10 Busana yang Layak

Ini adalah kali pertama Rava menaiki mobil sport. Terasa sangat berbeda dengan mobil lawas berwujud kotak yang biasa dipakai keluarga besar ibunya. Mobil yang dikendarai Stefan ini melaju lebih halus, tetapi suara knalpotnya begitu tegas.

Rava tahu mobil berwana merah ini ada di dalam kelas terendah dalam tingkatan kendaraan sejenis. Dia sering melihatnya dari game balap. Namun, namanya mobil sport, pasti harganya mahal. Artinya, Stefan pasti orang berada.

"Maaf kalau aku bertanya ini, Lyra. Tapi, sebenarnya sedari tadi aku penasaran .... Yah, kamu sendiri tahu, kan. Matamu itu ...." Ione yang duduk di sebelah Stefan pun meringis kaku.

Lyra, yang tubuh bagian atasnya sudah tertutupi jaket milik Ione, memilih diam saja di kursi belakang, hanya memejamkan mata sambil bersedekap. Kedua kakinya yang mulus disilangkan.

Rava garuk-garuk kepala tak mengerti. Jadi, Ione mau bertanya apa sebenarnya? Beberapa menit menunggu dan Ione tak kunjung mengajukan pertanyaan yang jelas, Rava memutuskan untuk bertanya terlebih dahulu kepada Lyra yang duduk di sebelahnya. "Aku juga penasaran. Sebenarnya bidadari berbaju biru tua itu kemarin ngomongin tentang apa? Apa ada sesuatu di matamu itu?"

Rava tak kuasa mengucapkan 'mata setan' seperti yang keluar dari mulut Alsie.

Lyra sedikit mendesah. "Apa kamu benar-benar mau mendengarnya? Sepertinya Nona bidadari yang duduk di depan ini juga tahu. Lebih baik tanya padanya."

Serta-merta, Stefan dan Rava menatap Ione.

"Kamu yakin, Lyra?" tanya Ione, kembali meringis.

Lyra mengangkat bahu. "Terserah. Memangnya aku punya hak menghalangi kamu bercerita?"

"Baiklah kalau begitu," timpal Ione. Suaranya kini terdengar serius. "Jadi, di dunia kami ada sebuah legenda yang diceritakan turun-temurun. Konon katanya, di zaman dahulu kala, ada bayi kembar yang terlahir dengan warna mata yang tidak pernah ditemui di dunia kami. Warna amber dan hazel."

Rava langsung menatap mata Lyra, yang berwarna hazel tua.

"Aku tidak akan menceritakan secara detail. Bakal terlalu panjang nantinya. Intinya, ketika sudah tumbuh dewasa, dua anak kembar ini melakukan perusakan. Mereka berhasil mengelabui banyak orang untuk berperang demi nafsu mereka. Mereka menghancurkan kota-kota, mencuri harta orang-orang, menyiksa mereka, melakukan hal tidak senonoh pada para gadis-gadis ...." Ione berdehem pelan.

"Memangnya, apa tujuan mereka melakukan itu?" tanya Stefan hati-hati.

"Bahkan sampai sekarang tak ada yang tahu secara pasti. Anak kembar ini berkata kepada para pengikutnya kalau mereka sedang melakukan misi suci. Tentu saja tidak ada yang percaya kecuali pengikut mereka sendiri. Mana ada misi suci yang merusak? Teori yang paling kuat adalah bahwa mereka itu gila dan cuma ingin bersenang-senang saja. Mereka itu iblis yang senang melihat kehancuran."

Rava memegangi tengkuknya, yang seperti dihantam hawa dingin. Ia pernah mendengar pemimpin di dunianya yang berkelakuan mirip dengan si kembar yang diceritakan Ione.

"Kekuasaan si kembar ini sangatlah kuat mencengkram sebagian besar dunia kami. Pemberontakan dan percobaan pembunuhan mereka selalu berhasil digagalkan. Para pelaku disiksa di depan umum untuk membuat rakyat takut melawan," lanjut Ione, menarik napas cukup panjang. "Kalian bisa menebak, apa yang akhirnya membuat kekuasaan mereka berakhir?"

"Memangnya apa?" timpal Stefan, sementara Rava hanya menggeleng saat Ione menoleh kepadanya.

"Mereka menghilang begitu saja. Penerus mereka, karena terlalu dimanja sejak kecil, jadi tak becus menjadi pemimpin. Pemberontakan-pemberontakan bermunculan, sampai akhirnya semua bisa bebas dari tirani yang ada."

"Apa nggak ada yang tahu si kembar ini ada di mana?" tanya Stefan lagi.

"Begitulah." Ione menggeleng pelan. "Lalu, konon katanya lagi, di masa depan, si kembar akan muncul kembali, bergabung dengan para keturunannya, para pemilik mata amber dan hazel, untuk membuat kerusakan besar lagi ...."

"Cerita itu hanya legenda, hanya dongeng belaka," potong Lyra cepat. Meski ekspresinya lagil-agi tak berubah banyak, nada suaranya meninggi. "Yang jelas, orang-orang bermata amber dan hazel jadi dimusuhi sampai sekarang. Kami dianggap keturunan si iblis kembar itu dan pasti dianggap punya jiwa perusak. Padahal, kalau diperlakukan secara adil, kami tidak akan melakukan balas dendam atau protes dengan jalan kekerasan."

Ione kembali menghela napas. "Iya benar, pada akhirnya, cerita itu cuma legenda."

"Tapi, kalau amber dan hazelnya tua, bukannya susah ngebedain sama cokelat biasa misalnya?" tanya Rava hati-hati.

"Makanya, di dunia kami, orang-orangnya memperhatikan betul-betul mata satu sama lain," balas Lyra cepat.

Perjalanan dilanjutkan tanpa ada yang berbicara lagi. Rava benar-benar merasa tak nyaman mendengar cerita tadi. Di bumi, ada juga sekelompok orang yang diperlakukan tidak adil, ditindas hanya karena mereka berbeda.

Sekarang Rava mengerti mengapa Lyra menangis gara-gara kesempatan menjadi ratunya hilang. Lyra pasti ingin menjadi pemimpin yang akan membuat kehidupan kaumnya jadi lebih baik. Setelah tadi meyakinkan diri kalau perbuatannya membuat Lyra tak bisa membunuh itu benar, sekarang Rava ragu.

Semuanya tidak semudah itu. Tidak sekedar hitam dan putih.

"Kita sampai." Stefan memecah keheningan. Ia sudah mengendarai mobilnya ke tempat parkir sebuah pusat perbelanjaan.

Setelah mobil terparkir rapi, mereka turun dan memasuki pusat perbelanjaan itu. Rava benar-benar tak menduga kalau efek dari keberadaan Ione dan Lyra akan begitu luar biasa. Semua mata, baik lelaki dan perempuan, tertuju kepada dua perempuan yang kecantikannya memang terlalu sempurna itu.

Terutama Lyra. Jaket Ione yang dipakainya cukup panjang sampai menutupi pantatnya, membuat celana super pendeknya tidak terlihat. Dia benar-benar terlihat seperti tidak memakai celana.

"Sepertinya, datang ke sini buat beli baju adalah keputusan yang tepat," gumam Rava, menyadari banyak mata lelaki yang terfokus ke kaki jenjang nan mulus bidadarinya itu.

Stefan pun menutupi mulutnya, menahan tawa. Rava sendiri tak bisa melihat apanya yang lucu. Ia justru waspada kalau-kalau ada ibu-ibu yang mendadak muncul untuk mencela Lyra karena dianggap tidak senonoh di publik.

Kalau itu terjadi, Rava akan malu, tapi entah dengan Lyra.

Setibanya di lantai dua, Ione menarik Lyra menuju bagian pakaian dalam, sementara para lelaki bergeser ke bagian sepatu, menempati tempat duduk di sana.

"Kamu kerja di mana, Rav?" tanya Stefan.

Basa-basi yang umum. Biasanya Rava malas menerangkan kepada orang awam, yang biasanya sulit mengerti konsep pekerjaannya. Namun, melihat penampilan Stefan yang tampak berwawasan luas, Rava yakin pemuda itu akan mengerti.

"Ngerjain orderan gambar di internet," jawab Rava pendek. Isi perutnya seperti agak bergejolak saat mulutnya mengatakan hal itu.

"Wah, keren. Lihat portofolio kamu, dong. Aku ini belum tahu mau ngapain ke depannya, siapa tahu aku mau buka bisnis atau apalah yang butuh jasa gambar kamu. Yah, paling nggak bikinin maskot atau semacamnya."

"Tapi .... Aku udah menukar kemampuanku itu dengan ...." Rava tercekat, tak bisa melanjutkan kata-katanya.

Stefan sedikit salah tingkah. "Ah, maaf. Aku nggak tahu."

"Nggak masalah, Mas." Merasakan canggung, tetapi tak mau melanjutkan topik obrolan, Rava memberanikan diri bertanya, hal yang jarang dilakukannya kepada orang asing. Kecuali kepada Lyra saat pertama bertemu, itupun gara-gara situasi yang absurd. "Tadi, Mas Stefan bilang bingung mau ngapain, tapi Mas kan bawa mobil mewah .... Maksudnya, kenapa Mas nggak ngelanjutin sekolah, nyari kerja yang bagus, atau tadi yang udah dibilang, kenapa nggak bikin bisnis aja? Biaya pasti ada, kan?"

Sedikit tawa getir meluncur dari mulut Stefan. "Gimana bilangnya, ya? Yah, aku ini bisa dibilang seperti nggak punya ambisi mungkin? Kuliah juga kuliah aja. Begitu lulus, aku bingung. Aku nggak mau terjebak dalam rutinitas kosong lagi seperti saat kuliah. Makanya, aku libur dulu sekarang. Mikirin masa depan."

"Oh." Rava sudah kehabisan pertanyaan. Ia mengutuk dirinya sendiri yang tidak bisa melanjutkan obrolan.

Selanjutnya, mereka berdua memainkan ponsel masing-masing. Hanya sesekali Stefan melontarkan pertanyaan pembuka, tapi karena selalu dijawab Rava dengan sekedarnya, perbincangan mereka tidak berkembang.

Dan barangkali karena sudah kodratnya sebagai wanita, meskipun mereka berasal dari dunia lain, Lyra dan Ione tak kunjung kembali. Rava merasa makin tidak betah saking canggungnya. Ia ingin segera kabur dan kembali ke kamarnya.

"Sebenernya keinginan kamu apa, Rav? Maksudnya, kalau misal kamu sama Lyra jadi yang terakhir bertahan, kamu mau minta apa?" tanya Stefan.

Rava menggaruk-garuk rambutnya. "Aku nggak tahu, Mas. Jujur aja, aku juga sama sekali nggak mikirin itu."

"Mungkin karena kamu merasa mendapatkan sesuatu dengan mengorbankan nyawa itu salah? Makanya, kamu memilih buat nggak mikirin sama sekali?"

"Mungkin," jawab Rava, terdiam sejenak. "Aku juga nggak tahu konsekuensi apa yang bakal terjadi kalau keinginanku dikabulkan nantinya. Kita berhadapan dengan sesuatu yang nggak kita ketahui."

Tersenyum lebar, Stefan menepuk pundak lawan bicaranya itu. "Kita punya pandangan yang sama. Kita bakal cocok."

Rava sedikit melongo. Cocok? Cocok apanya? Mengobrol saya tidak jelas begini.

Ione dan Lyra muncul di kejauhan. Tangan masing-masing menenteng beberapa tas kertas. Lyra melangkah dengan rok kasual selutut dan kemeja modis yang pas badan, tidak ketat lagi. Rava memang tetap merasakan sensasi panas di wajahnya, tapi jelas bukan karena sesuatu yang seronok lagi. Dengan pakaian layak seperti itu, ditambah wajah merona, Lyra tampak jauh lebih rupawan di mata Rava.

"Mbak ini tidak mau pakai celana panjang, jadi kupilihkan rok kasual," ucap Ione, mengamati penampilan Lyra dengan tatapan puas. "Tapi, dia tidak suka memakai pelapis selain celana dalam. Kalau ada angin kencang, ya bubar semua."

Rava terheran-heran begitu mendapati Stefan malah mengusapi dagu dengan wajah kecewa.

"Dan tenang saja, Rav. Dia sudah memakai bra, kok." Ione tertawa lepas.

Rava tak habis pikir perkataan memalukan seperti itu bisa keluar dari mulut seorang perempuan.

"Dia akhirnya mengakui, kalau ukurannya pas, bra itu bisa nyaman. Terus ...." Ione mengangkat beberapa tas di tangannya. "Aku juga sudah belikan beberapa hot pants, kalau-kalau Lyra bosan pakai rok. Tenang saja, nggak terlalu pendek, kok."

Rava tak mengerti mengapa dirinya memeriksa isi tas berisi beberapa hot pants yang diulurkan Lyra. Barangkali untuk memastikan hot pants yang dibeli tidak akan menampilkan setengah pantat ke mana-mana.

"Yah, sebagian penduduk di dunia kami memang sangat terbiasa memakai bawahan yang terbuka. Jadi, aku tidak bisa memaksa Lyra memakai celana panjang juga. Kalau aku sih, sudah terbiasa," imbuh Ione.

Stefan pun seolah menegaskan kekecewaannya dengan menggeleng-gelengkan kepala.

"Tapi ...." Lyra sedikit menggeliat seraya membenarkan rok barunya.

"Bertahanlah, nanti juga terbiasa. Menurut kamu, itu lebih baik dari celana panjang, kan? Kamu harus mengikuti budaya bumi, termasuk pakaiannya supaya bisa membaur," tambah Ione lagi.

Lyra meraih ujung roknya. "Kurang ada angin yang masuk. Lebih baik kusobek bagian sampingnya dari bawah ke atas."

"Jangan!" jawab Ione dan Rava serentak, sementara Stefan nyengir.

avataravatar
Next chapter