mengelilingi pantai.

"A-a-a-aku, aku tidak me-m-merasakan apa pun." Kataku pada akhirnya.

Memang tidak ada. Kekuatan yang katanya akan mengalir deras di dalam tubuh seperti aliran sungai itu tidak terasa. Meski ada percikan lain yang muncul di dalam tubuhku, tapi tentu saja aku tidak mengatakan hal yang belum pasti itu. Bisa saja ini hanya perasaanku.

Sekarang All Might memegang dagunya. Aku yakin dia sedang berusaha berpikir. "Tidak ada rasa yang aneh? Sesuatu yang mengalir? Meledak? Atau hasrat ingin mengeluarkan sesuatu?"

Aku memegangi perutku. "Dari kemarin aku ingin muntah."

Tiba-tiba dia menjentikkan jari seolah menemukan sesuatu. "Mungkin itu."

Tentu saja tidak kan?

< - - - - - >

Aku sedang duduk bersila di atas sebuah batu. Menghirup aroma laut dan mendengarkan suara deburan ombak dan siulan burung yang terdengar semakin menjauh. Disebelahku, All Might melakukan hal yang sama. Kami sudah tidak berbicara selama 2 jam dan aku rasa sebentar lagi matahari akan terbenam. Perubahan suhu di sekitar pantai sangat mudah kurasakan sekarang.

"Al-All Might-San?"

"Hmm?"

"I-itu, anuu... Sa-sa-sampai kapan kita akan bermeditasi?"

"Sampai kau merasakan kekuatan itu."

Aku tidak merasakan apa pun sampai sekarang. Ayolah, kau tidak menipuku kan?

Tunggu, kenapa tidak langsung melakukan itu saja. Aku berdiri mendadak, membuat All Might hampir terjungkal dari posisi stabilnya.

"A-ada apa, Midorya-Shounen?"

Aku menarik nafas dalam, memfokuskan kekuatan pada tanganku. Terpikir olehku salah satu deskripsi paling epik dari setiap pertarungan All Might. Pukulan yang menghasilkan hembusan dan tekanan angin, menyebabkan villain yang menjadi sasarannya pingsan tidak berdaya.

Texaasss... SMASH!

Bersamaan teriakkan penuh emosi di hatiku itu, aku meluncurkan tinju sekuat mungkin ke arah laut. Tidak lama berselang, diiringi dengan rasa sakit luar biasa di lenganku, aku bisa mendengar percikan air yang terbelah dan angin yang mendorongku jatuh terduduk.

"Arghh!!"

TANGANKU SAKIT!

"Mi-midorya-Shounen!" All Might yang panik langsung terbatuk-batuk hebat. Aku menahan rasa sakit di tanganku. Sempat terdengar suara tulang patah dan otot yang menegang hebat. Aliran darahku sedikit terhambat, sepertinya tanganku terluka cukup parah.

"Kau berhasil!" Setelah pulih dari batuknya, All Might langsung menghambur dan memelukku dengan sangat erat. Selain kesakitan aku juga sesak dan hampir menghembuskan nafas terakhir di dekapan All Might dalam mode berototnya.

"Kita harus ke recovery girl. Aku tidak mungkin membiarkan anak seseorang pulang dengan luka separah ini."

< - - - - - >

Apakah bekasnya terlihat? Aku ingin menanyakannya tapi All Might pasti curiga. Alhasil aku hanya mengangguk dan membiarkannya menggendongku. Aku tidak ingat bagaiaman bisa sampai di Yuei – karena tekanan angin yang tinggi selama melompat-lompat dalam kecepatan mengagumkan membuat pendengaranku terganggu, sehingga aku tidak bisa menangkap suasana sekitar – pada akhirnya malam itu aku berbaring di kasur dengan perban yang menutupi tangan kiriku.

Tok... Tok...

Sebuah ketukan ragu-ragu tidak membuatku mengangkat kepala dari kasur. Aku sudah tahu, Ibu berdiri di depan kamarku sejak 30 menit yang lalu. Terus mengangkat tangan untuk mengetuk pintu kamar, tetapi kemudian menarik diri sambil menghela nafas sedih.

"Ya?" Aku memaksakan suara seceria dan sepenasaran mungkin.

Ibu melangkah masuk dan mulai menyalakan lampu. Aku tetap diam di atas tempat tidur, hanya menolehkan kepala pada Ibu yang sudah menutup pintu berdiri kikuk di depan meja belajarku. Kepala Ibu menyapu seisi kamar dan setiap kali ia melihat barang-barang All Might, Ibu menggigit bibirnya. Seperti menahan sesuatu.

Aku menunggu sampai Ibu memulai percakapan. "Izukun," panggilnya lembut, tetapi kali ini dengan nada yang lebih tegas. Aku tahu apa yang ingin Ibu sampaikan, terlihat dari perubahan sikapnya yang mulai gugup dan ragu-ragu.

Ibu meremas kedua tangannya, "kau yakin ingin bersekolah di Yuei?"

Aku tidak menjawab. Masih mempertahankan posisiku yang menoleh dengan kedua mata tertutup rapat.

"Sebaiknya kau bersekolah di tempat biasa. Ibu tidak masalah jika kau ingin terlihat seperti orang normal." Nada yang Ibu keluarkan mulai terdengar putus asa dan membujuk. "Lagi pula, kau terlahir cacat. Bagaimana kalau kau justru melukai dirimu?"

Aku membuka kedua kelopak mataku, menyipit dan menunjukkan bola mataku pada Ibu. Reaksi Ibu sangat tidak baik, dia tertegun dan meremas erat jari-jarinya.

"Yang menginginkan aku bersikap selayaknya anak normal adalah Ibu."

Ibu tersentak, sekarang dia merasa tersinggung. "Ta-tapi Ayahmu..."

"Aku tidak peduli apa yang Ayah katakan." Perlahan aku menarik tubuhku untuk duduk di pinggir kasur. "Sekalian saja, bilang padanya. Jika ingin bertemu, datang saja padaku. Sebelum aku yang datang kepadanya, karena itu bukan pertanda yang bagus."

Aku tersenyum puas, ketika badan Ibu bergetar ketakutan. Sebelumnya, aku tidak pernah melawan. Aku adalah anak yang penurut pada Ibu. Sekarang sepertinya Ibu sadar, aku sudah berubah. Karena itu dia ketakutan. Takut aku akan menjadi seperti Ayah?

Aku berdiri dan mengangkat tanganku yang di balut perban. Rasa sakit tadi memang membuatku meringis dan merasa seperti akan kehilangan tanganku, tapi itu hal yang biasa. Dibandingkan luka besar yang diciptakan Ayah, luka di tanganku ini belum ada apa-apanya.

Aku melepas perban itu, tanpa melepaskan pandangan dari Ibu yang sudah menciut di sudut meja. Masih bertanya-tanya kemana 'Izukun' anak manis nan penurut yang selama ini dia besarkan.

"Aku, bukan lagi Izukun, anak normal yang Ibu idam-idamkan. Aku juga bukan lagi alat yang bisa digunakan oleh Ayah. Aku akan mencari jalanku sendiri, karena itu jangan harap Ibu bisa membujukku seperti biasanya. Aku muak menjadi boneka kalian." Tegasku.

Ibu menggebrak meja belajarku, melampiaskan rasa takut dan amarahnya. Tantrum. Satu-satunya hal yang kutakuti dari Ibu, karena aku tidak akan pernah bisa melawannya. Hal yang membuatku jadi anak penurut dan tidak bisa melawan. Kehidupan yang selama ini aku jalani dengan aman, serta kemampuan membaca situasi dan emosi orang lain kudapatkan dari Ibu. Adalah hasil yang kudapatkan setelah bertahun-tahun hidup dalam bayang-bayangnya.

Aku memandang rendah pada tangan yang terkepal dan siap menggamit barang terdekat untuk dilemparkan. "Ibu, aku tahu Ibu tidak akan berani." Aku tidak pernah mengeluarkan suara rendah dan mengancam ini pada Ibu sebelumnya. Saat ini rasa percaya diri memenuhiku. Meluap seolah menantikan waktu seperti ini untuk datang.

"Aku sudah semakin mirip dengan Ayah bukan?" Aku menunjukkan senyum paling manis yang bisa kubuat. Hal ini membuat degupan jantung Ibu semakin cepat. Perasaan takutlah yang menang sekarang.

"Apa ibu tidak bisa mulai mencintaiku juga?"

< - - - - - >

Aku terbangun pagi itu dengan perasaan yang luar biasa. Bahkan All Might sedikit penasaran dengan semangat yang aku keluarkan pagi itu. Tentu saja, setelah tadi malam berhasil membuat Ibu mundur, pagi tadi Ibu bersikap seperti biasa. Seolah ketegangan yang terjadi semalam hanyalah bunga tidur yang bisa dilupakan secepat angin berlalu.

"Bagaimana kalau kita mulai dengan mengendalikan penggunaan kekuatanmu? Kemarin kau menggunakannya dengan baik, hanya saja tubuhmu masih syok dan menyebabkan luka yang cukup parah." All Might meneliti setiap bagian tubuhku.

Aku memasang posisi berpikir, otakku yang sudah jernih mulai bisa menangkap dengan cepat setiap ucapan All Might. "Aku menggunakan seluruh tenagaku untuk memukul kemarin, hanya karena ingin mengetahui apakah aku bisa menggunakan cara yang sama dengan Anda. Karena menurutku cara Anda dalam menggunakan quirk sangat hebat, aku ingin sekali melakukannya. Aku sangat hafal dengan teknik pukulan, serta cara Anda menjatuhkan para penjahat. Sejak pertama kali mendengarnya, aku selalu merasa bahwa anda adalah orang paling keren yang pernah aku ketahui. Tapi sepertinya tubuhku tidak sepenuhnya bisa menerima quirk ini. Apa ada presentase tertentu yang harus aku ukur sebelum mengeluarkannya? Jika memiliki tubuh seperti Anda mungkin aku bisa langsung menggunakan 100% dari kekuatan ini, tapi jika dilihat dari kondisi tubuhku sekarang, aku harus memperhitungkan presentasenya. Seberapa banyak otot yang sudah kudapatkan ya? Aku jadi penasaran."

Aku tersadar dengan gelagat All Might yang sangat aneh. "Mi-midorya-Shounen, aku tidak tahu kau berbicara ke arah mana." Dia menggaruk wajahnya kebingungan.

Aku refleks menutup mulut, "apa aku mengatakannya dengan keras?"

All Might menganggukkan kepalanya, "sangat jelas terdengar, tetapi terlalu cepat."

Aku menunduk dalam karena malu. Kebiasaan lama yang sudah berhenti setelah dimarahi oleh Ayah dan Ibu kembali lagi. Kenapa aku terlalu santai begini?

"Ma-ma-maaf, All Might-San. A-aku punya kebiasan berpikir dengan cepat. Biasanya aku tidak pernah mengatakannya secara langsung. I-ini pertama kalinya setelah sekian lama aku sangat bersemangat." Aku mengakuinya dengan malu-malu.

Aku sudah takut All Might tertawa dengan kebiasaanku, tapi sekali lagi akibat terlalu santai aku tidak tahu bahwa tangannya sudah mengelus lembut kepalaku. "Aku senang kau bersemangat seperti ini."

Aku meremas tanganku, menahan perasaan bahagia yang bisa meluap kapan pun. Aku tidak boleh terbawa emosi, biasanya rasa senang yang berlebihan ini akan berakhir tidak baik untukku. Meski aku sudah bersusah payah melupakan perasaan gembira itu, pikiran malam itu tidak pernah berhenti mampir.

Benar-benar seperti seorang Ayah.

"Bagaimana kalau aku melihat kemampuan bertarungmu?" All Might kembali ke bentuk berototnya.

"Tidak masalah, tapi aku tidak mungkin percaya diri berhadapan dengan pahlawan besar seperti Anda. Aku hanya berlatih beberapa kali dengan Kachan." Aku menggaruk kepalaku, menunjukkan senyum rendah diri.

Sebuah kebohongan lain, karena bahkan sampai sekarang Kachan belum pernah mengalahkanku. Meski begitu, bukan berarti aku percaya diri menghadapi All Might dalam kondisi yang sekarang.

Aku mengambil kuda-kuda tengah dan menutup kedua mataku. Membuat All Might sedikit terkejut dengan tindakan itu. Aku tidak akan bisa berkonsentrasi pada telingaku, di saat yang sama harus menggerakkan bola mataku mengikuti gerakan All Might. Dengan begitu, kekosongan dari mataku akan terlihat dan membuatnya sadar akan kelemahanku yang sebenarnya.

"Kenapa harus menutup matamu, Midorya-Shounen?" Sesuai dugaanku dia akan bertanya. Tentu saja aku sudah mempunyai jawaban yang bagus untuk hal itu.

"Sebenarnya, sejak kecil aku memiliki pendengaran yang baik. Aku menyadarinya ketika bermain dengan Kachan dan hampir diserang binatang buas di hutan. Kami selamat karena aku mendengar binatang itu mendekat. Saat itu aku sadar bahwa pendengaranku ini bisa dijadikan kartu As, jadi aku berlatih dengan mata tertutup dan menajamkan pendengaranku." Jelasku panjang lebar.

"Tapi sepertinya kau tidak perlu menutup matamu saat ini." Sarannya.

Aku menggeleng, "aku terbiasa dengan hal ini. Aku lebih percaya pada telingaku dari pada mataku." Ini bukan kebohongan, karena mataku sama sekali tidak berguna.

All Might menyerah dan sepertinya mulai tertarik dengan gaya bertarungku. Setelah memberikan tanda permulaan pertarungan, All Might tidak langsung menyerangku. Dia mengambil jarak sambil berputar dan mengawasi pergerakkanku, aku pun mengikuti dengan perlahan.

"Aku tidak paham bagaimana kau bisa percaya diri dengan mata tertutup, tapi aku tidak akan bermain-main." Ancamnya, membuatku sedikit merinding akibat suaranya yang sangat serius.

Meski begitu, diam-diam aku tersenyum. Perasaan senang meluap akibat bisa menantang pahlawan terhebat untuk bertarung langsung seperti ini. "Aku juga akan mengeluarkan kemampuanku."

< - - - - - >

Tidak lama kemudian, aku mendengar suara angin dan kaki yang bergerak dengan cepat di atas pasir. Getaran suara yang di hasilkan sangat kecil, sehingga seseorang dengan pendengaran biasa tidak akan mungkin mendengarnya, kecepatan All Might meningkat. Dia menerjang ke arahku dengan tangan terlurur ke belakang.

Aku langsung menahan pukulan yang mengarah ke perutku, meski sia-sia akibat tubuhku yang terpukul mundur. All Might sendiri terkejut dengan reaksiku di detik-detik terakhir untuk mempertahankan diri. Tapi aku tidak berhenti untuk terkagum-kagum dengan kecepatan itu. Aku sudah sering mendengar pertarungannya melalui rekaman. Meski tidak sejelas saat mendengar langsung, aku tahu setiap bunyi yang diciptakan ketika All Might bergerak secepat peluru dan membelah udara.

Dengan cepat aku melompat dan menyerang ke arahnya, dengan pukulan dan tendangan yang terus berganti. All Might menahan diri untuk tidak menyerang balik sambil memperhatikan teknik bertarungku. Hanya menangkis dan menghindar. Ketika All Might menangkis pukulanku, aku akan mengayunkan kaki setinggi mungkin untuk menendang bahunya, otot yang keras di tangannya menjadi penghalang dan membuatku kesal. Aku melontarkan diri dan saat di udara bersiap menyerang kepalanya, sehingga All Might menahan kakiku dan melemparkanku ke pasir di pantai.

"Kau hebat juga Midorya-Shounen." Komentarnya sambil membantuku berdiri. Wajahku memerah mendengar pujian itu, meski aku tidak berhasil melayangkan satupun pukulan atau tendangan padanya.

"A-a-anda ter-erlalu memuji." Aku membuka mataku dan mengarahkan bola mataku pada All Might.

"Kau bisa menangkis pukulan pertamaku, aku terkejut karena telingamu memang sangat bagus." Aku benar-benar akan pulang dengan wajah tertutup saking malunya, kenapa All Might terus-terusan memujiku.

"A-a-aku bisa mendengar gesekkan tubuhmu dengan udara, serta suara langkah ringanmu di pasir."

Aku yakin All Might sedang tersenyum, meski sudah berubah kembali menjadi kurus, aku tetap merasakan kehangatan dalam tawanya.

"Aku memilih orang yang tepat."

Kata-kata itu menusukku. Membuatku memikirkan kembali segala rencana dan skenario yang sudah kususun. Aku tidak dapat membalas perkataan itu, perasaan menyesal menggelayut di hatiku. Tidak apa-apa jika dia marah saat mengetahuinya, saat ini yang perlu aku lakukan adalah bertahan hidup dan menjauh dari Ayah.

Maaf, All Might. Kau sudah memilih orang yang salah.

< - - - - - >

avataravatar
Next chapter