9 Tempat Sepi

"Aku mohon dengan sangat, Lyra. Bisa mundur dikit, nggak? Dikit aja." gerutu Rava yang sedang mengendarai motornya. Sedari tadi, dia bisa merasakan sensasi dada besar Lyra yang menekan punggungnya. Seperti biasa, Rava jadi gugup dan malu. Bahkan tadi dia sampai hampir melindas kucing saking tak bisa konsentrasinya.

"Sudah kubilang, kalau aku mundur, keseimbangan benda beroda ini akan berkurang," jawab Lyra, melawan deru angin dan raungan mesin motor.

Mobil sport warna merah menyala yang dikendarai Stefan menjejeri motor Rava. Stefan bergantian memandang dua orang yang berboncengan itu dan menatap jalan.

"Kamu iri, ya?" ledek Ione sambil nyengir.

Stefan akhirnya fokus ke jalanan, mempercepat laju mobilnya. Di mulutnya tersungging senyum tipis. "Aku cuma berpikir, Rava itu orang yang sangat-sangat beruntung."

"Kata orang yang duduk di sebelah perempuan yang tidak kalah seksi dan cantik." Ione memajukan bibirnya seperti bebek. Stefan hanya terkekeh melihatnya.

Begitu melihat lapangan yang dimaksud Lyra, Rava menghela napas lega. Ia segera memakirkan motornya di pinggir lapangan yang rerumputannya sudah tinggi itu, kemudian turun dan buru-buru menjauh, tak sanggup memandang Lyra. Stefan pun mendatanginya dengan senyuman aneh.

"Kenapa muka kamu tadi malah kayak lagi disiksa?" tanya Stefan, memegang pundak Rava erat-erat, sementara Ione memandanginya dari jauh dengan tangan dilipat.

"Haaaaah?" Rava tak mengerti maksud ucapan Stefan.

"Ayo, kita langsung mulai saja," kata Lyra, berjalan cepat menuju bagian tengah lapangan.

"Benar tidak apa-apa kalau kita bertarung di sini?" tanya Ione, ikut berpindah ke tengah lapangan.

"Nggak apa-apa, sekarang anak-anak udah nggak ada yang main di sini ...." Rava mengerem ucapannya. Kenapa dia memberitahukan hal yang mendukung pertarungan ini?

Namun, mau mencegah seperti apa lagi juga percuma. Kedua bidadari itu sudah berhadap-hadapan agak jauh. Tubuh mereka juga sudah dilapisi cahaya, yang tak lama kemudian lenyap.

Pakaian aneh lagi. Itu yang langsung terbersit di otak Rava saat melihat baju tempur ungu yang dipakai Ione. Mana ada orang yang bertarung dengan belahan dada super lebar dan rendah seperti itu? Dan saking ketatnya pakaian itu, Ione jadi lebih terlihat seperti penyanyi dangdut di dekade awal tahun 2000-an, yang memang banyak menonjolkan lekuk tubuh. Namun, bisa dibilang baju Ione adalah versi yang lebih ekstrim.

Tanpa banyak basa-basi, kedua bidadari memasang kuda-kuda. Lyra sudah memegang pedang bermata gandanya, sementara tangan Ione masih kosong, Alih-alih langsung menyerang, mereka justru berjalan memutar, sekaligus mendekati satu sama lain dengan mata waspada.

Sampai akhirnya, Lyra melancarkan sabetannya. Ione mengelak ke belakang. Serangan selanjutnya datang dan Ione kembali menghindar. Begitu seterusnya, sampai akhirnya, Ione melenting ke belakang, berputar di udara dan mendarat agak jauh dari lawannya.

Melihat tangan Ione mulai memunculkan cahaya ungu, Lyra kembali menerjang. Ione lagi-lagi menjauh, sekaligus menempelkan ujung benda yang baru muncul di tangannya ke mulut. Terdengar alunan nada merdu ketika dia meniup lubang di benda berbentuk seperti pipa panjang itu.

Rava makin tak habis pikir. Pakaian seperti itu dipadu dengan seruling? Benar-benar tidak nyambung.

Serta-merta, Lyra mematung. Hanya ekspresinya saja yang berubah, tampak kebingungan dengan apa yang terjadi. Selebihnya, dia benar-benar tak bisa bergerak.

Rava melirik tanda di tangan Stefan yang cahaya ungunya baru meredup. Stefan pun tersenyum penuh arti kepada Rava.

Ione mendatangi Lyra, mengangkat serulingnya tinggi-tinggi. Lyra yang masih tak bisa bergerak langsung memejamkan mata, bersiap menerima pentungan seruling itu di kepalanya. Namun, ia hanya merasakan sentuhan pelan dari seruling itu di keningnya.

"Aku benar-benar ingin berdamai. Kalau aku ingin menyerangmu, aku sudah menggunakan kesempatan ini untuk melakukannya." Ione tersenyum ramah. "Dan jangan lupa, tadi aku dan tuanku lebih memilih mengikuti Rava, daripada menyerangmu secara langsung di rumah. Padahal, saat itu posisi kamu lemah karena tuanmu tidak ada di dekatmu. Energi pelindung di tubuhmu tak akan berkerja maksimal."

Lyra mengubah ekspresi wajahnya menjadi kaku seperti biasa. Kemudian, saat tubuhnya kembali normal, dia lagi-lagi menebas Ione. Ione berhasil mengelak hanya dengan jarak satu senti.

Sekarang Rava mulai bisa mengerti arah rencana Ione.

Melihat Ione kembali melompat agak jauh, Lyra berteriak, "Rava!"

Meski tahu Lyra memberinya isyarat untuk mengaktifkan kekuatan, Rava menggeleng pelan. "Buat apa, Lyra!? Semua yang dikatakan Ione masuk akal. Kalau mau menyerang kamu, dia sudah melakukannya dari tadi!"

Dengusan keras keluar dari mulut Lyra, padahal ekspresi wajahnya masih saja bertahan. "Pencet tanda itu sekarang juga."

"Buat apa bertarung? Kamu sudah nggak bisa membunuhnya," tukas Rava dengan nada dingin. Dia menguatkan diri untuk memandang mata bidadarinya itu. Ia terus meyakinkan dirinya sendiri. Ia tidak bersalah.

Lyra kembali menerjang. Ione pun cuma menghindar saja, tak menunjukkan tanda-tanda akan menyerang. Semakin lama, gerakan Lyra semakin agresif.

Ione menangkap tangan Lyra. Begitu kakinya disapu Ione, Lyra tumbang. Ione tak membuang kesempatan dan menduduki perut lawannya itu. "Kamu tidak berpikir jernih, Lyra. Kamu tahu ini sia-sia, tapi tetap memilih untuk bertarung."

Ione memelintir tangan Lyra yang memegang pedang. Pedang itu pun terlepas dan jatuh ke tanah.

"B*jingan!" umpat Lyra, tak kuasa lagi menahan ekspresinya. Kali ini dia terlihat benar-benar marah.

"Aku yakin, seharusnya gerakanmu tidak seamatir ini. Aku tahu, apa yang terjadi benar-benar membuatmu frustasi. Kamu jadi tidak bisa bertarung dengan baik." Ione menodongkan serulingnya ke leher Lyra. Lyra langsung berhenti berontak. "Aku masih punya satu kekuatan yang belum kugunakan. Aku tinggal minta Stefan mengaktifkannya. Barangkali, kekuatan itu bisa langsung membunuhmu?"

"Bunuh saja aku kalau begitu," ucap Lyra dengan bibir bergetar. Ia memalingkan muka. Matanya berkaca-kaca.

"Tidak, Lyra. Sudah kubilang, aku hanya ingin berdamai." Ione menarik serulingnya, kemudian berdiri dan menon-aktifkan baju tempurnya. "Ikutlah denganku. Aku berniat mengajak bidadari lain agar tidak saling membunuh lagi. Setelah itu, kita akan mendesak pihak penyelenggara agar menghentikan pertempuran absurd ini."

Tak menggubris tangan Ione yang terjulur kepadanya, Lyra bangkit. "Semoga beruntung menggapai tujuanmu yang bodoh itu."

Rava tak bisa berkata-kata ketika Lyra yang juga sudah memakai pakaian biasa mendatanginya.

"Puas?" gumam wanita itu, sudah mengembalikan ekspresinya seperti biasa. "Aku mau pulang."

"Sebelumnya ...." Stefan menghadang Lyra, sedikit berdehem. "Sesenang apa pun aku melihat kamu .... Ehm .... Izinkan aku membelikan baju yang lay .... Ehm .... Apakah kamu punya cukup baju ganti? Waktu kuselidiki, aku mendapat info kalau Rava cuma tinggal dengan ibunya. Ukuran tubuh ibu Rava jauh lebih kecil dari kamu. Aku yakin, di rumah Rava, pakaian yang sesuai dengan tubuh kamu itu hanya ada sedikit."

Rava sedikit melongo. Stefan menyelidikinya? Hal apa lagi yang diketahui oleh pria berkacamata itu? Rava berharap Stefan tidak tahu terlalu banyak.

"Bagaimana?" tanya Stefan, meringis kaku. Melihat Ione mendatanginya, ia buru-buru mengalihkan pandangan dari tubuh Lyra.

"Nggak usah repot-repot," balas Rava. "Kita ...."

Stefan berlari dan segera merangkul Rava untuk menjauh. "Kamu yakin akan membiarkannya memakai baju semacam itu terus? Aku sih nggak masalah melihatnya .... Ehm .... Mengerti maksudku, kan?"

Rava melirik Lyra, teringat kejadian-kejadian yang membuatnya gelagapan gara-gara aurat bidadari itu. Rava tentu ingin memberi pakaian yang lebih layak kepada Lyra, tetapi dia tak punya uang.

"Anggap saja ini hadiah pertemanan kita," desak Stefan. "Masalah uang nggak usah kamu pikirkan."

avataravatar
Next chapter