2  Nama Adik Laki-lakiku adalah Ricky

Kriingg!!

Dentingan bunyi alarm membangunkannya dari mimpi-mimpi indahnya di mana ia sedang asik mengumpulkan sembilan bola ajaib agar bisa memanggil naga yang dapat mengumpulkan satu permintaan.

Dengan mata tertutup, ia meraba-raba nakas di sebelah tempat tidurnya untuk mematikan jam beker itu. Saat ia sudah menyentuh puncak jam, ia menekan tombol off-nya. Namun apa daya, yang ia tekan itu hanyalah tonjolan kecil di sisi jam yang tidak memiliki fungsi apa pun. Dengan emosi yang memuncak dan masih dengan mata tertutup, ia melempar jam itu ke sembarang tempat yang membuatnya hancur berkeping-keping. Setelah itu, barulah jam tersebut berhenti berdering.

Ia menghela napas dan menarik selimut sampai ke wajahnya. Saat visual mimpinya mulai terbentuk tak lama setelah keheningan itu tercipta, tiba-tiba ia merasa ada yang menindihnya.

Jangan-jangan ini yang disebut ketindihan? Tapi...

Ia merasa ada yang mengganjal. Ketindihan itu seharusnya, ia tidak bisa menggerakkan seluruh tubuhnya. Tapi kenapa ia masih bisa menggerakkan tangannya? Ketindihan itu seharusnya ia mulai merasa ada yang dingin di daerah tubuhnya. Tapi kenapa tubuhnya malah semakin hangat? Bahkan seperti ada yang memeluknya cukup erat.

Perlahan ia menurunkan selimut yang menutupi kepalanya, lalu melihat siapa yang sudah benar-benar menindihnya.

"Good morning Kiki!! Chuu~"

"Aaaaakhh!!"

Cepat-cepat Kiki bangun dari tidurnya dan segera bergerak ke sudut tempat tidur sambil melindungi dirinya dengan bantal. Ia hampir saja menerima ciuman di kening dari kakaknya. Gila saja! Itu pikirnya.

"Ehh? Kenapa kamu menjauh dari kakakmu? Ini biasa kita lakukan, kan?" kata Aurel tanpa rasa bersalah. "Morning kiss from your lovely sister." Aurel sedikit memajukan bibirnya.

Laki-laki itu seketika merinding saat mendengar kalimat terakhirnya. Apalagi melihat posisinya yang ingin mencium. "Itu kan beberapa tahun yang lalu. Sekarang aku sudah besar. Bukan anak kecil lagi!!" Serunya sambil menahan malu yang tak terkira. Ia bermaksud menyadarkan kakaknya kalau ia sudah remaja.

"Oh iya ya? Tapi di mataku kamu masih bocah polos menggemaskan berumur 6 tahun yang masih mencari kasih sayang dari kakaknya," balas Aurel sambil tersenyum. Lalu ia melihat jam tangan merahnya. "Lagi pula, bukannya kamu masih ada MOS jam 7 ya? Sekarang sudah jam 6, loh."

"Mampus!" Kiki menepuk keningnya. Ia benar-benar masih terlena dengan waktu liburan panjangnya. Bangun siang, sarapan sore, mandi malam, main-main dan beraktifitas sampai pagi. Hampir sama seperti kerjaannya kalong.

Ia pun langsung beranjak dari tempat tidur dan ia keluar dari kamar tanpa menghiraukan panggilan kakaknya.

***

"Bi Suli, sekarang sarapannya apa?" tanya Aurel saat ia sedang menuruni tangga. Ia melihat seorang wanita paruh baya dengan daster panjangnya yang sibuk menata meja makan.

"Nasi goreng sama ayam bakar, Mbak" jawab wanita yang rambutnya sering dikonde itu. "Mas Kikinya sudah bangun?"

"Sudah bi!" sahut Aurel senang. Ia berlari kecil ke arah meja makan. "Bi, jam bekernya Kiki lagi. Ini sudah yang ke berapa ia lempar ke dinding?" Ia terlihat penasaran. "Waktu aku buang ke tempat sampah, aku lihat ada banyak sekali kepingan jam weker yang lain?"

"Oh itu." Terlihat Bi Suli memainkan jemarinya untuk menghitung sesuatu. "1, 2, 20, 36, 40,... Ini sudah yang ke-99 mbak!" ucap Bi Suli dengan suara medoknya.

"Wah!" Aurel melotot.

"Sebenarnya itu total dari keseluruhan selama Mbak ndak ada di rumah. Bibi iseng saja mencatatnya," lanjut Bi Suli.

Mulut Aurel membulat sambil mengangguk lambat. "Oke, yang ke-100 nanti, akan dapat piring cantik," gumam Aurel.

Tidak lama kemudian, datanglah kedua orang tua Aurel bersamaan dengan Kiki di meja makan dengan pakaian yang sudah rapi. Mereka pun sarapan bersama.

"Makannya pelan-pelan" tegur Mama—atau lebih dikenal dengan Lily—saat melihat Si Bungsu dan suaminya makan begitu lahap dan cepat.

Kiki melihat jam di ponselnya. "Ini sudah jam 6.30, Ma," katanya dengan mulut penuh nasi goreng.

"Iya, Ma. Aku juga ada meeting pagi jam 7," sambar Papa—atau biasa dipanggil Leo.

Lily hanya mendesah sambil menggeleng lambat. Sedangkan Aurel hanya tertawa sekilas melihat wajah panik mereka yang sudah lama tidak dilihatnya. Tepat 10 menit setelahnya, mereka pun selesai menyantap sarapan.

"Kami pergi dulu!" seru Leo dan Ricky bersamaan saat mereka akan keluar rumah.

"Coba pada cek dulu ada yang tertinggal tidak?" Kata Lily.

"Tenang saja Ma. Kalau ada perlengkapan Kiki yang tertinggal, biar aku saja yang mengantarnya," usul Aurel.

Mendengar hal itu, Ricky pun langsung berhenti tepat di ambang pintu keluar. Ia segera menurunkan tasnya dan mengecek apakah ada yang tertinggal atau tidak. Ia rela repot-repot mengeluarkan catatan kecilnya yang tenggelam di dasar tas untuk mengecek semua perlengkapan, dari pada membiarkan kakaknya mengulangi kejadian yang sama seperti kemarin.

"Roti sobek, teh, botol mineral, kain perca, spidol..." Semua perlengkapan itu ia sebutkan untuk hari ini. "Sudah semua," gumam Ricky sambil tersenyum puas. Ia berdiri dan menggendong tas selempangnya yang terbuat dari kain sarung itu. Lalu ia berbalik badan ke arah kakaknya sambil tersenyum penuh kemenangan. "Tidak usah repot-repot Kak. Semua perlengkapan sudah aku bawa dan—"

Ucapan Ricky terhenti saat Aurel menunjukkan nametag berwarna hijau.

"Yakin sudah semua?" Aurel tertawa remeh. Kali ini ia yang merayakan kemenangannya.

Ricky membanting setiap langkahnya menuju Aurel. Dengan cepat, ia meraih nametagnya itu seraya berkata "Terima kasih." Dengan penuh penekanan. Lalu ia kembali berbalik badan keluar rumah.

"Ma, jam 9 nanti aku ke sekolah Kiki untuk mengantarnya bekal lagi ya."

"Silahakan, Aurel," balas Lily.

Lagi-lagi Aurel akan berulah. Bagaimanapun juga ia akan tetap menghampiri adik manisnya itu.

(Oh yang benar saja!) keluh Ricky. Ia menghela napas lalu dihembuskan perlahan untuk menenangkan diri. Ia berencana akan mengeluarkan sebuah jurus. Bukan kame-kameha, bukan chidori, ataupun rasenggan. Apalagi amaterasu. Tapi seandainya ia dapat melakukan semua itu, ia pasti akan melakukan salah satu di antara ketiganya. Atau mungkin semuanya di saat bersamaan.

Ricky berbalik badan—lagi—ke arah Aurel. Lalu ia berjalan sambil tersenyum manis penuh ketulusan yang membuat Aurel tertegun sejenak. Ia menggenggam kedua tangan kakaknya dengan lembut.

"Kak Aurel."

"Iya?"

"Selama MOS, bekal sudah ditentukan oleh kakak-kakak OSIS. Jadi, Kakak tidak usah repot-repot ke sekolahku, karena keberadaan kakak itu sangat menggangguku. Lebih menggangu dari kecoak terbang yang tiba-tiba muncul di kamar mandi. Sungguh," ucapan yang terlontar itu terdengar lembut namun sangat menusuk. "Kalau kakak bertemu denganku di sekolah, jangan panggil aku Kiki. Namaku Ricky. Bukan Kiki. Oke?" Kedua mata hitam Kiki menatap lekat-lekat mata coklat gelap Aurel. Hanya Aurel yang memanggilnya dengan sebutan Kiki, bahkan kedua orangtuanya pun memanggilnya Ricky, bukan Kiki.

"Ayolah Ricky! Sudah jam berapa ini?" Seru Leo yang tidak sabar menaiki mobilnya yang sudah terparkir di halaman rumah. Bisa dilihat dari tingkahnya yang jalan-jalan di tempat.

"Mengerti, Kak?" tanya Ricky memastikan.

Aurel hanya mengangguk karena terpaku dengan pesona yang dipancarkan adiknya itu. "Good bye kiss?"

"Good bye!" Ricky langsung berbalik badan dan berlari keluar menuju Leo.

Dan kemudian, kedua laki-laki itu pun menghilang dari pandangan.

"Mama!" Panggil Aurel sambil menoleh ke arah Lily. "Sudah direkam semuanya, kan?" Ia pun menghampiri mamanya yang sejak tadi memegang handycam.

"Sudah dong. Wah... kalian benar-benar serasih ya," puji Lily sambil memberikan rekamannya pada Aurel. "Tapi gak apa-apa tuh, Adek menyebut Kakak kecoak kamar mandi?"

"Gak apa-apa, Ma. Gak usah diedit-edit lagi. Murnin apa adanya lebih mantap!" jawab Aurel sambil mengacungkan ibu jari. "Video ini akan kusimpan sampai aku mati!!" Semangat Aurel berkobar-kobar setelah melihat singkat video itu. "Thanks" Aurel langsung memeluk Lily.

"Aku tidak menyangka Ricky akan seperti tadi." Lily balas memeluknya.

"Begitu juga aku, Ma"

Beberapa terjadi keheningan sampai Lily mendapat keanehan.

"Hah? Mama kira kamu sudah terbiasa dengan ini..."

Tapi Aurel tidak menjawabnya dan hanya tertawa sekilas. Lalu ia masuk ke rumah tanpa menggubris tanda tanya di wajah mamanya.

***

"Kamu demam?" Tanya Leo. Ia penasaran dengan wajah putranya yang terus memerah sejak mereka berangkat dari rumah. Ia membagi pikirannya antara menyetir dengan mengkhawatirkan Si Bungsu. "Rick?"

"I-iya?" Kiki terhenyak dari lamunannya.

"Demam?" Tanya Leo sekali lagi.

"Nggak. Aku baik-baik saja"

Leo bernapas lega. "Baguslah."

Kembali. Kiki memikirkan kejadian tadi yang sangat tidak ia sangka. Drama tadi pagi yang ia buat, benar-benar dilakukan tanpa sadar.

Kalau sampai ada yang ngerekam tadi. Habislah riwayatku! Batinnya menjerit sambil menutu wajahnya dengan kedua tangan.

"Ricky?"

Sepertinya Leo tidak mengerti dengan pergolakan batin yang sedang dialami putranya itu.

avataravatar
Next chapter