3 1

"Hyunae-ssi, apa kau tak masalah jika harus pindah ke Jeju?" tanya Seokjin di sela-sela percakapannya dengan Kang Hyunae.

Hyunae sendiri tersentak dengan pertanyaan yang Seokjin berikan. Pasalnya, ia belum pernah berlama-lama meninggalkan Gwacheon atau Seoul.

"Hmm, tak masalah. Tapi bisakah aku pulang ke Gwacheon, setidaknya dua atau tiga bulan sekali?" tanya Hyunae. Seokjin menaikkan sebelah alisnya pertanda bingung, serta tak tahu bagaimana harus merespon.

"Aku terbiasa mengunjungi rumah abu orang tuaku sebelum berangkat kerja," jelas Hyunae tertunduk.

Seketika Seokjin merasa iba. Bagaimana bisa Kang Hyunae yang tumbuh tanpa ibunya begitu cepat juga ditinggalkan ayahnya? Seokjin merasa dunia tak adil pada Hyunae.

"Baiklah, aku bisa mengantarmu jika kau minta. Sekaligus setelah itu kita bisa ke Seoul menemui ibuku dan berkunjung ke rumah abu ayahku," ujar Seokjin. Hyunae mengangkat wajahnya dan tersenyum menatap Seokjin.

Keheningan seketika melanda keduanya. Lelah bahkan hanya untuk bicara setelah menghabiskan waktu seharian hanya untuk fitting baju pengantin mereka bersama ibu Seokjin.

Beruntung Hyunae mau mengikuti permintaan Seokjin yang hanya menginginkan pernikahannya diadakan secara tertutup. Hanya keluarga dan kerabat dekat saja yang perlu hadir.

Hyunae pun tak menolaknya, karena ia juga tak punya banyak keluarga karena kedua orang tuanya merupakan anak tunggal. Hyunae hanya berharap jika semuanya berjalan lancar. Tak ada yang menghalangi, termasuk kekasih Kim Seokjin.

Bicara tentang kekasih Seokjin, sesungguhnya Hyunae cenderung merasa bersalah. Apa semuanya akan baik-baik saja? Tentunya tidak, bukan? Tak ada wanita yang rela kekasihnya menikah dengan wanita lain.

Namun Hyunae merasa bersyukur karena Seokjin menjelaskan padanya di awal pertemuan mereka bahwa ia memiliki kekasih. Setidaknya Hyunae tahu bahwa Seokjin bukan pria yang tertutup mengenai masalah pribadinya.

"Seokjin-ssi, apa kau sudah memberitahu kekasihmu?" tanya Hyunae memecah keheningan.

Seokjin hampir saja memuntahkan kembali sepotong roti kacang merah yang baru saja masuk mulutnya karena mendengar pertanyaan yang dilontarkan Hyunae. Seokjin terdiam sejenak. Memilih meneguk air putih di depannya, setelahnya menghirup oksigen dan menghembuskannya perlahan.

"Soojin itu wanita terbaik yang pernah kukenal. Dia menerima begitu saja setelah aku menjelaskan tentang perjodohan ini. Padahal kukira dia akan memakiku atau menemuimu dan membuat kerusuhan," jelas Seokjin.

Seokjin tertawa lemah saat menceritakannya pada Hyunae. Tak menyadari Hyunae yang wajahnya tengah memanas. Tapi siapalah Hyunae? Apakah ia boleh marah? Hyunae sendiri merasa tak berhak atas Kim Seokjin.

*

*

*

Tepat sehari setelah Seokjin dan Hyunae melangsungkan pernikahan mereka yang tertutup, keduanya memutuskan untuk pergi ke Jeju dengan penerbangan paling pagi dari Bandara Incheon. Meskipun lelah, mereka memang diharuskan untuk pergi pagi-pagi sekali karena belum sempat menyelesaikan untuk membenahi barang-barang mereka di rumah barunya.

Saat di dalam pesawat, Hyunae memperhatikan raut kantuk masih melekat pada wajah pria yang kini telah menjadi suaminya itu. Pasalnya, Hyunae tahu jika Seokjin tidur terlambat. Karena setelah acara pernikahan kemarin, Seokjin lanjut berbincang-bincang dengan beberapa sahabatnya sampai larut. Entah kapan Seokjin masuk kamar, Hyunae sendiri tak sadar karena ia sudah terlelap.

Ya, keduanya memang tidur dalam satu kamar, satu ranjang. Namun tak ada hal apapun yang terjadi pada keduanya. Entah karena kelelahan, atau memang tak ingin.

"Seokjin-ssi, tidurlah dulu. Akan kubangunkan jika sudah sampai," ujar Hyunae. Seokjin hanya menanggapi dengan anggukkan dan langsung memejamkan matanya seketika.

Hyunae tersenyum kecil saat telinganya mendengar dengkuran halus dari sebelahnya. Baru saja lima menit berlalu, tapi Seokjin sudah terlelap. Terlihat sekali kelelahan di wajah tampan Seokjin, bahkan dari sisi Hyunae yang duduk di sampingnya.

Hyunae menyelipkan bantal kecil pada leher Seokjin yang dibawanya. Terpikir dalam benak Hyunae, apalagi jika mereka mengadakan pesta besar-besaran. Mungkin pagi ini mereka tak akan langsung berangkat ke Jeju.

*

*

*

Seokjin dan Hyunae menghabiskan hari pertama mereka di Jeju dengan membongkar kardus-kardus yang dikirim dari Gwacheon dan Seoul. Padahal minggu sebelumnya mereka sudah merapikannya, tapi entah mengapa tak habis-habis juga barang-barang mereka. Beruntung semua furnitur sudah ditata oleh Seokjin sejak membeli rumah itu. Rumah yang tadinya hanya untuk investasi, namun akhirnya terpakai juga.

Keduanya sibuk menata barang-barang pribadi mereka di kamar masing-masing. Ya, Seokjin dan Hyunae akhirnya memutuskan untuk pisah kamar. Toh tak ada yang akan bertamu karena mereka tak memiliki kerabat di Jeju. Beruntung jarak dari satu rumah ke rumah lain tak begitu berdekatan karena setiap rumah dikelilingi halaman yang cukup luas.

Hyunae terengah-engah karena harus naik turun tangga untuk membawa kardus-kardus tersebut ke kamarnya di lantai dua dari ruang tamu. Hyunae merasa bahwa rumah Seokjin terlalu besar untuk ditinggali mereka berdua.

Semua kamar berada di lantai dua beserta ruang kerja milik Seokjin. Sedangkan di bawah hanya ada ruang tamu, ruang santai, kamar mandi utama yang mungkin akan jarang digunakan karena sudah ada kamar mandi di dalam kamar mereka masing-masing, dan juga dapur yang bersebelahan dengan ruang makan.

Hyunae tersenyum lega saat menatap satu-satunya kardus miliknya yang tersisa bersama dua kardus kecil milik Seokjin yang entah apa isinya. Ia bahkan belum berkeliling untuk melihat-lihat sekeliling rumah ini bahkan sejak pertama datang.

Hyunae mengumpulkan sisa-sisa tenaganya untuk membawa kardus terakhirnya itu ke kamarnya. Namun badannya malah terhuyung ke depan saat berusaha mengangkat kardusnya. Entah karena kardusnya yang terlalu berat atau Hyunae yang sudah terlalu banyak kehilangan tenaga.

Alhasil, Hyunae mendorong kardusnya yang ternyata berisi buku-buku itu sampai ke tangga. Barulah ia mengangkatnya dan menaiki anak tangga dengan sangat hati-hati karena tubuhnya yang condong miring ke belakang. Hyunae berhenti di tengah-tengah dan meletakkan kardusnya pada anak tangga saat merasakan mati rasa pada telapak tangannya.

Hyunae memijat lembut kedua tangannya bergantian. Setelah merasa lebih baik, ia melanjutkan membawa kardusnya ke atas. Namun Hyunae kehilangan keseimbangan dan...

BRUK! BRUK! BRUK!

"Hyunae-ssi?!" pekik Seokjin sesaat setelah keluar dari kamarnya.

Seokjin menghentikan langkahnya saat melihat Hyunae yang mematung di tangga tengah menatapnya terkejut, kemudian memalingkan pandangannya pada buku-buku yang berserakan di bawah sana.

Hyunae langsung berlari menuruni tangga diikuti Seokjin di belakangnya. Hyunae menatap miris pada buku-buku yang berantakan karena keluar dari tempatnya.

"Harusnya kau panggil aku jika tak kuat mengangkatnya, Hyunae-ssi," ujar Seokjin meraih buku-buku milik Hyunae yang berserakan di lantai.

"Aku tidak ingin merepotkanmu," sahut Hyunae turut memasukkan buku-bukunya ke dalam kardus. Seokjin tak menanggapi.

Setelahnya Seokjin mengangkat kardus terakhir milik Hyunae dan membawanya ke atas disusul Hyunae di belakangnya. Hyunae lantas mendahului untuk lebih dulu membukakan pintu kamarnya saat keduanya sudah berada di lantai dua.

"Woah, beginikah kamar perempuan kebanyakan? Bagaimana bisa kau menatanya sendirian?" tanya Seokjin seraya terpukau memandangi sekeliling kamar Hyunae, mengingatkannya pada sosok Soojin. Bukannya Soojin seburuk itu, hanya saja Hyunae lebih rapi menurut Seokjin.

"Hm? Aku hanya melakukannya seperti biasa," ujar Hyunae seraya tersenyum.

Perlahan menghampiri Seokjin yang meletakkan buku-bukunya di rak yang menempel cukup tinggi di dinding kamarnya. Seokjin sangat peka, ia tahu jika Hyunae tak akan sampai untuk menyimpan buku-bukunya di sana.

"Terima kasih sudah membantuku, Seokjin-ssi," ujar Hyunae.

"Tentu saja, jangan sungkan jika kau butuh bantuan," sahut Seokjin seraya tersenyum. Tanpa sadar menimbulkan rona merah pada wajah Hyunae.

"Apa kau sudah lapar? Aku bisa masak sekarang sambil kau membenahi kamar dan ruang kerjamu," tanya Hyunae untuk menghilangkan kegugupannya.

"Kurasa sebaiknya pesan makan dari luar saja. Kau pasti lelah. Kau belum istirahat sama sekali sejak sampai tadi pagi. Istirahatlah dulu, nikmati waktumu," jelas Seokjin.

Seokjin pun keluar dari kamar Hyunae. Meninggalkan Hyunae yang masih membatu.

*

*

*

Hyunae mengerjapkan matanya perlahan. Kedua tangannya direntangkan untuk meregangkan tubuhnya yang kaku.

Beberapa menit menyesuaikan diri, Hyunae baru tersadar jika ia tertidur setelah menyantap makan siangnya bersama Seokjin. Ia tersenyum melihat sekeliling kamarnya yang tampak rapi. Mengingatkannya pada Seokjin yang memuji kerapihan kamar barunya.

Hyunae beranjak dari ranjang yang sebenarnya tak ingin ia tinggalkan. Tapi apa daya, Hyunae harus membersihkan diri dan bergegas mengurus sang suami. Teringat bahwa ia bukanlah wanita lajang seperti sebelumnya.

Hyunae menuruni anak tangga setelah selesai mandi dan berganti pakaian santai. Dengan legging hitam yang juga menutupi telapak kakinya beserta kaos kebesaran yang tampak menenggelamkan tubuhnya. Samar-samar ia mendengar suara Seokjin di balik pintu kaca menuju halaman belakang saat akan pergi ke dapur.

"Tentu saja, akan kuberitahu jika aku datang ke tempatmu," ujar Seokjin kepada lawan bicaranya di telepon.

Hyunae menatap punggung tegap Seokjin, mengurungkan niatnya untuk sekedar bertanya perihal makan malam mereka. Tak ingin menginterupsi kegiatannya. Khawatir jika itu urusan pekerjaan. Terlebih setahu Hyunae, Seokjin memilih untuk mempercayakan perusahaan ayahnya di Seoul pada kakaknya. Sedangkan Seokjin memilih untuk membuka sebuah restoran di Jeju.

"Jaga dirimu baik-baik, Soojin-ah. Jangan sampai sakit."

"Kau tak perlu mengkhawatirkanku. Justru kau yang harus makan banyak. Aku tak mau melihatmu kurus jika bertemu denganmu nanti."

Hyunae terkesiap saat mengetahui siapa gerangan yang sedang bicara dengan Seokjin di seberang sana. Lantas Hyunae memilih kembali ke dapur dan menyibukkan diri agar tak mengganggu Seokjin.

*

*

*

avataravatar