1 Chapters One: Dating

"Bener nih, kalian akan mengenalkan Vee (read: Vi) sama dia?" Vee (read: Vi) bertanya kepada Ree (read: Ri) dan Dee (read: Di).

"Tentu saja, kau coba saja dulu mana tahu kalian cocok." Dee berkata memberikan semangat kepada Vee.

"Hai." Ucap seorang pria menyapa Vee.

"Kau yakin pria itu tidak akan macam-macam kepada Vee?" Sambil berbisik di telinga Dee, Ree bertanya.

"Tenang saja, dia adalah pria yang baik. Dia tidak mungkin akan macam-macam kepada Vee." Dee berbalik berbisik ke telinga Ree.

"Jadi kapan kita bisa melakukannya?" Pertanyaan itu yang terlontar dari mulut pria yang sedang bersama Vee.

"Bagaimana kalau besok malam." Vee mengatakannya sambil tersenyum.

"Baiklah, boleh aku meminta nomor handphone mu?" Sambil mengeluarkan ponsel dari sakunya, lalu pria itu menyodorkannya kepada Vee.

Vee mengetikan sesuatu pada layar ponsel pria itu. Setelah selesai Vee mengembalikan ponsel itu kepada pemiliknya. Pria itu menyentuh layar ponselnya, seketika suara dering dari ponsel Vee berbunyi.

"Itu nomor ponselku. Kalau begitu, sampai ketemu besok malam. Bye." Pria itu lalu pergi.

Vee tersenyum lebar setelah kepergian pria itu. Vee pasti tidak sabar untuk menunggu besok malam.

"Sudah? Ayo kita ke kantin! Aku sudah lapar." Kataku sambil merangkul ketiga orang yang sedang berjejer di depan ku.

"Kau dari tadi ke mana? Kenapa aku tak melihatmu?" Ree melirikku melalui ekor matanya.

"Bukannya dari tadi Zee (read:Zi) disini bersama kalian?" Vee berucap sambil membetulkan posisi kacamatanya.

"Vee sayang maksud Ree itu menyindir Zee, karena dia dari tadi tidak bicara." Dee menjelaskan sambil mengusap kepala Vee.

"Oh." Mulut Vee membentuk huruf O.

"Tuh kan Dee, aku khawatir sama Vee. Gimana kalau nanti laki-laki itu akan berbuat kasar pada Vee. Cuma kita yang bisa memahami betapa tulalitnya Vee." Ree menaruh kedua tangannya pada bahu Vee.

Dee hanya tersenyum mendengar omongan Ree. Sementara aku hanya menggelengkan kepalaku. Vee (read: vi) yang lemot, Ree (read: Ri) yang dramatis, dan Dee (read: Di) yang macho kalau di hadapan orang-orang, tapi kalau bersama kami Dee akan berubah menjadi manja dan kekanakan. Mereka bertiga adalah sahabatku.

"Zoey Greyson, tolong datang ke ruangan saya." Seorang wanita berambut pendek memanggilku.

"Yah, gak jadi makan dong. Kalian sih, lama banget ke kantinnya. Kalau tahu akan begini, sebaiknya tadi aku ke kantin duluan saja." Sambil memegang perutku, aku berjalan meninggalkan mereka yang masih merasa bersalah.

"Tenang saja Zee (read: Zi), nanti aku bawakan burger ke ruangannya." Ree berteriak.

Aku mendengar suara Vee bertanya, apakah mereka boleh membawa makanan ke ruangan wanita yang berambut pendek itu. Dan tentunya Ree dan Dee akan berusaha menahan agar Vee tidak benar-benar melakukan itu.

***********

******

****

Akhirnya aku keluar juga dari ruangan ini. Aku membuka pintu ruangan ini. Ternyata ada seorang pria yang memakai kacamata tebal sudah berdiri di depan ku. Dia sepertinya hendak masuk ke ruangan ini. Dia membawa beberapa buku ditangannya. Tumpukan buku itu hampir menutupi wajahnya. Aku berjalan ke sisi kanannya. Tapi dia juga berada di sisi yang sama denganku. Lalu aku mengganti arah, dan dia juga melakukan hal yang sama. Kalau terus-terusan begini kapan aku bisa makan.

"Silahkan kamu jalan duluan!" Aku menyingkir dari hadapannya.

Dia hanya berjalan tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Paling tidak dia kan bisa mengucapkan kata maaf atau terima kasih. Aku kan sudah mengalah padanya. Seketika perutku berbunyi. Lebih baik aku segera menuju kantin.

"Zee kenapa kau sendirian? Kemana perginya teman-teman mu?" Ibu kantin mengantarkan pesanan makanan ku sambil bertanya.

"Oh, mereka masih ada kelas, bu. Lagi pula setelah ini aku akan pulang karena sudah tidak ada kelas." Aku berbicara sambil menyantap makanan ku.

Ibu kantin ini sudah mengenal kami berempat dengan baik. Itu, karena kami berempat sering menghabiskan waktu di sini bila sedang tidak ada kelas, tapi untuk waktu saat ini aku tidak bisa. Aku bekerja part time di sebuah restoran. Lumayan, bisa membantu biaya kuliah ku. Kalau uang jajan ku, aku dapatkan dari upah menjaga perpustakaan. Makanya tadi aku melewatkan makan siang ku, karena waktu ku menjaga perpustakaan itu sudah di tetapkan.

"Terima kasih, bu!" Ku sodorkan dua lembar uang kertas pada ibu kantin ini.

Segera aku berjalan keluar menuju gerbang keluar Universitas ini. Aku mulai mencari kendaraan umum untuk menuju tempat ku bekerja. Setelah sampai di restoran aku mulai menuju ruang ganti.

"Anda ingin memesan apa?" Ku letakkan daftar menu di atas meja yang bertuliskan angka dua puluh satu.

"Ada lagi yang lain?" Tanyaku setelah mencatat beberapa pesanan tamu ini.

Setelah beberapa jam, akhirnya restoran ini tutup juga. Hari ini cukup banyak pengunjung yang datang. Beruntungnya tadi aku masih bisa menyempatkan diri untuk makan di dapur. Karena restoran ini beroperasi sampai malam, maka kami para staffnya disediakan makanan disini. Aku berjalan keluar setelah salah seorang pegawai restoran mengunci pintunya dari luar. Seorang pria datang menghampiriku.

"Hai, cantik. Kau terlihat kelelahan." Pria tampan ini mengecup pipiku.

"Yah, begitulah. Kenapa kau datang menjemput ku, sayang? Kau pasti jauh lebih lelah sehabis bekerja." Aku menggandeng tangannya menuju parkiran.

"Tidak apa-apa. Aku juga rindu padamu. Sudah tiga hari kita tidak bertemu." Pria yang bernama Daniel membukakan pintu mobilnya setelah kami sampai di parkiran.

Daniel adalah pria yang romantis. Aku bahagia sekali bisa menjadi kekasihnya. Walaupun hubungan kami baru terjalin selama lima bulan, tapi Daniel belum pernah berbuat kasar padaku. Dia selalu memperlakukan ku dengan lembut dan penuh kasih. Dering ponsel Daniel menyadarkan ku dari lamunan ku.

"Hallo." Daniel menyuruhku untuk menunggu di dalam mobil sementara dia masih berbicara melalui ponselnya.

Daniel adalah orang yang sangat sibuk. Setiap kali bersamaku ponselnya pasti akan berbunyi. Dia bekerja di sebuah perusahaan kecil katanya. Aku belum mengetahui banyak soal pekerjaannya. Bagi ku yang terpenting adalah di sela kesibukannya dia masih menyempatkan waktu untuk mengabariku.

"Sayang, seperti kita tidak bisa makan malam bersama. Bagaimana kalau aku membelikan makanan untukmu dan kau memakannya sendirian di tempat kost mu?" Daniel memasangkan safety belt padaku.

"Apa kau tergesa-gesa? Aku bisa pulang sendiri." Ku tatap wajahnya sambil menunggu jawaban darinya.

"Tidak apa-apa. Aku masih memiliki sedikit waktu. Kita akan berhenti membeli makanan untukmu dulu, dengan begitu aku tidak merasa bersalah karena tidak menemani mu makan malam." Daniel mulai melajukan mobilnya keluar dari tempat parkiran ini.

"Kau antarkan aku ke kost saja. Aku masih kenyang. Tadi di restoran aku sudah terlalu banyak makan, sayang." Aku mengusap perutku seperti layaknya seorang wanita hamil.

"Kau yakin, sayang." Daniel mengelus-elus pipiku dengan lembut.

"Tentu saja. Kau tidak ingin punya pacar yang gendut kan, sayang?" Ku genggam tangan Daniel yang masih berada di pipiku.

"Baiklah, sebagai gantinya lusa aku akan menghabiskan waktu ku satu harian denganmu. Bagaimana, kau setuju, sayang?" Tangan Daniel sudah turun dari pipiku lalu pindah ke atas kepala ku, lalu ia mengacak rambut ku.

"Benarkah? Kau sudah berjanji, awas saja kalau tidak kau tepati. Aku akan marah padamu, sayang." Aku menatapnya sambil tersenyum.

*ToBeContinued*

avataravatar
Next chapter