3 Chapter 02 : All Might

< - - - - - >

"Kau yakin ingin pulang sendiri?" Kachan mengulang pertanyaan itu untuk kesekian kalinya sore itu. Aku menatap – seolah sedang menatap dengan mengarahkan bola mataku pada bagian wajahnya – memasang ekspresi bosan.

"Aku sudah menjawabmu berkali-kali sejak pagi tadi." Jawabku menegaskan.

Kachan menggeram sambil mengacak-acak rambutnya, menyebabkan bunyi menyebalkan memasuki telingaku. "Kau tidak pernah pulang sendiri."

Aku menangkap nada khawatir, tapi dia pasti mengkhawatirkan hal lain. "Aku sudah menghafal jalan pulang, selain itu penglihatanku normal-normal saja." Aku menunjuk telingaku.

Setelah beberapa argumen singkat, akhirnya Kachan pergi bersama gerombolannya menuju Game Center. Mereka sangat kesal denganku karena Kachan harus pulang bersamaku, bukankah ini kesempatan bagus untuk bersenang-senang. Aku memberinya kebebasan.

Aku menggunakan headset, meski tidak memblokir semua suara di sekitarku. Kemudian aku berbelok di salah satu sudut taman dan berakhir di sebuah kolong jembatan yang cukup panjang. Aku tidak pernah melewati tempat ini, tetapi sebuah suara berhasil membuatku penasaran. Sesuatu yang berlendir bergesekan dengan tembok, mengendap di bawah tanah melewati celah-celah sempit selokan di bawah. Aku berjalan pelan-pelan ke asal suara itu. Sampai menemukan sebuah penutup saluran bawah tanah, dan berdiri lama di dekat situ.

Meski sudah menduganya, aku tetap terkejut ketika sesuatu yang lengket dan berlendir menyelimutiku. Monster jelek menjijikkan ini muncul dari saluran bawah tanah. Dia tertawa senang saat aku tidak melakukan perlawanan berarti sambil berusaha memasukkan sesuatu yang berlendir dan kenyal ke dalam mulutku. Lendir itu memenuhi rongga mulut hingga tenggorokanku. Mulai menghalangi saluran pernapasan dan membuatku semakin mual. Rasanya kesadaranku mulai menjauh.

"Jangan takut," samar-samar aku mendengar suara familiar di depan mulut terowongan kecil itu. "Aku ada di sini!"

All Might.

< - - - - - >

Tidak butuh waktu lama, lendir aneh yang menyelimutiku terbang dan menyebar ke segala arah. Aku bisa merasakan tekanan angin yang kuat di hadapanku. Setelah menyesuaikan pendengaranku yang berdenging tidak karuan, membuatku menjadi buta permanen, aku bisa mendengar suara tutup botol yang dibuka. Seorang laki-laki kekar memaksa masuk sesuatu ke dalam tempat sempit tersebut. Meski belum sepenuhnya pulih, aku masih ingat siapa laki-laki itu, All Might. Dia menghampiriku, membuatku menengadah untuk dapat mengarahkan pandanganku pada wajahnya. Aku tidak tahu bagaimana menampilkan pandangan berbinar, tetapi aku menunjukkan antusiasme sebaik mungkin. Aku gemetar hebat di hadapan Hero yang action figure dan posternya memenuhi setengah ruangan di kamarku itu. Saat ini, aku hanya bisa berharap benar-benar bisa melihat wajahnya, bukan hanya meraba lekukan bergerigi dan simetris dari action figure di kamarku.

"A- Al... All Might!!" Aku memekik tertahan.

"Kau tidak apa-apa, anak muda?" Ia bertanya dengan nada berat, di selingi batuk singkat.

Aku merogoh tasku terburu-buru, mengeluarkan buku analisis Hero yang aku gunakan sebagai tempat berlatih menulis dan membayangkan letak garis di buku. Aku membalik halamannya sambil sesekali meraba, mencari tanda khusus yang sudah aku sisipkan di bagian All Might.

"Ku-ku-mohon, b-b-bisakah... bisakah aku meminta tanda tangan?" Aku menunduk dalam sambil menyerahkan buku dan pulpen. Suaraku bergetar saking gugupnya.

All Might menandatangani bukuku dengan cepat sambil sesekali memuji gambarku. Membuatku menunduk semakin dalam karena malu. All Might menyerahkan buku itu padaku, bersiap untuk pergi. Kali ini suara batuknya cukup keras.

"Tu- tunggu," aku berusaha mengejarnya. Aku harus menanyakan sesuatu padanya.

Dengan sigap aku menggenggam kaki All Might saat dia melompat. Mencengkram erat di bagian botol berisi villain yang ia tangkap. Seharusnya botol itu berada di meja polisi dengan aman, tetapi saat ini aku membutuhkannya. Dengan sengaja aku mendorong botol itu jatuh, tepat di tempat yang aku inginkan. All Might yang sadar dengan adanya beban tambahan di kakinya, segera berhenti di atap sebuah gedung. Ia berpikir aku melakukan hal berbahaya, sehingga memarahiku dengan nada khawatir.

Aku segera mengangkat wajah begitu ia selesai memarahiku. Sebaik mungkin aku memasang ekspresi tertekan dan ragu-ragu. Tidak sulit kan? Hanya perlu menekukkan wajahku dan bergetar untuk membuatnya percaya padaku. Dia harus percaya padaku, bagaimana pun caranya!

"A-aku. Aku ingin bertanya. Padamu, Hero nomor 1, sebagai simbol perdamaian." Aku mencengkram erat seragam di dadaku. "Bisakah, aku menjadi sepertimu? Bisakah aku menjadi Hero tanpa memiliki quirk?"

Sunyi yang menyambut pertanyaanku seperti jawaban menyedihkan yang mengalun di telingaku. Tiba-tiba saja suara batuk keras mengejutkanku, diikuti suara sesuatu menyusut dan menghasilkan kepulan asap ringan. Dari pantulan suara di telingaku, aku bisa memperkirakan dan membayangkan bentuk tubuh dan bangunan di sekitarku, karena itu aku sadar, saat ini tubuh All Might menyusut.

Pupilku melebar terkejut. Memandang dengan wajah horor pada sosok yang ia tunjukkan di depanku. Tidak lama setelahnya dia mulai bercerita tentang pertarungan besar yang pernah ia lakukan, efek samping serta pengobatan yang tidak membuahkan hasil. Tubuhnya hancur, terdapat luka besar di bagian perut yang dia tunjukkan. Aku mempertahankan raut ketakutan dan kecewa secara bersamaan.

"Aku tidak akan memberikan harapan palsu padamu nak, tapi kau tidak bisa menjadi seorang Hero tanpa memiliki quirk." Ia menutup kisah hidupnya dengan menjatuhkan semangatku.

Aku tahu, kata-kata itu akan keluar dari mulutnya. Tetap saja, setelah mendengarnya secara langsung, dunia yang aku tahu seolah hancur lebur. Tapi, ini belum berakhir. Aku tidak akan maju tanpa rencana cadangan.

< - - - - - >

Suara ledakkan terdengar di salah satu sudut gedung. Tanda bahwa rencana kedua berjalan tanpa gangguan. Aku memfokuskan pendengaranku ke arah suara ledakan itu, sedikit terkejut ketika mendapati suara makian kasar khas Kachan dari arah sana. Aku berlari panik meninggalkan All Might dan mendatangi lokasi kejadian. Kerumunan dan suara ledakkan tidak menghentikanku untuk terus menerobos ke depan. Suara Kachan terdengar semakin jelas, sebelum tertutup oleh sesuatu yang kental dan lengket.

Monster lendir tadi, berusaha menjadikkan Kachan sebagai wadahnya.

Aku tahu, All Might berada di dekat kerumunan. Menonton tanpa daya, menunggu datangnya Hero lain, waktu baginya untuk bertransformasi sudah habis. Suara Kachan terdengar semakin lemah. Dia hampir tercekik dan tertelan sepenuhnya oleh monster itu. Aku bisa menangkap beberapa Hero sedang menuju tempat ini, tapi mereka masih berblok-blok jauhnya dari sini. Semua kebetulan ini mendukung penuh rencanaku.

Suara tercekik mulai terdengar, Kachan dalam bahaya.

Aku berlari menembus penghalang polisi, melompati beberapa polisi yang menghalangiku. Kali ini aku menutup mataku dan berkonsentrasi penuh pada telingaku. Saat sampai di depan mosnter itu, aku melemparkan tas milikku dan mulai mencakar lendir lengket menjijikkan itu. Berusaha mengeluarkan Kachan dari sana. Suara erangan dan kesakitannya membuatku semakin merasa bersalah. Maaf, tunggulah sebentar lagi!

Sesuai dugaanku, All Might melompat maju. Meninju monsteritu, menyebabkan tekanan udara yang langsung melepaskan Kachan dari monsterlendir tersebut. Aku menangkap Kachan, tubuhnya lemas dan tidak bergerak ketikaaku membiarkannya bersandar di tubuh kecilku. Meski begitu dia masih bisamemaki keberadaanku di tempat kejadian. Aku hanya tertawa lemah, ketikaakhirnya ia pingsan aku menggumamkan kalimat maaf.

< - - - - - >

Aku bisa merasakannya, All Might menatapku. Tapi aku dengan cepat mengumpulkan barang-barangku, menunduk minta maaf berkali-kali pada Hero yang mengomel panjang lebar tentang aksiku. Setelah memastikan Kachan aman di ambulans, aku memutuskan untuk pulang.

Langkah kaki lain berjalan mengikuti. Aku tahu, All Might akan datang padaku. Di sebuah perempatan, akhirnya dia menunjukkan dirinya. Aku menunjukkan wajah bersalah dan menunduk dalam.

"Midorya-Shounen," Katanya dengan nada yang sudah ku tunggu-tunggu sejak tadi. "Kau, bisa menjadi Hero."

Aku menatap tidak percaya pada ucapannya. Kebalikan dari perkataan kasarnya soal kenyataan tadi, dia memberikan pernyataan tegas akan hal paling tidak masuk akal. Aku menggenggam seragam hitam SMP ku, merasakan kasarnya bahan kain itu dan meremasnya. Menumpah ruahkan segala kelegaan akibat pertanyaanku terjawab, harapanku dapat tercapai.

Aku menunduk dan bersujud, berteriak dan menangis. Hatiku merasa sakit, aku menangis bahagia, tetapi apakah aku benar-benar merasa bahagia?

Setelahnya aku berjalan pulang dengan kepala tertunduk. Plastik menyebalkan yang menempel erat seharian di mataku sudah jatuh entah kemana. Aku memiliki lusinan cadangan di laci meja belajarku, aku tidak pernah mengkhawatirkan hilangnya benda kecil laknat itu. Poni yang aku rawat dengan baik selalu berhasil menyembunyikan mata dan raut wajahku.

Karena itu, tidak ada yang tahu, aku sedang menahan senyum bahagiaku. Perlahan kedua bibirku tertarik ke arah yang berlawanan, tanganku merogoh pada benda yang aku simpan karena sudah memberikanku jalan keluar dari masalah pelik ini.

Action figure All Might itu masih mulus tanpa cela. Dia benar-benar simbol perdamaian, tidak bisa membiarkan seorang anak yang melakukan aksi heroik menyelamatkan temannya. Tanpa tahu, bahwa akulah yang menjatuhkan botol itu.

Satu babak sudah selesai. Aku akan melangkah pada babak selanjutnya, tidak peduli berapa banyak langkah yang harus kuambil agar bisa terbebas dari cengkaraman Ayah.

Dan aku tidak peduli dengan cara apa aku mencapainya.

< - - - - - >

avataravatar
Next chapter