1 Fuguel dan Albert

"Hei, kau tidak apa-apa?"

Pupil gelap. Sangat gelap bahkan Albert berpikir akan dilahapnya. Kegelapan dari mata yang dipancarkan pria itu seperti tidak berujung. Seperti jatuh di dalam jurang yang tak berdasar. Anehnya, Albert tahu bahwa pria pengembara di hadapannya berniat tulus ketika menanyakan keadaannya.

Fuguel mengulurkan tangan isyarat membantu Albert untuk bangkit. Fuguel, sosok pria yang tampak bak boneka tanpa emosi itu menunjukkan belas kasih, mungkin karena di hadapannya adalah anak berusia 13 tahun yang meringkuk kelaparan. Sayangnya, anak itu menolak dan memalingkan wajah.

Pria setinggi dua meter itu menarik kembali uluran tangannya, ia lalu beranjak dan mengambil sepotong roti di kantong bawaannya. "Makanlah!" ucapnya sembari meletakkan roti tersebut di tangan Albert.

Wajah anak itu tampak kusam. Sorot mata yang sayu, bibir kering dan pecah-pecah, baju tipis yang sobek di sana sini membuat penampilan Albert begitu mengenaskan. Sudah berhari-hari ia tidak makan, bahkan untuk berbicara saja ia kesulitan. Dengan kondisinya yang seperti itu, Albert menelan rasa malunya dan memakan roti tersebut.

Sudah sebulan sejak Albert hidup menggelandang. Ia kabur dari rumah dan memilih hidup sendiri. Namun, kehidupan yang ia harapkan tidak semudah yang ia bayangkan. Untuk bertahan hidup saja sudah kepayahan, bahkan hampir saja ia mati tanpa seorang pun menyadarinya.

Fuguel menemukan Albert di perbatasan FIugel. Flugel merupakan negeri yang jauh dari kampung halaman anak itu. Flugel terkenal dengan perbudakan dan kriminalitasnya. Orang-orang yang hidup di sana kebanyakan orang miskin yang melarat, penjahat, dan para pemabuk. Di mana-mana kau hanya akan menemukan tanah gersang dan rumah yang hampir roboh. Orang-orang datang ke Flugel biasanya untuk menyewa pembunuh bayaran atau membeli budak. Bisa dibilang unsur keburukan manusia ada di sana.

Di negeri itu, Albert dirampok dan kehilangan seluruh uangnya. Ia hanya mengenakan selembar baju tipis lengan pendek berwarna putih dan celana cokelat selutut sebagai sisanya. Anak itu bahkan tidak mengenakan sepatu, kakinya lecet dan penuh bekas luka. Kau tidak akan pernah membayangkan bahwa sosok yang ada di hadapan Fuguel adalah pangeran dari Ririas.

"Kau … apa kau seorang penyihir?" tanya pria berjubah itu seraya memperhatikan Albert dari atas ke bawah.

Anak itu mencoba untuk berdiri tegap. Kau bahkan bisa merasakan bahwa nyawanya berada di ujung tanduk. Tetapi sorot mata itu, melihatnya kau ragu untuk berbuat macam-macam. "Apa yang membuatmu berpikir bahwa aku seorang penyihir?"

"Rambut pirang, mata emerald … kau pasti dari Ririas. Aku dengar anak kedua keluarga kerajaan adalah seorang penyihir."

Mendengar perkataan pria itu, Albert terbelalak. "Dia bisa melihat sosok asliku?" tanyanya dalam hati.

Rasa waspada Albert meningkat dua kali lipat. Saat ini ia sudah dalam posisi siap tempur. Meski sosok yang berada di hadapannya hampir dua kali dari tinggi badannya, ia tidak gentar sama sekali.

"Aku ingin meminta bantuanmu," pinta pria itu. Ia lalu berlutut dan menundukkan kepala layaknya kesatria. Berbeda ketika Fuguel berdiri, kini Albert dapat melihat sosok pria itu lebih jelas. Rambut hitam lurus sebahu yang dikuncir. Meski memakai jubah kau bisa tahu di balik jubah itu terdapat tubuh yang kokoh. Kulit putih pucat hampir seperti mayat hidup, begitulah sosok pria dewasa yang ada di hadapan Albert.

Seolah tidak mendengarkan ucapan pria itu, Albert melayangkan tinju dengan energi sihir tepat ke arah jantungnya. Tetapi tinju itu tidak mendarat karena Fuguel menahannya. Albert merasakan betapa dingin tangan yang memeganginya. Meski di Flugel orang-orang bisa merasakan hawa panas yang membakar hingga ke tenggorokan, tangan Fuguel hampir sedingin es. Perlahan-lahan Fuguel melepaskan tangan anak itu kemudian membiarkannya menyentuhnya.

"Ko-kosong," ucap Albert.

Albert sontak kaget. Refleks ia menarik tangannya kembali dan mengambil jarak dengan Fuguel. Albert keringat dingin dan bulu kuduknya merinding. Sesaat setelah itu wajahnya memerah. Sembari memegang tangan yang masih gemetaran, ia menitikkan air mata. Mata berwarna emerald yang basah benar-benar hampir seperti permata.

"Apa …," Albert terisak, "Apa yang telah kau lakukan hingga tubuhmu seperti itu?" Anak itu menundukkan kepala dan tidak berani menatap pria di hadapannya.

"Apa kau ingin membantuku?" tanya Fuguel sekali lagi, masih dengan posisi berlutut tapi kali ini ia memandangi anak itu lekat.

Anak itu kemudian mengangkat wajah dan menyeka air matanya. Ia lalu menatap mata Fuguel dalam, "Iya, aku berutang roti padamu."

"Aku Albert. Albert saja," ucap anak itu sambil mengulurkan tangan.

Fuguel kemudian bangkit lalu menjabat tangan anak itu kemudian menyebutkan namanya, "Fuguel. Fuguel saja."

"Salam kenal Fuguel."

Mata permata sehangat cahaya mentari memandangi mata gelap dengan tatapan sedingin es. Seperti itulah takdir mereka dipertemukan.

~

avataravatar
Next chapter