2 Chapter 01 : Father

< - - - - - >

Suara ledakan di suatu tempat berhasil menarik perhatianku, meredam suara perempuan yang sedang bersemangat menceritakan detail kemenangan salah satu Hero melawan Villain beberapa malam lalu. Aku mencomot headset dari telinga, menolehkan kepala ke arah ledakan tersebut. Biasanya aku akan memblokir semua suara yang tidak penting dan fokus pada radio favorit ku sambil merekam bayangan pertarungan epik setiap Hero di dalam Smartphone ku.

"Sepertinya Villain sampah lain mulai bermunculan." Sebuah erangan kesal terdengar dari sebelahku. Aku mengulum senyum lembut pada laki-laki itu, menyebabkannya mengeluarkan suara seperti meludah.

"Kejadiannya tidak jauh, kalau kau ingin mampir ke sana." Katanya dengan nada terpaksa.

Aku mengangguk antusias, "aku tahu tidak jauh, suaranya sangat keras." Mengarahkan tangan pada telingaku yang sangat sensitif.

Kachan - teman masa kecil yang sekarang menjadi penunjuk jalanku - menggeram sesaat sebelum memimpin jalan menuju tempat ledakan itu. Dia menceritakan bagaiaman asap mengepul, yang mana semakin jelas tercium olehku, dan tentang sosok raksasa jelek bulat dengan kulit biru meluluh lantakkan jalanan.

"Sepertinya ramai, apa kau melihatnya dengan jelas?" Kachan menoleh padaku, suaranya sedikit lebih tenang dari pada sebelumnya. Dia selalu kesal jika aku meminta ke tempat seperti ini, tapi setelah 3 tahun dia mulai terbiasa.

Aku menunduk dan mendengarkan suara penuh kepanikan dari warga sekitar, cekrekan foto yang berisik dari berbagai smartphone untuk mengabadikan momen menyeramkan ini, serta teriakan dari beberapa polisi yang memerintahkan untuk mundur dan menjauh dari daerah berbahaya. Suara alarm mobil lebih mengganggu karena frekuensinya yang cukup tinggi, tapi aku rasa aku bisa memisahkan suara itu.

"Ya, aku rasa bisa. Kenapa belum ada Hero yang muncul?" Aku bertanya sambil menolehkan kepala pada Kachan. Bahunya bergerak, menyebabkan bunyi gesekan lembut pada bajunya. Ia mengangkat bahu tidak peduli.

"Seperti biasa, mereka datang terlambat. Kalau itu aku, sudah pasti aku menerjang sambil berteriak memaki Villain gendut ini." Suaranya terdengar penuh percaya diri. Menandakan harga dirinya yang tinggi, mungkin saja dia sedang tersenyum meremehkan sekarang.

Aku menggerakkan bola mataku ke depan, mengangkat dagu sedikit lebih tinggi, seolah berusaha mencari celah untuk menonton dari kerumunan ini. "Yah, terdengar seperti Kachan." Komentarku sambil terkekeh pelan.

Aku mendengar suara sesuatu yang beradu dan decitan benda yang bergesekan. Aku menoleh ke arah suara, sekitar beberapa blok bangunan ini, seseorang sedang berayun-ayun di sekitar gedung. "Oh, seseorang datang. Sepertinya Kamui-San."

"Kau sudah mencatat tentangnya di memo kan? Aku tidak perlu mengulangnya." Meski berkata kasar begitu, dia tetap saja menyampaikan beberapa detail kecil padaku. Aku tidak repot-repot mencatatnya, karena memang semua tentang Kamui-San sudah tersimpan rapih di memoku. Sesuatu yang membuatku tertarik adalah keberadaan seorang wanita tak jauh dari Kamui-San.

"Aku mendengar suara dentuman lain, bukan dari si monster jelek gendut itu." Ujarku, menggerakkan bola mataku ke arah datangnya suara di atas sana.

Kachan menoleh ke arahku, "itu Mount Lady, kau belum pernah lihat ya?" Katanya meremehkan.

"Dia si anak baru itu? Wah, dia benar-benar jadi sangat besar. Pemilihan nama yang bagus, aku harus mencatatnya nanti." Aku mengeluarkan smartphone ku bertepatan ketika Kachan memulai deskripsi dasarnya.

"Dia cukup tangguh, kau harus menambahkan soal itu. Punya tanduk ungu, kurasa kau tahu bentuknya. Dia bisa menjadi sebesar 2 meter, aku tidak tahu apakah dia bisa bertambah besar lagi. Rambut pirang dengan bola mata ungu." Aku tersenyum senang, deskripsi Kachan tidak pernah mengecewakan.

"Ayo pulang, kau sudah puas kan?" Geramnya. Kachan bukanlah Kachan tanpa geraman khasnya.

Aku mengangguk dan mengekor di belakang Kachan seperti anjing yang patuh. Senyumku memudar, aku kembali memasang headset untuk menutup semua suara di sekitarku. Kadang aku berpikir, siapakah anjing yang penurut di sini?

< - - - - - >

"Selamat datang Izu-kun!" Ibu berlari dari dapur sambil memelukku. Ibu tidak pernah berubah, masih tinggi semampai dengan suara yang lembut.

Aku membalas pelukannya, yang kami lakukan cukup lama. Aku menyukai suara detak jantung Ibu. Suara pertama yang aku dengar ketika aku dilahirkan. Dan aku sangat merindukan suara itu.

Ibu menawarkan deretan menu makan malam, aku memilih makanan kesuakaanku sebelum masuk ke dalam kamar. Aku melemparkan tas di atas meja, melepaskan headset dan meletakkannya pada pouch kecil. Lampu tidak pernah menyala dikamarku, kecuali ketika Ibu datang berkunjung. Perlahan tanganku meraih ke dalam laci meja dan mengeluarkan sebuah tempat bulat kecil, aku memutar penutupnya satu per satu dan mengisinya dengan cairan khusus. Sebelum akhirnya mencomot plastik yang menempel pada mataku seharian ini.

Setelah meletakkannya dengan aman, aku menutupnya dan menyimpannya kembali di laci. Kaca bukanlah barang yang dapat ditemui dikamarku, benda itu tidak akan berguna, karena aku tidak akan bisa melihat pantulan diriku di sana.

Aku menggerutu sambil mengelus kelopak mataku. Seandainya tidak cacat, mungkin saja Ayah akan melirikku. Sayangnya dia lebih menyukai anak lain dan sekarang malah hilang tanpa kabar. Aku melampiaskannya dengan menyibukkan diri meriset para Hero. Sekarang aku justru terjebak dalam lingkaran obsesi pada seorang Hero, dengan suara tawa menggelegar dan kalimat khas yang menjadi tanda kedatangannya. Setiap pembawa radio pahlawan akan mendeskripsikan senyum menawan yang membuat hati terasa tentram dan aman itu. Aku penasaran, seperti apa senyum itu.

Aku termenung cukup lama, memikirkan masa lalu pahit yang harus aku jalani. Setidaknya sekarang aku berhasil bertahan selama 3 tahun tanpa mendapat kecurigaan. Berpura-pura menjadi orang normal tidak susah, meski jika tanpa bantuan Kachan aku mungkin tidak akan bisa menjalaninya sebaik ini. Awalnya aku hanya ingin mencoba, ternyata berjalan lebih mulus dari yang aku pikirkan.

Tok... Tok...

Ibu membuka pintu lembut, "makanan sudah siap. Cepat ganti bajumu."

Aku tersenyum lebar dan mengangguk, "aku segera ke sana."

Sebelum keluar, aku teringat akan kertas karir yang harus aku serahkan besok. Aku mencomotnya dari saku bagian depan dan membawanya ke meja makan.

"Guruku menanyakan soal karir SMA, tapi aku belum memutuskannya. Ibu ada saran?" Aku meletakkan kertas itu di tengah meja makan. Membiarkan Ibu membacanya perlahan.

Ibu menoleh padaku cukup lama. "Kau masih ingin pergi ke sekolah biasa?" Ada nada khawatir di ucapannya.

Aku merenung sesaat, kemudian mengangkat bahu, "masih belum memutuskan. Sekarang di hadapan mereka, aku adalah orang yang normal."

Ibu mengangguk, "orang normal yang tidak memiliki quirk." Gumam Ibu.

"Oh ya," tiba-tiba saja suasana hati Ibu sangat ceria. "Aku mendapat telpon pagi tadi. Kau tahu dari siapa?"

Aku menunggu kelanjutannya, tapi kemudian sadar Ibu ingin di tanggapi. "Dari siapa?"

Akuyakin Ibu sedang tersenyum sangat lebar, "Ayahmu. Dia bilang ingin bertemudenganmu."

< - - - - - >

Aku melempar tubuhku di atas kasur, kembali larut dalam pikiran. Percakapan yang awalnya santai di meja makan tadi sedikit menjadi tegang ketika nama Ayah muncul ke permukaan. Aku tidak menanggapi apa pun setelah pertengkaran kecil dengan Ibu. Sekarang yang aku pikirkan hanyalah satu, bagaiamana caraku untuk lepas dari Ayah?

"Heh, kalian para pemeran tambahan diam saja. Aku akan menjadi satu-satunya yang masuk ke Yuei dari SMP kita. Aku akan menjadi Pro Hero dan menendangi bokong siswa di sana sampai ke puncak!"

Aku terduduk setelah teringat kata-kata sombong Kachan di kelas. Meletakkan sebelah tanganku di dagu dan berpikir. Haruskah aku pergi ke Yuei? Ini akan bertentangan dengan keinginan Ayah, tapi jika aku bisa terlepas darinya. Aku harus mencoba.

Akan sedikit sulit, karena aku terdaftar sebagai anak tanpa Quirk. Aku harus bisa mengakali masalah ini dulu. Aku turun dari tempat tidur, berjalan ke arah meja belajarku. Tanganku meraba setiap sudut meja, kemudian bersentuhan dengan sebuah benda dan menggenggamnya erat. Merasakan lekukan dari plastik yang mulus dan kaku itu.

[Ya, dengan ini pasti bisa!]

< - - - - - >

avataravatar
Next chapter