webnovel

Bab 9

"Abang Luhut," panggil Uli dengan suara mendayu-dayu.

Setelah bertengkar kecil dengan suaminya Arya.

Uli memutuskan untuk mengalah, tak mau memperpanjang masalah sabun bolong karena ulah suaminya itu.

Padahal sabun berbentuk batangan, beraroma bunga sakura itu baru saja Uli keluarkan tadi pagi setelah melihat sabun didalam kamar mandi hanya tersisa seujung kuku lagi.

Hari ini kemenangan berada di pihak Arya. Istrinya memilih mengalah karena sudah berjanji pada diri sendiri tentu saja tanpa sepengetahuan Arya.

Janji yang dibuat Uli hanya dengan Tuhan dan dirinya. Setidaknya Arya hanya mendua dengan sabun bukan dengan wanita lain pikir Uli.

Uli mencari Abangnya. Berniat ingin meminjam motor matic keluaran terbaru yang baru saja dibeli bulan lalu sebagai pelangkah pernikahan Uli.

Harusnya motor itu dikembalikan pada pria kota yang gagal menikahi Uli tetapi, pria itu mengatakan bahwa motor itu hadiah khusus untuk Luhut dan tidak perlu dikembalikan. Dia sudah Ikhlas.

"Bang Luhut!" teriak Uli mendapati Abangnya dibelakang rumah membuat kaget sepasang kekasih yang masih betah duduk didekat kandang ayam.

"Apaan sih butet?" tanya Luhut kesal.

Masalahnya ia baru saja akan melontarkan kalimat gombalan yang akan membuat kekasihnya kelepek-kelepek tapi, karena teriakan Uli kata-kata yang disusun Luhut hancur seketika.

"Adik pinjam motor matic, ya. Mau jalan-jalan sama suami tercinta," ucap Uli mengadakan tangan pada Luhut menyuguhkan senyum tulus dari hati paling dalam.

"Mau jalan kemana?" tanya Luhut kepo.

"Kemana-mana hati kami senang lah."

"Dasar adik durhaka."

"Dasar abang durjana. Naina tinggalkan saja si pengangguran ini," kata Uli memanas-manasi calon kakak iparnya.

"Ini kunci motor. Kamu cepat pergi."

Luhut memberikan kunci motor matic pada Uli kemudian mengusir adiknya agar tidak menodai pikiran Naina.

"Uli, kamu sendiri kan tahu bahwa aku sudah lama menjalin kasih dengan abang mu. Jadi mana mungkin aku meninggalkannya. Apalagi bulan depan keluarga kalian akan melamar ku," kata Naina menjelaskan pada Uli.

"Naina, kamu serius mau nikah sama preman kampung yang pengangguran ini?" tanya Uli memastikan.

"Ehh istri orang! Jangan coba-coba merusak pemikiran calon istriku, ya," kata Luhut berbicara dengan nada tinggi sampai ia harus bangkit dari duduknya.

"Ya ialah istri orang ... masak istri setan," kata Uli tak mau kalah.

"Kamu kesini mau pamer kalau udah ngerasain enak-enak, ya."

Naina tiba-tiba melontarkan kata godaan yang tak pernah terpikirkan Uli. saat melihat bukti kissmark dileher calon adik iparnya itu.

"Maksudnya?" tanya Uli heran yang sama sekali tidak mengerti arti dari ledekan Naina.

"Ituuu ... leher mu ada tanda cinta," ucap Naina menunjuk leher Uli yang memang merah karena pelajaran dari Arya.

"Astaga!" pekik Uli menutup leher dengan kedua telapak tangannya.

"Eh wanita bersuami ... kalau mau unjuk keganasan diranjang jangan dihadapan kami yang belum menikah," kata Luhut menggoda adiknya.

"Aku ti–tidak ...."

"Tidak salah lagi," timpal Naina tertawa terbahak-bahak bersama kekasihnya.

"Jangan menjahili ku ..." ucap Uli pelan, rasa malu miliknya sudah sampai diubun-ubun.

"Kami tidak menjahili mu. Kami hanya mengatakan yang sesungguhnya saja," kata Luhut.

"Uli, suamimu pasti sangat hebat di ranjang sampai lehermu merah-merah begitu," kata Naina yang tidak lelah menggoda calon adik iparnya itu.

"Naina!" pekik Uli tak terima.

"Satu malam dapat berapa ronde?" tanya Luhut sambil menahan tawa melihat wajah kesal adiknya.

"Aku membenci kalian berdua!" teriak Uli kesal.

Jika biasanya ia akan menang melawan godaan pasangan kekasih itu tapi, kali ini Uli lah yang kalah karena memiliki bukti tanda cinta membuat ia terpojok.

Uli menghentak-hentakkan kakinya ke tanah. Pertanda ia kesal dengan dua manusia berbeda kelamin itu.

Dari arah dalam rumah keluar Arya dengan setelan santai. Celana pendek warna moka dan hoodie hitam berjalan menuju tempat dimana istrinya sedang di bully.

"Ada apa?" tanya Arya polos saat baru tiba ditempat itu.

"Hei Monang ... bagaimana caramu memberikan tanda merah dilehernya?" tanya Luhut menggoda adik iparnya itu.

"Tanda merah?" Arya mengernyitkan kening tidak mengerti maksud dari perkataan Luhut.

"Jangan bersikap bodoh adik ipar. Lihat lah leher adikku merah akibat keganasanmu," kata Luhut tertawa riang melihat wajah polos Arya.

"Monang ... Monang. Aku tahu bahwa kau dari dulu begitu memuja adikku yang cantik jelita ini tapi, tolong lah jangan tunjukkan tanda cintamu didepan umum."

"Hahaha." Sepasang kekasih itu tertawa begitu riang seperti tidak memiliki beban sama sekali.

Sejak kedatangan Arya. Uli menjadi diam seribu bahasa.

Kalimat-kalimat cercaan untuk melawan abang dan calon kakak ipar sudah ada dikepalanya.

Namun, karena menghormati Arya sebagai suami ia memilih bungkam seribu bahasa.

"Ayo bang kita pergi saja." Uli menarik lengan Arya agar segera meninggalkan sepasang kekasih yang menertawakan hasil karya Arya itu. Mengambil kasar kunci motor yang masih terletak diatas kursi.

"Mereka kenapa?" tanya Arya yang sedari tadi memang diam. Pria itu tak mengerti kemana arah pembicaraan mereka tadi.

"Ini semua karena ulah kamu, bang. Mereka menertawakan tanda merah dileher ku karena ulah kamu tadi pagi," kata Uli kesal.

"Itu hukuman untukmu agar kamu tidak terlalu mudah membicarakan soal ranjang pada orang lain," kata Arya santai.

Ia seolah tidak bisa melihat raut kesal serta malu yang menjadi satu pada wajah istrinya.

"Ia itu hukuman buatku tapi, hukuman mu ini berhasil membuat orang menilai seberapa perkasanya kamu di ranjang," kata Uli berapi-api.

"Itu bukan salah ku," ucap Arya santai masih seperti orang tak bersalah.

"Ia memang aku yang salah! Sudah puas?"

"Heemm."

Uli menghentakkan kakinya sebelum berjalan masuk kedalam rumah meninggalkan Arya seorang diri didepan pintu.

"Uli, mau kemana? Kita harus ke sungai sekarang. Kalau kesiangan nanti panas."

"Mau ngambil hoodie. Aku malu jika banyak orang lain yang melihat hasil karya suamiku ini," kata Uli sedikit berteriak.

"Baru percobaan saja sudah separah ini. Bagaimana nanti jika pembobolan gawang sudah terjadi," sambungnya menggerutu.

"Hei pendengaran ku tidak seburuk itu!" teriak Arya yang memang mendengar ucapan Uli.

"Aku tidak perduli! Kenyataannya memang begitu."

"Kalau tidak mau diperlakukan seperti itu maka bersikaplah yang normal," ucap Arya tak mau kalah.

"Hei pria kota ... lihat saja, ya. Akan aku tunjukkan bagaimana bersikap normal layaknya seorang istri."

"Eh bukan itu maksudku."

Brakk! Pintu kamar mereka dibanting Uli.

"Dasar wanita aneh. Baru dua hari menikah saja aku sudah dibuat spot jantung. Bagaimana jika hubungan ini berjalan lama nantinya?"

"Ada apa lagi?" tanyak Bapak yang selalu saja suka datang tiba-tiba.

"Kurang minum obat mungkin, Pak."

"Kamu ini ... Monang, kalian jadi pergi ke sungai Air Mata?" tanya Bapak.

"Jadi, Pak. Uli lagi ngambil hoodie ke kamar."

"Itu sungai keramat. Setiap suami istri yang datang kesana pasti pernikahannya akan langgeng. Cobalah mengucap janji disana seperti yang orang dulu lakukan. Bahkan Bapak dan Mamak juga."

"Maksudnya apaan, Pak? Sungai keramat? Uli hanya mengatakan jika disana banyak Ikan Emas."

"Nanti kalau sudah sampai sana kamu pasti tahu. Jika sudah dapat satu ekor ikan dan sudah mengucap janji serta satu buah permintaan maka pulang lah. Nanti Mamak kalian akan memasak ikan itu."

"Kalau untuk dimasak sebaiknya aku pancing lebih dari satu saja, Pak. Penghuni rumah ini kan banyak."

"Astaga, Monang! Kamu seperti bukan orang sini saja. Ternyata bodoh mu tidak hilang walau sudah menikah."

"Bodoh itu bawaan orok, Pak."

"Mimpi apa aku harus memiliki menantu seperti mu, Monang," ucap Bapak lirih meninggalkan Arya sendirian di depan pintu.

"Lagi-lagi ditinggal tanpa kejelasan. Gak anak, gak Bapak sama aja," gerutu Arya.

"Sama-sama ninggalin kamu tanpa adanya kejelasan," sambung Mamak yang seperti hantu.

Sama dengan Bapak entah datang dari mana tapi tiba-tiba saja sudah ditempat.

"Loh, Mamak ..."

"Ingat ... jika sampai sana keluarkan unek-unekmu. Berjanjilah, dan buat satu permintaan setelah mendapat Ikan Emas." Setelah mengatakan itu Mamak berjalan masuk kedalam rumah.

"Ya Tuhan ... kenapa aku bisa terjebak di keluarga yang penuh teka-teki ini? Hanya pergi ke sungai saja sudah seperti pergi ke tempat dukun yang akan memberi teko ajaib."

Next chapter