1 Para Bidadari

Disirami cahaya lampu taman di malam hari, sesosok wanita jangkung nan kekar mengayunkan gada berdurinya, menghantam kepala monster raksasa berbentuk kadal bertanduk. Tetesan-tetesan cairan kental berwarna hitam pun berhamburan ke udara, sebagian menodai armor hijau muda dari sosok wanita tersebut.

Wanita berkulit gelap itu sedikit menyisir rambut hitamnya yang potongannya nyaris cepak, lantas menghantam monster lain yang mendekatinya. Tak berapa lama, bangkai monster itu, termasuk juga 'darah' dari tubuh mereka, menguap menjadi asap hitam.

Tak jauh dari sana, sosok wanita lain menunggangi salah satu monster. Meski tubuh si monster menggeliat-geliat liar, sosok wanita berkulit putih dan berbusana biru tua tersebut tetap sanggup menjaga keseimbangan. Ia terus menusuk-nusuk kepala sang monster dengan pisau. Ketika sang monster tumbang, wanita bertubuh langsing itu melompat mundur, memasang kuda-kuda waspada.

"Sepertinya, itu yang terakhir," kata si wanita jangkung, tersenyum sambil mendekati rekan bertarungnya itu. "Perkenalkan, namaku Circe."

"Kamu tidak perlu tahu namaku," timpal wanita satunya, membenarkan penutup mulut di wajahnya.

Circe mengamati lawan bicaranya yang berambut hitam pendek itu. "Hmmm .... Rasanya aku pernah melihat kamu."

"Mungkin cuma perasaan kamu saja." Wanita yang tak mau menyebut namanya itu mulai terdengar ketus.

Circe lalu melirik ke sebuah pohon besar di salah satu sudut taman. "Aku tahu kamu ada di sana. Siapa pun kamu, keluarlah. Kita ngobrol sebentar."

Seorang sosok wanita lain—kali ini berbusana merah dan memakai armor berwarna perunggu—keluar dari balik pohon sambil mengembangkan senyum. "Maaf, aku telat diberitahu kalau ada monster."

"Huh, alasan yang tidak masuk akal .... Hei, aku juga sepertinya pernah melihatmu." Circe menyipitkan matanya, mengawasi wanita berkulit putih, berbibir agak tebal, berambut lurus keemasan, bermata biru, dan bertubuh langsing nan semampai itu. "Ah, kamu putri bangsawan yang terkenal itu! Selamat, malam Nona Eloisia."

"Jangan panggil aku Nona. Di sini kedudukan kita sama. Panggil saja Lois." Wanita bernama Lois itu melebarkan senyumnya, mengalihkan pandangannya kepada si wanita berambut berbusana biru tua. "Tapi, masa aku lebih cepat dikenali daripada dia. Lihatlah matanya yang merah itu. Apa kau tidak menyadarinya? Dia itu Nona Alsie, kerabat dari ratu kita."

Wanita yang dipanggil Alsie itu mendengus, sementara Circe sedikit membelalakkan matanya.

Tak berapa lama kemudian, tawa keras keluar dari mulut Circe. "Astaga! Bagaimana bisa aku melupakan hal seperti itu?"

"Kita di sini tidak untuk berbincang saja, kan?" Alsie mengacungkan sebelah pisaunya.

"Sebelumnya …" Circe sedikit terbatuk saking kerasnya tertawa. "Kalau menjadi pemenang dalam pertarungan ini, kalian kan akan jadi ratu. Aku cuma ingin bertanya. Apa yang akan kalian lakukan dengan jabatan tersebut? Kalau aku, jujur saja, sebelumnya tak terbersit sedikit pun keinginan untuk menjadi ratu. Namun, sebagai seorang prajurit, aku akan menerima tugas ini dengan sebaik-baiknya."

"Ah, kamu hebat sekali." Lois kembali menoleh kepada Alsie yang menatap tajam dirinya "Sepertinya Nona Alsie tidak akan menjawab. Jadi sekarang giliranku .... Kalau aku, sih …. Tak ada tujuan khusus sebenarnya. Tapi, aku bakal senang sih dengan banyaknya perhatian orang-orang kepadaku kalau aku benar-benar menjadi ratu."

Wajah Circe—yang sebelumnya tampak santai—langsung berubah serius. "Kamu ini adalah putri bangsawan yang terhormat. Apa kamu tidak malu berkata seperti itu?"

"Daripada membicarakan itu, apa tidak sebaiknya kita memperkenalkan tuan kita terlebih dahulu?" elak Lois.

Di sekitar para wanita itu memang ada tiga lelaki yang mengawasi. Satu berperawakan biasa dan memakai hoodie abu-abu, tengah berjongkok di belakang Circe. Yang kedua berkulit sawo matang dengan lengan atas yang penuh tato, sedikit berotot tetapi cukup langsing. Lelaki yang memakai topi itu berkali-kali memijati tengkuknya, tampak gelisah memandang Alsie. Kemudian, yang terakhir memilih untuk bersandar di tiang lampu. Sebagian wajahnya tertutup rambut ikalnya yang lumayan gondrong. Semuanya memilih lokasi yang agak jauh dari para wanita itu, jelas sekali tak mau mengganggu pertarungan mereka.

Alsie mendengus kembali. "Sudah cukup bicaranya! Aku sudah bersabar dan menghormati kalian dengan tidak menyerang dari belakang. Lebih baik kita mulai saja pertarungan ini!"

Dalam sekejap, Alsie sudah melesat ke hadapan Circe. Circe pun menangkisi sabetan beruntun dari lawannya itu. Kemudian, Lois menusukkan rapier (pedang yang tipis dan ringan) ke pinggang Circe.

Alsie dan Lois terus menyerang, membuat Circe kewalahan untuk menghindar dan menangkis. Beberapa kali, serangan dua lawannya itu berhasil mengenai tubuhnya.

Meski begitu, tubuh Circe belum terluka sama sekali.

"Kamu baru pernah melihat pertarungan seperti ini, kan?" ujar satu sosok makhluk aneh berbentuk seperti bola putih, dengan bulu tebal layaknya domba, bertanduk melingkar bak kambing jantan, serta memiliki tangan dan kaki kecil seperti milik kelinci. Sosok itu tiba-tiba muncul di sebelah si pria ber-hoodie yang merupakan tuan Circe.

"Piv? Bikin kaget aja," timpal si pria ber-hoodie, baru berjengit kaget karena kedatangan makhluk seukuran setengah bola sepak itu.

Makhluk bernama Piv itu melanjutkan ucapannya, "Sepertinya, Circe lupa memberitahu. Para bidadari memiliki semacam energi yang melindungi tubuh mereka. Jadi, mereka tak akan langsung terluka jika terkena serangan. Energi itu akan terus berkurang terkena serangan. Kalau sudah habis, bidadari tersebut baru bisa dilukai. Tapi, bukan berarti mereka tidak merasakan sakit kalau diserang, ya."

"Tapi, kenapa di antara mereka masih ada yang memakai armor?"

"Terkadang, ada bagian tubuh yang tidak terlindungi sempurna memang," jawab Piv lugas.

"Ah, Circe pernah bilang, bidadari lain lebih mementingkan kelincahan dengan memakai sedikit armor. Menurutnya, itu hal yang bodoh."

Circe mulai bisa memberikan perlawanan. Ia baru saja melemparkan Alsie sampai punggungnya membentur tiang lampu. Sekarang, dia melawan Lois seorang.

"Berarti bagian punggung mereka selalu terlindungi energi itu?" tanya si pria ber-hoodie. "Semua punggung mereka terbuka."

Ya, semua busana para bidadari memang memperlihatkan kulit punggung dengan jelas, terutama bagian atas.

"Betul." Piv naik ke pundak pria ber-hoodie. "Ngomong-ngomong, apa kamu setuju kalau sekarang saat yang tepat untuk membantu bidadarimu itu?"

"Ah." Pria itu menggulung lengan kanan hoodienya. Kemudian, dia menyentuh tanda dengan wujud seperti deretan huruf asing di lengannya. Cahaya terang pun memancar dari tanda berwarna hijau muda tersebut.

Karena Alsie kembali menyerangnya, Circe lagi-lagi kewalahan.

"Maaf, aku dan Nona Alsie sepertinya sepakat kalau kamu itu terlihat kuat, jadi harus segera dihabisi," celetuk Lois di dalam pertarungan.

Tiba-tiba, di belakang Circe muncul sebuah ledakan berasap. Lois dan Alsie melompat mundur karena tak tahu jurus apa yang digunakan lawan mereka itu. Ketika asap bekas ledakan tadi mulai menghilang, mereka melihat sosok lain yang sama persis dengan Circe.

Ya, sekarang Circe ada dua. Keduanya tersenyum lebar, lalu menerjang ke arah Alsie dan Lois.

Lois cukup cakap menghadapi lawannya itu, beberapa kali menghindari sabetan gada berduri, kemudian melancarkan tusukan demi tusukan.

"Seorang putri bangsawan memang hebat dalam bertarung. Sayangnya, itu tidak dibareng dengan perilaku. Ucapan kamu tadi sangat tidak pantas," hardik ucap Circe.

Lois hanya tersenyum menndengar hal itu, kemudian menyarangkan tusukan kesekian.

Di sisi lain, Alsie kewalahan melawan Circe. Beberapa kali Alsie terkena serangan bidadari kekar tersebut. Kadang dia sampai terjatuh. Dia memang tetap bisa bangkit kembali untuk menghindari serangan selanjutnya, tetapi dia samasekali belum bisa membalas.

"Janu, mau sampai kapan kamu bengong begitu!" bentak Alsie kepada tuannya, si pria bertopi.

Tuan Alsie itu buru-buru menyentuh tanda berwarna biru tua di lengan bawah kanannya. Alsie langsung melemparkan salah satu pisaunya. Pisau itu terbang ke arah Circe. Circe berhasil menghindar, tetapi pisau itu membuat manuver, kembali menerjang kepada dirinya.

Circe bisa menangkis pisau itu, dan Alsie akhirnya bisa memasukkan serangan.

Dengan pisau terbangnya yang terus mengincar Circe, Alsie mulai berada di atas angin. Sampai akhirnya, dia berhasil melukai lengan atas lawannya. Artinya, energi pelindung di tubuh Circe telah habis. Sekali serangan mematikan, lawannya itu akan mati.

Circe mundur, waspada dengan keadaan sekitar. Alsie sudah tidak kelihatan. Dengan membelah diri menjadi dua, energi pelindung Circe pun terbagi. Seharusnya, jumlah serangan Alsie tadi belum mampu mengikis energi pelindungnya.

Alsie muncul dari semak di belakang Circe, berniat menggorok leher lawannya itu.

Akan tetapi, Alsie cuma mengiris udara. Circe keburu berubah menjadi asap. Sempat kebingungan sebentar, Alsie menoleh kepada Circe lain yang dilawan Lois. Circe itu masih berwujud solid. Tanpa pikir panjang, Alsie melesat ke sana.

Lois berhasil menusuk paha Circe, memaksanya jatuh berlutut. Dia sudah bersiap menangkis apa pun yang akan diberikan Lois. Namun, lawannya itu sudah tak kelihatan di manapun.

Merasakan hawa membunuh, Circe susah payah bangkit, menengok ke samping dan menangkis serangan Alsie. Dengan sangat bernapsu, Alsie memberikan kombinasi serangan dengan kedua pisaunya.

Tiba-tiba, keduanya berhenti bertarung. Mulut Circe memuncratkan darah, sementara Alsie bisa merasakan nyeri menyengat di bahu kanannya. Sebuah benda berbentuk seperti mata pedang tipis panjang bercahaya merah baru saja menghujam punggung Circe, tembus ke dada kiri, kemudian menghujam bahu kanan Alsie.

Luka di bahu dan dada kiri Circe pun mengucurkan cairan merah nan kental. Begitu Circe rubuh ke samping, Alsie bisa melihat mata pedang itu memendek ke arah Lois yang entah sejak kapan berdiri agak jauh darinya. Ya, yang menusuk Circe dan Alsie adalah pedang Lois.

Begitu Lois berjalan mendekat, Alsie memaksa kakinya memasang kuda-kuda. Tubuhnya memang berat karena mulai letih, bahu kanannya memang hampir tak bisa digerakkan, dan badannya seperti remuk karena terus dihantami gada Circe, tetapi dia harus tetap bertarung.

Kalau dirinya mati, semuanya berakhir.

Namun, kaki kiri Lois seperti kehilangan energi. Lututnya pun mendarat ke paving taman.

"Serangan gada Circe memberikan efek lumayan kepadaku," terang Lois, masih bisa tersenyum, padahal tubuhnya sudah dipenuhi keringat berkilau dan napasnya putus-putus. "Bagaimana kalau kita sudahi saja untuk malam ini? Kamu juga terluka, kan?"

Alsie menggigit bibirnya, terdiam sejenak, baru kemudian mengangguk. Dia dan Lois perlahan mundur sambil saling mengawasi, sampai akhirnya tiba di samping tuan masing-masing.

"Bagaimana, Marcel? Berapa yang muncul?" tanya Lois, memandang ke lengan kanan tuannya.

"Cuma satu." Sang tuan yang bernama Marcel itu menunjuk satu deretan huruf baru di bawah dua yang sudah ada sebelumnya.

Lois manggut-manggut. "Berarti dia belum lama bergabung, kemampuan yang muncul baru satu."

Lois lalu menengok kepada mayat Circe di tengah taman. Pria ber-hoodie yang menjadi tuan Circe tengah mendekati mayat itu

"Hei, kamu!" panggil Lois kencang. "Lebih baik kamu tinggalkan saja mayatnya. Percayalah, kamu tidak akan mau melihat apa yang akan terjadi."

Pria ber-hoodie itu—baru berjongkok di samping Circe—menoleh kepada Lois, yang sudah mulai meninggalkan taman bersama tuannya. Alsie dan tuannya pun ikut bertolak dari tempat itu.

Si pria ber-hoodie lantas menutup mata Circe yang masih terbuka. Di dekat kaki Circe, Piv berdiri sambil memerhatikan.

avataravatar
Next chapter