1 Kawanan Serigala

Pada usia 10 tahun, Samuel pernah bermimpi sedang berjalan di tengah hutan seorang diri. Ia hanya mengenakan pakaian seadanya. Kaus oblong berwarna putih, celana pendek selutut, dan kaki tanpa alas. Cahaya matahari bahkan nyaris meredup, bersiap turun untuk menyerahkan tugas selanjutnya kepada sang rembulan. Suasana pun terasa sepi, hanya ada bunyi dedaunan kering yang terinjak oleh kaki telanjangnya.

Beberapa saat kemudian, bunyi lolongan serigala mengalihkan perhatiannya. Samuel menghentikan langkahnya dengan tubuh yang seketika terdiam kaku. Hembusan angin menggelitik area lehernya yang membuat bulu kuduknya merinding dalam sekejap. Di kejauhan, Samuel lantas disambut oleh kawanan serigala yang datang ke arahnya.

Samuel panik. Alhasil, ia langsung mengeluarkan sebuah busur panah yang entah dari mana berasal. Busur panah itu ia arahkan pada serigala yang berdiri di paling belakang.

CTAS!!

Ujung busur itu tepat mengenai jantung sang serigala yang langsung terkapar tak berdaya. Bersamaan dengan itu, Samuel langsung bersembunyi di balik pohon sambil memperhatikan para kawanan serigala lainnya yang mulai melolong keras. Mereka seolah geram, sekaligus berduka atas kematian salah satu kawanan tersebut.

Tidak begitu lama, sampai akhirnya mereka melanjutkan perjalanan setelah sebelumnya, salah satu kawanan yang berdiri di posisi kedua, memilih untuk mundur dan menempatkan dirinya di paling belakang. Sementara jasad serigala tadi dibiarkan tertutup dedaunan kering yang berjatuhan dari atas pohon.

Samuel sempat bertanya soal maksud dari mimpi terdebut kepada sang ayah. Namun, sang ayah hanya berkata bahwa itu bukanlah perkara serius yang harus ia takuti. Mimpi serigala itu mungkin berasal dari leluhur yang sengaja menyalurkan ilmu pengetahuannya untuk Samuel. Karena sejak hari itu, Samuel menjadi paham tentang perilaku kawanan serigala yang menjadi pusat perhatiannya setiap kali ia menyaksikan acara satwa di televisi.

"Serigala yang berdiri di paling belakang, biasanya mereka adalah yang terkuat alias alpha atau pemimpinnya," ucap ayahnya saat beliau berusaha menjelaskan maksud dari mimpi tersebut kepada Samuel.

"Kenapa pemimpin jalannya di paling belakang? Seharusnya pemimpin itu kan jalannya di depan, Yah!" Samuel kebingungan.

Sang ayah menggenggam kedua tangan mungilnya sambil tersenyum kecil. "Kalau untuk kawanan serigala, mereka yang jalan di paling depan adalah mereka yang udah tua atau sakit-sakitan. Di belakang serigala tua, ada satu pemimpin yang biasa disebut alpha. Sementara di belakang alpha, ada beta dan omega yang nggak lain adalah kawanan biasa. Beta bisa menggantikan posisi alpha, tapi tidak dengan omega. Nah, di posisi paling belakang ini ada pemimpin utama mereka alias alpha yang mengawasi semuanya dari belakang. Dia adalah yang paling kuat dan sama kuatnya dengan alpha yang berjalan di depan sana."

"Jadi, yang Sam tembak di dalem mimpi itu pemimpinnya para serigala ya, Yah?"

Sang ayah mengangguk mantap. "Betul, Sam. Makannya setelah itu alpha yang paling depan memilih buat mundur dan menggantikan tugas alpha yang mati untuk mengawasi dari belakang. Sementara tugas untuk mengawasi serigala tua dan sakit-sakitan, akan diambil alih oleh beta."

Semua tentang mimpinya memang tidak berarti apa-apa. Sampai suatu hari Samuel mulai menyadari bahwa mimpi tersebut seolah menjadi pertanda untuk kehidupannya. Samuel merasa seperti kawanan beta, yang tentu saja harus menggantikan tugas kedua alpha untuk menaklukan dunia ini. Ya, mereka adalah ayah dan ibunya.

*****

20 tahun kemudian

Tahun 2021

Pilihannya jatuh pada sebuah arloji dengan model vintage yang dilengkapi oleh tali kulit berwarna coklat tua. Samuel menutup satu matanya untuk memperhatikan sebuah arloji dari jarak yang sangat dekat. Tak lupa, ia juga memeriksa bunyi jarum jam untuk memastikan keasliannya. Karena konon katanya, arloji asli tidak mengeluarkan bunyi jarum jam sama sekali. Ya, Samuel memang teliti, apalagi menyangkut benda yang nantinya akan menjadi hadiah spesial di hari ulang tahun ayahnya.

"Saya minta kotak jamnya diiket pita warna biru ya, Mbak," mohon Samuel kepada sang penjual.

"Boleh, Mas. Mau sekalian sama kartu ucapannya?"

Samuel pun mengangguk mantap dan sang penjual menyerahkan sebuah kartu ucapan kepadanya. Setelah selesai menulis pesan dan membayar semuanya, Samuel memasukkan kotak arloji itu ke dalam kopernya yang ia geret menuju sebuah taksi. Tujuan utamanya saat ini adalah stasiun Gambir untuk kemudian berangkat menuju Bandung menggunakan kereta kelas bisnis.

Di perjalanan menuju Bandung, Samuel menghabiskan sebagian besar waktunya untuk berbincang bersama kedua orang tuanya melalui panggilan video. Tawa riang tak terelakan terus terpancar di wajahnya yang semakin dewasa semakin terlihat tampan. Tidak heran jika Samuel sering memenangkan lomba model di usia remajanya, bahkan hal itu menjadi profesi utamanya di usianya yang ke-30 saat ini.

"Sam, di Jakarta nggak punya cewek apa?" tanya sang ibu, yang terkadang membuat Samuel salah fokus dengan kerutan di wajahnya.

"Sam lagi fokus meniti karir, Bu. Nanti kalau udah saatnya, Sam pasti ketemu sama cewek idaman Sam, kok."

Sang ayah ikut angkat suara, "Kamu bener, Sam. Masalah jodoh itu sudah diatur sama Tuhan. Mau kita cari sampai menggali inti bumi sekali pun, kalau Tuhan bilang belum waktunya, ya kamu tidak akan bisa bertemu sama dia."

"Ih, si Ayah! Orang lagi ngasih semangat malah dijatuhin kaya gitu! Atuh nanti si Sam teh malah makin males nyari jodoh!" sang ibu tidak terima.

"Emangnya siapa yang jatuhin si Sam? Orang Ayah cuma bicara realistis, kok!"

"Realistis naon[1]? Itu mah namanya nyuruh anak jadi pesimis! Bukan realistis!"

Samuel hanya tersenyum melihat pertengkaran konyol di antara kedua orang tuanya. Terlebih dengan cara bicara yang berbeda antara satu sama lain. Sang ibu yang berasal dari Bandung dengan logat sundanya dan sang ayah yang merupakan blasteran Jakarta-Amerika dengan bahasa bakunya. Mereka memang sering mempermasalahkan soal kehidupan Samuel, mengingat ia adalah seorang anak tunggal yang menjadi satu-satunya harapan bagi kedua orang tuanya.

"Udah...udah! Kenapa malah pada berantem sih? Sebentar lagi Sam nyampe Bandung, nih! Ayah sama Ibu mau nitip makanan apa? Biasanya di stasiun suka banyak yang jual jajanan enak loh," Samuel mengalihkan pembicaraan.

"Kamu nggak perlu mampir-mampir, Sam! Langsung pulang saja! Di rumah sudah banyak makanan, kok!" sahut sang ayah.

"Iya, Sam. Ibu juga udah masakin ayam goreng sambel penyet favorit kamu! Cepetan pualng weh[2]! Jangan kemana-kemana! Kan kita mau tiup lilin!" sambung sang ibu.

Samuel mengangguk mantap. "Iya...iya. Kalau gitu Sam tutup teleponnya ya. Sam mau siap-siap turun."

"Tunggu!" ucap sang ayah. Senyumnya tiba-tiba mengembang lembut dan tatapannya begitu cerah. "Ayah sayang banget sama Sam. Ayah nggak mau Sam sedih kalau suatu hari Sam punya masalah. Janji sama Ayah, kalau Sam bakal hidup bahagia, oke?"

Samuel terdiam sejenak. Entah mengapa, ucapan sang ayah kali ini terasa begutu berbeda dan sangat menyentuh hati.

Sementara sang ibu kini mulai melambaikan tangannya kepada Samuel. "Ibu juga sayang sama Sam! Sampai ketemu di rumah ya!"

Samuel pun ikut melambaikan tangannya kepada kedua orang tuanya sebelum ia menutup panggilan videonya. Perjalanan menuju Bandung menjadi terasa begitu singkat, sampai bunyi pemberitahuan mulai terdengar bahwa kereta yang ditumpangi Samuel sudah tiba di kota tujuan, yakni kota Bandung.

Satu per satu penumpang mulai turun, begitu pula dengan Samuel yang terlihat begitu antusias. Ia menggeret kopernya, lantas kedua matanya terpejam sambil menghirup udara sejuk Bandung setelah ia turun dari kereta. Sungguh, kota Bandung adalah kota yang menyimpan banyak kenangan di hidupnya. Sebagian besar masa kecilnya dihabiskan di kota ini, dari sejak Samuel lahir sampai akhirnya ia merantau ke Jakarta pada usia 24 tahun, demi mengejar impiannya sebagai seorang model.

Suasana kota Bandung juga tidak berubah sama sekali. Bangunan-bangunan khas belanda masih terlihat di beberapa tempat yang Samuel lalui menggunakan taksi menuju rumah orang tuanya. Pepohonan rimbun yang berjejer di sepanjang jalan Cihampelas, juga membuat suasana menjadi lebih teduh. Tak lupa dengan jembatan layang Pasupati yang merupakan jembatan terpanjang kedua di Indonesia, dengan panjang sampai 2 kilometer lebih. Samuel jadi ingat, ketika ia dan ayahnya pergi jalan-jalan melewati jembatan pasupati menggunakan motor jadul. Sepulang dari sana, Samuel pun diminta mengerok punggung ayahnya yang masuk angin. Benar-benar kenangan yang tak bisa terlupakan.

"Stop, Pak! Di sini aja," ucap Samuel kepada sang supir taksi.

Tujuannya sudah ada di depan mata. Samuel langsung masuk ke dalam rumah orang tuanya yang memiliki nuansa modern klasik. Dengan senyum antusias, Samuel mengeluarkan kotak arlojinya dari dalam koper yang hendak ia berikan kepada ayahnya saat ini. Setelah itu ia kembali menggeret kopernya menuju pintu rumah yang terbuka begitu lebar. Entahlah, apakah kedua orang tuanya sengaja membiarkan pintu terbuka untuk menyambutnya, atau...

"AAAKHHH!!"

Tiba-tiba saja suara teriakan terdengar dari dalam sana. Samuel langsung berlari tanpa mempedulikan kopernya yang ia tinggal di teras rumah.

"Ayah! Ibu!" Samuel berlari menuju ruang tamu, tetapi mereka tidak ada di sana. Selanjutnya ia pergi ke ruang keluarga dan mereka pun masih tidak ada di sana.

Sampai akhirnya, komplotan orang berpakaian serba hitam terlihat muncul dari arah dapur. Jumlahnya ada enam orang dan masing-masing dari mereka membawa senjata tajam di tangannya. Wajah mereka tertutup topeng bandit yang juga berwarna hitam.

Samuel terbelalak. Apalagi saat ia melihat ibunya yang mencoba merangkak dengan kepala berlumuran darah. Setelah itu, salah satu dari kompolotan tersebut menusuk punggung ibunya menggunakan sebilah pisau yang membuat wanita itu langsung tergeletak tak sadarkan diri.

"IBUUUU!!" Samuel berteriak.

Rasa takutnya ia kesampingkan untuk berlari menghampiri ibunya. Bahkan di depan sana, Samuel juga bisa melihat sosok ayahnya yang tergeletak dengan sebilah pisau menancap di jantungnya.

"AYAAAHH!! Hiks...hiks..." Samuel terjatuh lemas. Kotak arloji yang ia genggam di tangannya terhempas saat keenam komplotan itu menarik tubuhnya ke sudut ruang keluarga.

"BERENGSEK! DASAR PEMBUNUH! LEPASIN SAYA!" Samuel memberontak sambil berteriak geram. Namun, keenam komplotan itu tidak peduli atau bahkan membalas teriakannya.

Lima orang dari mereka mengukung tubuh Samuel dengan erat. Sementara salah satunya kini mulai mengacungkan sebilah pisau ke arah wajah Samuel. Tidak butuh waktu lama, ujung pisau tersebut berhasil mencongkel kedua bola mata Samuel yang sangat berharga.

"AAAAKHHH!!" Samuel menjerit kesakitan.

Tubuhnya langsung ambruk dan kejang-kejang setelah ia merasakan dunianya yang mulai gelap tanpa cahaya.

*****

[1] Apa?

[2] Saja

avataravatar