5 Masa Orientasi Siswa 3

Aurel setengah berlari saat menaiki tangga menuju lantai dua dan kemudian langkahnya terseok-seok saat menaiki tangga menuju lantai tiga.

"I hate stairs, I hate stairs, I hate stairs...," rutuknya setiap ia melangkah satu tangga. Ketika sudah mencapai lantai tiga, ia sedikit menunduk sambil bersandar pada dinding untuk mengatur napasnya sebelum ia berjalan menyeret kakinya menuju koridor kelas. Aurel kembali berjalan normal saat ia melihat ada 3 siswa dengan almamater yang sedang berbicara dengan adiknya.

"Hei, itu Kak Aurel, kan?" panggil Deni saat ia melihat seorang gadis dengan bandana biru sebagai hiasan rambut hitam panjangnya. Mereka mengenali mata bulat beriris hitam dan wajah tirusnya yang cerah. Juga penampilannya yang terkesan fashionable.

"Eh iya, beneran Kak Aurel!" seru Jo sambil menghampirinya dengan sumringah lebar di wajahnya. Fifi pun juga menghampiri dan sengaja menyenggol Ricky untuk menepi dari jalannya.

"Wah, Kak Aurel cantik sekali hari ini," puji Fifi. "Kapan balik ke Jakarta, Kak?"

"Sekitar 6 hari yang lalu," jawabnya sambil tersenyum manis. "Kalian kok sudah tahu namaku?"

"Guru-guru cukup banyak yang ngomongin kakak, tahu," jawab Fifi. "Aku agak iri sebenarnya. Tapi juga kagum sama kakak!" Kedua matanya terlihat berbinar-binar.

Aurel tersipu sekaligus kaget dengan ucapannya itu. "Iya, ya? Ya ampun jadi malu," balasnya sambil mengusap pipinya dengan telunjuk sekilas. "Nama kalian?"

"Aku Joseph. Biasa dipanggil Jo. Ini Fifi dan Si Kacamata itu Deni,"

Aurel mengangguk lambat sambil tersenyum manis dan berkata, "Salam kenal."

"Baju kakak modis banget. Buatan sendiri?" tanya Fifi setelah ia memperhatikan pakaian yang dikenakan Aurel saat ini.

"Terlihat manis dan fashionable," tambah Deni.

Blouse ungu dengan kerah bulat lebar dan lengan panjang berlayer, juga rok pensil selutut yang selaras dengan warna bandananya serta scarf yang terikat manis di leher jenjangnya. Riasan yang natural menambah kesan cantik namun tidak berlebihan bagi siapa saja yang memandangnya.

"Ah, jangan berlebihan begitu. Ini biasa saja. Tapi terima kasih, ya." Aurel membalas pujian-pujian mereka. "Oh iya, aku ingin memberikan ini pada adikku." Ia mengeluarkan tiga buah foto dari dalam tas selempang kecilnya.

"Tidak perlu. Itu semua kami yang pesan," kata Jo sambil mengambil 3 foto itu dan membagikan salah seorang dari 2 temannya.

"Ooh, jadi kalian yang pesan?" kata Aurel. "Kalian gak iseng sama adikku, kan?" Pertanyaan itu Aurel lontarkan saat ia melihat Ricky yang menunjukkan ekspresi tidak suka pada ketiga siswa itu sambil melipat tangan.

"Ah, nggak kok," kata Jo sambil berbalik badan. Ia menghampiri Ricky dan langsung merangkulnya. "Kami bersenang-senang dengannya. Iya, kan?" katanya sambil sedikit mendorong Ricky mendekat ke Aurel.

Walau Ricky tersenyum sebagai jawaban, sebenarnya ia sangat kesal dengan sifat ketiga seniornya yang menurutnya hanya bersikap manis di depan kakaknya itu.

"Baguslah." Aurel bernapas lega. "Kalau begitu, aku balik dulu ya," pamitnya.

"Kakak mau mengisi acara untuk penutupan MOS nanti, gak?" tanya Fifi.

"Mengisi acara?" bingung Aurel.

"Iya. Sharing cerita selama di Sydney atau perjuangan kakak supaya bisa berkuliah di sana, juga tidak apa-apa," tambah Deni. "Kali saja bisa menjadi motivasi untuk murid-murid baru di sini."

Aurel bergumam sambil mengusap dagu. "Ok. Gak masalah."

"Bagus!" Jo bersorak senang. "Panggil semua kelas untuk segera berbaris di lapangan!" perintahnya.

"Tapi Jo, masih ada sejam lagi," tolak Deni saat ia melihat waktu di jam tangannya itu.

"Oh belum, ya?" kata Jo baru tersadar. "Ya sudah, tunggu sejam lagi. Kak Aurel—"

"Aku mau reunian ke ruang guru," sela Aurel. Tiba-tiba saja tangannya dan menyentuh pipi kanan Ricky. "Baik-baik ya," ucapnya lembut.

Namun Ricky menepisnya sambil berkata ketus. "Iya."

"Heh, dia kakakmu," tegur Deni. Ricky hanya membuang muka.

"Biarkan saja. Dia memang begitu," kata Aurel sambil tertawa renyah. Kemudian, ia pun berbalik badan dan berjalan menuju ruang guru yang berada di lantai dua.

Saat Aurel benar-benar sudah turun dari lantai tiga, Jon dan komplotannya itu kembali ke ekspresi menyebalkan mereka.

"Kamu itu gimana sih. Bukannya senang punya kakak yang perhatian!" bentak Jo.

"Ooh pantas saja sifatnya nyebelin gini. Perlakuan ke kakaknya aja begitu, gimana ke orang lain?" tambah Fifi.

Mata Ricky melirik ke tiga foto yang masih dipegang mereka. Ketiga foto itu sama persis, yaitu foto selfie Aurel dengan masker menutupi setengah wajahnya dan kacamata hitam menutupi mata bulatnya. Sebuah kekhawatiran muncul dari pemikirannya ketika melihat foto Aurel ada di tangan orang tak dikenal.

"Kalau sampai foto kakakku kalian berikan ke dukun untuk dijadikan guna-guna. Aku tandai kalian bertiga." Ucapan tersebut seketika keluar dari mulut Ricky.

"Hah? Kamu pikir kami akan melakukan itu? Kakakmu memang cantik. Tapi kami tidak akan sampai—"

Perkataan Jo tersela oleh tangan gesit Ricky merebut foto tersebut dari tangan Jo. Ia juga berhasil merebut foto dari tangan Fifi. Tapi untuk Deni, ia kalah cepat.

"Kamu mulai macam-macam—"

"Justru kalian yang macam-macam!" seru Ricky pada Deni. "Cepat berikan foto itu. Aku tidak ikhlas foto kakakku ada di tangan kalian. Kalau tidak, aku akan melaporkan kalian ke guru atas tindakan yang tidak berkaitan dengan MOS ini."

Suaranya yang cukup kencang itu, menarik perhatian seorang siswa lainnya yang mengenakan almamater sekolah dengan warna berbeda dari almamater biru dongker yang dikenakan mereka bertiga, yaitu berwarna marun. "Ada apa ini?"

(Ini kesempatan,) batin Ricky ketika mengetahui kakak kelas berbeda almamater itu. "Kak Rosa. Bang Jo, Bang Deni, dan Kak Fifi meminta foto kakakku untuk kepentingan mereka. Padahal aku tidak ikhlas memberikan foto itu pada mereka. Ini pemaksaan, Kak!" tuduhnya.

Siswa berhijab itu menggeleng pada mereka bertiga. "Kalian gak bermaksud melanggar aturan panitia dan pengawas acara MOS yang sudah ditetapkan, kan?" ucapnya.

"Ng-nggak, Kak. Maaf," sesal Deni sambil menyerahkan foto tersebut. Ricky hanya tersenyum sambil menerimanya.

Rosa melihat nametag Ricky. "Baiklah. Maaf ya, Ricky. Terima kasih sudah melaporkan ini. Silahkan kamu masuk ke kelas."

"Terima kasih kembali, Kak." Ricky menunduk sekilas sebelum akhirnya ia menghampiri pintu kelas yang tidak jauh dari tempatnya berdiri. Ia menyoraki kemenangannya dalam hati. Ia beruntung karena kebetulan ada pengawas acara yang lewat. Dan Ricky tahu kalau pengawas acara biasanya siswa kelas 3, setahun lebih tua dari trio tadi.

(Aku gak bakal kasih foto Kak Aurel ke semua siswa di sini!)

***

Saat gadis yang terlihat paling muda di ruangan itu berbincang-bincang dan bernostalgia dengan guru-guru yang kebanyakan masih sama ketika ia menjadi siswa di sekolah itu, tiba-tiba saja ponselnya berdering. Ia pun mengambil ponsel dari dalam kantung mantelnya dan melihat nama yang tertera di layar.

"Maaf ya Bu Sri, Pak Maman, Bu Diah, Pak Roni, Bu Endah, gak bawa oleh-oleh. Padahal saya rencananya mau nganter barang Ricky yang ketinggalan saja." Aurel tersenyum penuh penyesalan. Ia memang tidak menyangka kalau ia akan ke ruang guru. Kalau seandainya ia tidak ditawari panitia MOS tadi untuk isi acara, mungkin ia akan langsung pulang seperti sejak ia pertama kali datang ke sekolah Ricky dua hari yang lalu.

"Nanti kirim saja ke alamat ibu ya," kata Bu Sri sambil menulis sebuah alamat yang di atas kertas kecil. Kemudian ia memberikan kertas itu kepada Aurel yang langsung menerimanya. "Bukannya ibu sudah bilang kalau kamu sudah balik, harus bawa oleh-oleh dari sana?"

"Ah iya, benar." Aurel tersenyum paksa saat membaca alamat itu sekaligus mengingat-ingat oleh-oleh yang tersisa di rumahnya. "Ibu, Bapak, saya permisi dulu ya. Mau isi acara dulu." pamitnya sambil mengecup satu per satu punggung telapak tangan guru-guru yang pernah mengajarnya itu.

Saat Aurel sudah berada di luar ruang guru, ia segera mengangkat panggilan yang cukup penting itu. "Hallo Bu, selamat pagi... Iya maaf. Ternyata memang benar hari ini tidak bisa menemui Ibu. Bisakah kita undur pertemuannya?"

***

Di bawah teriknya mentari menjelang siang, seluruh calon siswa kelas pertama berbaris di tengah lapangan basket. Mereka mengikuti upacara pelepasan di mana kepala sekolah memberikan pidato panjangnya yang berisi pesan-pesan untuk siswa-siswa baru yang akan mengisi 8 kelas di sepanjang koridor lantai 3. Setelah upacara yang bersifat formal itu selesai, para siswa dipersilahkan untuk duduk di lapangan itu dan menyaksikan pagelaran demo-demo ekstrakulikuler yang ada di sekolah berstatus negeri di Jakarta itu.

"Lu mau ikut ekskul apa, Ricky?" Yoga menepuk-nepuk pundak Ricky yang ada di depannya saat demo tari tradisional baru selesai tampil.

Ricky setengah memutar tubuhnya ke arah Yoga. "Gak tau deh," jawabnya. "Lu sendiri apa?"

"Basket lah. Sudah pasti," jawab Yoga mantap. Ia terpukau dengan permainan basket yang sudah ditunjukkan—di mana siswa-siswa yang berbaris harus menepi di luar lapangan basket sebelum akhirnya kembali berbaris di dalam lapangan. "Basket juga dong, Rick."

Ricky mengedikkan bahu. "Gue lempar kertas ke tong sampah aja masih gagal. Gimana mau masukin bola ke dalam ring?"

Yoga tertawa sekilas mendengarnya. "Payah banget lu," ledeknya. "Makanya masuk basket biar jago."

"Nggak tau. Gue masih bingung," balas Ricky sambil kembali menghadap ke depan. Mencoba menikmati pementasan teater yang baru saja dimulai.

Sekitar 10 menit, pementasan teater itu berakhir bersamaan dengan tepuk tangan yang cukup meriah. "Woah! Cerita pertunjukan teaternya lucu banget! Keren abis!" seru seorang siswa yang bisa dibilang sebagai pembawa acara pertunjukan demo ekskul itu. "Setelah ini, kita akan melihat pementasan dari style and modeling club!" Tepuk tangannya dong!" Tepuk tangan pun terdengar.

"Style and modeling?!"

avataravatar
Next chapter