4 Kenyataan

Rava melompat turun begitu Lyra mendarat di trotoar. Pemuda itu langsung membungkuk di dekat sebuah tembok, berusaha mengatur nafas, kemudian menutupi mulutnya dengan tangan. Perutnya terasa bagai dikocok-kocok dan ada sesuatu yang seperti mendesak dari kerongkongannya. Perjalanan tadi, walaupun bersama perempuan cantik, bukanlah pengalaman yang menyenangkan.

"Seharusnya kamu naik ke punggungku saja tadi. Pasti jauh lebih nyaman," ucap Lyra.

"Kamu gila, ya! Ini bukan masalah nyaman atau nggak nyaman! Bisa-bisanya kamu bawa aku gitu aja! Lihat, nih!" Rava menunjukkan bagian ketiak kaosnya yang bolong, lantas menunjuk bagian selangkangan celana pendeknya yang sobek, lalu menunjuk kedua kakinya yang telanjang.

Masih dengan ekspresi yang biasa ditunjukkannya, Lyra berkata, "Aku tahu, kamu kecewa karena tak sempat ganti pakaian ...."

"Bukan itu poinnya! Kamu nggak bisa bawa aku seenaknya kayak tadi!" potong Rava sengit. "Kamu ...."

"Sssst!" Lyra menempelkan jari telunjuknya ke mulut. "Sekarang bukan saat yang tepat untuk marah-marah. Kamu dengar itu?"

Rava langsung menahan napas begitu sadar akan suara yang dimaksud Lyra. Terdengar dari jauh, di antara bunyi-bunyi alarm mobil, suara itu seperti bunyi efek di film-film, saat suatu benda tajam menebas daging musuh. Kemudian, ketika menyadari keadaan di sekitarnya, Rava membelalakkan mata lebar-lebar. Interval degup jantungnya merangkak naik. Ia pun memandang berkeliling, di pusat pertokoan tempatnya berada sekarang, orang-orang membeku di tempatnya.

"Bagaimana bisa?" Rava mendekati salah satu pria yang seperti sedang berpose melangkah di trotoar. Tak ada respon saat Rava melambaikan tangan di depan muka pria itu. Saat menoleh ke jalan raya, dia melihat orang-orang berserakan dengan posisi seperti mengendarai motor, padahal motor mereka sudah tergeletak jauh. Sementara itu, mobil-mobil semuanya dalam posisi kecelakaan, ada yang bagian depannya bertengger di pintu toko, menabrak tiang listrik, bahkan terguling.

Mereka-mereka terluka, menguarkan bau anyir darah ke udara. Ada juga yang posisinya mengerikan. Tulang-tulang membengkok ke arah yang tak seharusnya, wajah-wajah penuh darah, bahkan ada yang tubuhnya dalam kondisi remuk, layaknya habis terlindas.

Namun, posisi mereka tetap, ekspresi mereka biasa saja, mereka benar-benar seperti patung.

Kali ini, Rava muntah sejadi-jadinya.

"Apakah kamu masih tidak mau melawan monster-monster itu setelah melihat ini?" tanya Lyra dingin, tak memerhatikan Rava yang terus saja mengeluarkan isi perutnya. "Aku ingatkan lagi ya, aku dan kamu bisa membantu agar semua ini cepat selesai. Kalau kita menang dalam pemilihan ratu ini, maka tak ada monster-monster yang akan datang lagi."

"Huh ...." Rava menyeka mulutnya, menyunggingkan senyum getir. "Aku lupa menanyakan ini kemarin, tapi aku sudah tahu jawabannya. Kalian memilih dunia lain seperti bumi agar monster-monster itu tidak datang ke dunia kalian, kan?"

Tak menjawab, Lyra mulai melangkah.

"Apa kita nggak bisa menolong mereka dulu?" tanya Rava dengan suara tertahan.

"Kalau monster yang datang ke area ini sudah dikalahkan, semuanya akan kembali normal. Kita tidak mungkin mengobati semua manusia yang ada di sini, sementara monster itu masih membuat kerusakan."

Menggigit bibirnya, Rava menguatkan tekad. Sepertinya, dia tak punya pilihan untuk lari. Ia pun mengambil sandal jepit butut dari kaki seorang penjahit pinggir jalan. Menemukan selembar sepuluh ribuan di celananya, Rava menaruhnya ke meja mesin jahit, kemudian membisikkan terimakasih. Entah sang penjahit pria yang tampak sudah berumur itu masih bisa mendengarnya atau tidak.

Rava segera menyusul Lyra. Mereka terus berjalan sepanjang trotoar. Rava berusaha tak memedulikan pemandangan mengerikan di sekitarnya.

"Jadi, kalau monster-monster itu datang, maka orang-orang akan jadi seperti ini?" Rava mengelusi lehernya, berusaha menahan mual.

Lyra membisu sejenak. "Bukan. Ini dilakukan oleh pihak yang menyelenggarakan pemilihan ini. Mereka tidak mau manusia bumi melihat monster .... Lebih tepatnya, mereka tidak mau manusia bumi melihat kami yang membasmi monster-monster itu."

"Hah!?" Rava merasa isi perutnya seperti dibetot keluar. "Mereka gila, ya?"

"Aku sudah berbicara terlalu banyak. Kalau berbicara lebih dari itu, aku bisa dihukum. Lagi pula, sekarang bukan saat yang tepat untuk berdebat," timpal Lyra cepat.

Kedua tangan Rava terkepal erat. Bukan dirinya yang meminta untuk masuk ke dalam keabsurdan ini. Hari-hari kemarin, dia masih menggambar dengan damai di kamarnya, sesekali menonton anime atau bermain game.

Di persimpangan, Lyra mengintip dari sisi sebuah toko. Dengan gerakan luar biasa kaku, Rava ikut mengintip. Serta-merta ia menutupi mulutnya, menahan diri untuk tak berteriak. Ia melihat seorang wanita berambut pendek tengah melawan makhluk-makhluk seperti manusia di tengah jalan. Namun, jelas sekali kalau makhluk-makhluk yang jumlahnya banyak itu bukanlah manusia.

Perban abu-abu lusuh yang membalut tubuh makhluk-makluk itu barangkali bisa dipakai manusia. Begitupun pentungan berkarat yang dibawa mereka, manusia juga bisa menggunakannya sebagai senjata. Namun, tak ada manusia yang bagian wajahnya dipenuhi banyak mata seperti makhluk-makhluk itu.

Wanita berambut pendek itu terus menebasi para monster yang datang kepadanya. Monster yang tumbang akan berubah menjadi asap hitam beberapa detik kemudian.

Lyra pun keluar dari persembunyiannya, menunjuk seorang lelaki bertopi yang mengawasi pertarungan dari jauh. "Kamu awasi pertarungan seperti dia. Kalau diperlukan, aktifkan kekuatanku dengan menyentuh tanda di lenganmu."

Baru juga Rava menyadari keberadaan lelaki yang berjarak sekitar dua puluh lima meter darinya itu, Lyra sudah melesat. Tangan kanan wanita itu mengeluarkan cahaya putih terang, yang langsung membentuk pedang bermata dua. Hanya dalam waktu beberapa detik, pedang itu berubah menjadi solid, seperti logam pada umumnya.

Lyra menebas kepala dua monster dengan gerakan luar biasa anggun layaknya penari. Ia kemudian menyarangkan serangan demi serangan kepada monster-monster lainnya, sekaligus mendekati bidadari berambut pendek. "Perkenalkan, saya Lyra."

Bidadari itu hanya melirik sebentar kepada Lyra, lantas melanjutkan kegiatannya membasmi monster dengan pisau gandanya.

"Saya tahu, Anda ini Nona Alsie, kerabat dari ratu, kan?" lanjut Lyra.

Alsie berdecak dan justru menjauh dari Lyra, jelas sekali tak mau bekerjasama.

Kalau dalam keadaan biasa, pikiran Rava pasti akan bertanya-tanya mengapa Alsie memakai busana mirip baju renang one-piece biru tua ketat yang menonjolkan paha. Namun, dia kini fokus dengan monster-monster yang semakin banyak datang. Untungnya mereka samasekali tak memperhatikan dirinya. Keberadaan bidadari seperti menjadi magnet bagi monster-monster itu.

"Janu!" teriak Alsie, melihat perban yang membalut luka tusukan di pundak kanannya kembali dirembesi darah. Itu adalah bekas luka tusukan dari Lois tadi malam.

Janu mengaktifkan kekuatan Alsie. Salah satu pisau Alsie pun terbang dan mulai menebasi para monster. Alsie pun kini menyerang hanya dengan tangan kiri, memberi kesempatan tangan kirinya untuk beristirahat.

"Apa kamu tidak merasa ini saat yang tepat untuk mengaktifkan kekuatan?" tanya Piv, yang tiba-tiba muncul di dekat kaki Rava.

Sempat terkejut, Rava mengamati keadaan. Lyra memang belum terdesak. Para monster juga belum ada yang berhasil menyarangkan serangan ke tubuh bidadari tersebut. Akan tetapi, dengan jumlah mereka yang semakin banyak, barangkali saran Piv sangat tepat.

Cahaya putih langsung memancar dari tanda di lengan Rava begitu pemuda itu memencetnya. Kecepatan gerakan Lyra seketika meningkat drastis. Mata Rava sampai tak bisa mengikuti gerakan bidadarinya itu. Tahu-tahu potongan tubuh beterbangan, semburan-semburan cairan hitam bermunculan, dan tubuh-tubuh monster itu bertumbangan.

Beberapa menit berlalu, Lyra menebas monster terakhir. Alsie berdiri dan menangkap pisau yang datang padanya. Begitu Lyra berbalik menghadapnya, Alsie mengerutkan kening, tatapannya langsung menegas.

"Kamu adalah bagian kaum bermata iblis!" hardi Alsie, menunjuk mata Lyra yang berwarna hazel. "Kaummu masih punya hubungan darah dengan pihak yang mengirim monster-monster ini! Kaummu selalu membuat kerusakan di duniaku!"

Begitu mendengar umpatan Alsie, Rava yang tengah mendekati Lyra langsung menghentikan langkah. Sepertinya, hubungan para bidadari yang datang ke bumi cukup kompleks. Tidak cuma melulu bertarung demi kekuasaan.

Lyra menarik napas pelan. "Adakah cara menuduh yang lain? Yang lebih kreatif? Saya sudah bosan mendengar tuduhan seperti itu, Nona."

"Kamu tidak pantas ada di sini!" Alsie memasang kuda-kuda siap bertarung.

Lyra memutar-mutar pedang bermata gandanya, kemudian ikut memasang kuda-kuda.

"Luka kamu kebuka lagi. Apa kamu masih mau bertarung!?" tanya Janu dari kejauhan.

Alsie mendengus keras. "Kamu tidak akan mengerti, Janu. Lebih baik kamu diam. Kalau dia mati, kamu juga yang akan diuntungkan, kan? Kamu jadi semakin dekat dengan keinginanmu."

"Tenang saja, Rava." Lyra sedikit melirik kepada tuannya. "Seperti yang kubilang tadi, bidadari dilarang membunuh tuannya sendiri atau tuan bidadari lain. Monster sudah dibasmi semua, kamu aman. Tapi, untuk jaga-jaga lebih baik kamu mundur dulu."

Rava menelan ludah. Mereka benar-benar akan bertarung? Dua wanita rupawan ini? Mereka akan saling menumpahkan darah? Berarti, akan ada yang mati? Bukannya saling membunuh itu perbuatan yang buruk?

"Rava!" seru Lyra.

Tersadar, Rava pun buru-buru mundur sampai hampir terjatuh. Ia tersandung seseorang yang tergeletak di aspal.

"Hei! Lebih baik kalian memikirkan orang-orang yang ada di sini dulu!" protes Rava.

"Sayangnya, Nona Alsie ini sepertinya tidak mau diajak menurunkan senjata, walau untuk sementara," sahut Lyra.

Begitu Lyra selesai bicara, Alsie melesat ke arahnya.

avataravatar
Next chapter