3 Farel Sanjaya

"Kau terlihat cantik malam ini."

 

"Apa itu artinya aku terlihat buruk di malam-malam sebelumnya."

 

Desta membulatkan matanya dan menggeleng panik. "B-bukan begitu maksudku. Kau selalu cantik setiap hari, hanya saja malam ini kau terlihat… berbeda."

 

Kanaya tersenyum lebar hingga gigi gingsulnya terlihat. "Jadi aku terlihat lebih cantik dari malam sebelumnya?"

 

"Ya… seperti itulah," ucap Desta dengan senyum di wajahnya.

 

Kanaya membalasnya dengan tertawa kecil. Ia dan Desta kini kembali berjalan mengitari komplek perumahan dan melihat-lihat bintang yang muncul di langit malam. Tangan mereka bertautan dan senyum lebar menghiasi wajah mereka, itu cukup memberitahu orang-orang sekitar bahwa mereka sedang bahagia.

 

Mereka baru saja resmi berpacaran.

 

Kanaya berhenti berjalan dengan wajah mendongak terpaku menatap bintang di langit. "Waah, cantik sekali."

 

"Iya… cantik," balas Desta. Tapi bukan bintang yang ia maksud, melainkan Kanaya.

 

Kanaya benar-benar terlihat menawan. Rambut cokelatnya yang lurus tergerai, matanya berbinar-binar, dan bibirnya mengukir senyum lebar. Desta tak bisa menahannya hingga laki-laki itu kini menangkup wajah Kanaya dengan tangannya.

 

"Nay…"

 

Kanaya menatap Desta. "Ada apa?"

 

"Boleh aku menciummu?"

 

Kanaya terdiam. Dan Desta merasa jiwanya terhempas begitu Kanaya mundur hingga tangkupan tangannya pada wajah gadis itu terlepas.

 

"Sudah terlambat, Desta."

 

Desta menatapnya dengan pandangan tidak mengerti. "Kenapa, Nay? Apa kau tidak mencintaiku?"

 

"Tentu saja aku mencintaimu, Desta. I really do love you."

 

"Lalu kenapa kau tidak membiarkan aku menciummu?"

 

Mata Kanaya berkaca-kaca hingga setetes air mata meluncur tepat di pipi gadis itu. "Lihat tanganmu, Des."

 

Desta tidak mengerti tapi tetap menuruti perkataan Taehyung untuk melihat tangannya. Seketika saja mata Desta membelalak lebar begitu ia melihat tangannya penuh darah, bahkan pakaiannya yang dikenakan sekarang pun berceceran darah. Dan saat Desta mendongak, ia melihat Kanaya yang  babak belur serta berlumuran darah sedang menatapnya dengan air mata mengalir.

 

"Bagaimana bisa aku mencium orang yang sudah membunuh diriku sendiri?"

 

 

Desta terbangun dengan tubuh yang berpeluh. Wajahnya pucat dan tatapannya mengedar ke segala arah dengan panik. Itu hanya mimpi buruk, tapi kenapa Desta merasa kalau yang tadi adalah kejadian nyata.

 

Dia… tidak pernah membunuh Kanaya 'kan?

 

Dia bahkan tidak tahu Kanaya ada dimana sekarang.

 

"Sayang, kau sudah bangun?"

 

Desta menoleh dan mendapati Sania, Ibunya berdiri di ambang pintu. "Aku sudah bangun, Ma."

 

"Kau terlihat pucat, Desta. Apa kau sakit?"

 

"Tidak, aku baik-baik saja." Desta mengusap wajahnya. "Aku hanya mengalami mimpi buruk."

 

"Tidak apa, itu hanya mimpi. Lekas mandi lalu turun ke bawah untuk sarapan, okay?"

 

"Ya."

 

Sania tersenyum dan menutup pintu kamar Desta, namun urung karena anaknya itu terlebih dahulu memanggilnya.

 

"Ma…"

 

"Ya?"

 

"Apa aku pernah membunuh seseorang?"

 

Sania terdiam. Kalau Desta tidak salah lihat, tangan ibunya sempat meremas kenop pintu kamarnya tadi. Apa ada sesuatu yang disembunyikan ibunya itu darinya?

 

"Kau ini berbicara apa, sayang. Mana mungkin kau pernah membunuh orang, hum?"

 

Desta menggeleng. "Tadi di mimpi, aku—"

 

"Itu hanya mimpi buruk, Desta. Mimpi itu bunga tidur dan muncul saat kau kelelahan." Sania tersenyum. "Cepatlah turun atau kau akan terlambat ke sekolah."

 

"… baiklah."

 

 

Sesampainya di sekolah, Desta tidak langsung pergi ke kelasnya. Remaja laki-laki itu terlebih dahulu mampir ke kelas Olivia, temannya Kanaya. Ia sudah mendengarkan rekamannya kemarin dan ia memiliki banyak sekali pertanyaan.

 

Dan rencananya, Desta ingin menanyakan pertanyaan-pertanyaan itu pada Olivia.

 

Olivia yang menyadari ada Desta di depan kelasnya langsung bergegas menghampiri remaja laki-laki tersebut. "Ada apa?"

 

Desta menyerahkan tape recorder-nya. "Ini, aku sudah mendengarkannya kemarin."

 

"Apa kau mimpi buruk?" tanya Olivia sambil menerima tape recorder itu dari Desta.

 

"Bagaimana kau tau kalau aku mimpi buruk?"

 

Bagus kalau Desta mimpi buruk, itu artinya otaknya merespon suara Kanaya. "Aku tidak tau, aku hanya menebak. Wajahmu terlihat pucat soalnya."

 

Desta hanya mengangguk. "Aku ingin bertanya padamu."

 

"Aku tidak mau menjawab apapun pertanyaan itu." Olivia kini kembali menyerahkan tape recorder yang berbeda dari sebelumnya. "Total benda ini ada tujuh dan ini adalah rekaman yang kedua. Kalau kau sudah mendengarkannya, beritahu aku."

 

Dan Olivia kembali langsung pergi seperti sebelumnya. Gadis itu seperti tidak mau lama-lama untuk berbincang dengan Desta.

 

Desta mengerjap bingung dan pergi dari sana.

 

Namun sebelum Desta benar-benar pergi, mata remaja laki-laki itu sempat bertemu pandang dengan mata laki-laki yang sebaya dengannya.

 

Dia… Farel Sanjaya.

 

"Farel Sanjaya, dia teman pertamaku. Kami menjadi teman karena aku membantunya saat dihukum Pak Benny untuk membersihkan toilet sekolah. Dia tersenyum padaku dan menyambutku dengan baik, Desta. Farel benar-benar terlihat seperti orang baik dan aku mempercayainya untuk menjadi temanku."

 

"Sejak saat itu aku dan Farel sering hangout bersama. Pulang sekolah pergi ke café untuk meminum hot chocolate bersama bahkan sudah menjadi rutinitas. Aku dan dia dekat, tapi aku tidak menyukainya lebih dari seorang teman. Pengalamanku dengan Ardhika dulu mengajariku untuk tidak terlalu mudah membuka hati."

 

"Ah ya soal Ardhika, aku sempat menceritakan hal itu kepada Farel. And guess what? Dia sangat marah dan ingin menghajar Ardhika, aku sering tertawa karena wajah Farel sangat lucu ketika dia marah."

 

"Aku ingin menghajar si Ardhika itu, Nay. Kau kenapa selalu menahanku sih? Dia itu tipe-tipe cowok brengsek yang akan mematahkan banyak hati wanita nantinya. Maka lebih baik aku hajar sekarang agar tidak ada lagi korban 'kan?"

 

Kanaya tertawa kecil dan menyeruput hot chocolate miliknya. "Sudahlah, Rel. Biarkan saja karma yang berjalan melakukan tugasnya."

 

Farel berdecak. "Kau ini terlalu baik."

 

"Hm, aku ini memang orang yang sangat baik 'kan?" tanya Kanaya dengan raut wajah usil.

 

Tapi Kanaya langsung menormalkan wajahnya begitu Farel menatapnya dengan lurus.

 

"Ada apa?"

 

"Bagaimana kalau kita berpacaran saja, Nay?"

 

"… hah?!"

 

"Begini…" Farel menumpukan tangannya pada siku. "Pembullyan yang kau dapatkan akhir-akhir ini kan secara tidak langsung karena Ardhika. Siswa-siswa itu memakimu karena berani memacari cassanova mereka padahal kau hanya siswa biasa…"

 

"… dan juga anak dari seorang pelacur," lanjut Kanaya dengan ekspresi santai. Farel melotot. "Diam dan dengarkan aku dulu."

 

Kanaya mengangguk.

 

"Kalau kita berpacaran, mungkin saja pembullyan yang kau terima bisa berkurang atau bahkan hilang. Aku 'kan juga siswa biasa walau sedikit terkenal sih."

 

Kanaya memukul tangan Farel hingga laki-laki itu tertawa.

 

"Kalau ada aku, aku akan melindungimu dari mereka. Aku akan jadi perisaimu di sekolah. Tidak akan ada yang berani mengganggu pacar dari anak kepala sekolah 'kan?"

 

Kanaya tertegun. Itu bisa juga. Farel itu anak kepala sekolah, jadi kemungkinan siswa akan takut kepadanya. Dan pembullyan yang diterima Kanaya bisa berhenti.

 

Oleh karena itu, Kanaya langsung mengiyakan penawaran Farel.

 

 

"Aku dan Farel menjadi semakin dekat, Des. Farel sering memelukku dan bertingkah seperti kekasih yang baik hati di sekolah. Awalnya, semua siswa tampak bingung dan jelas menunjukkan ketidak-sukaannya terhadapku. Cuma karena Farel selalu ada di sampingku, mereka tidak bisa menindasku."

 

"Kehidupan sekolahku mulai tenang. Tidak ada lagi pandangan tajam yang mengikutiku di sepanjang jalan, tidak ada sampah-sampah yang memenuhi lokerku hingga peralatanku bau, tidak ada lagi pembullyan yang kuterima."

 

"Kupikir mimpi burukku sudah berakhir, kupikir hidupku akan baik-baik saja. Sampai akhirnya malam itu tiba. Malam dimana Farel bertamu ke rumahku di saat ibuku sedang tidak ada di rumah.

 

*

*

*

To be continue...

avataravatar