3 Bab 3

"Sungguh aneh pria itu," ucap Arya pelan.

"Karena sudah berteman sejak kecil dengan Monang aku jadi tidak bisa membedakan kasih sayangnya."

"Aku hanya menganggap bahwa segala yang ia lakukan kepadaku selama ini hanya sebatas sahabat, tapi ternyata Monang menganggap lebih."

"Sakit hati yang ku rasakan saat difitnah oleh Monang tiba-tiba saja meluap mendengar ia mengatakan cinta dan maaf," jelas Uli.

"Mengapa kamu jadi perempuan yang tidak punya pendirian? Harusnya kamu membenci Monang karena ia sudah memfitnah mu sampai gagal menikah," gerutu Arya.

"Aku menyukai Leon, sangat malah. Kami menjalin hubungan sudah hampir 3 tahun. Dua bulan sebelum datang kesini untuk melamar aku memergokinya sedang bermesraan di kamar hotel dengan dua orang wanita cantik–"

"Apa! Dua?!" kaget Arya memotong ucapan Uli pikirannya sudah berkelana entah kemana.

"Ya dua orang perempuan dengan kualifikasi menggoda," ucap Uli dengan pasti

"Apa kamu dengannya su–sudah ...?" Arya mencoba bertanya tentang hal yang ada dalam pikirannya.

"Jangan gila kau! Aku masih suci. Meskipun harus bertaruh nyawa akan tetap ku pertahankan kehormatan yang ku punya ini." Menatap tajam manik mata Arya.

"Jangan tatap aku seperti itu! Matamu seperti mata pemburu yang akan menerkam mangsanya."

Arya menutup wajahnya. Baru kali ini ia melihat wanita bertubuh mungil dengan wajah imut namun tatapan seperti predator.

"Sekarang jelaskan tentang dirimu," pinta Uli.

"Tidak ada yang bisa ku jelaskan. Aku tidak suka berbagi cerita dengan orang lain," ucapnya tanpa beban sedikit pun.

"Dasar pria kota tak tau diri. Baru saja semalam statusnya berubah menjadi suamiku tapi masih bisa mengatakan bahwa aku orang lain," gerutu Uli.

"Aku mendengarnya. Kupingku ini indra pendengarannya sangat tajam. Jadi jangan coba-coba untuk berbicara hal aneh di belakangku." Berbicara tepat di telinga Uli.

"Ih apaan sih geli tau." Uli mengusap-usap daun telinga yang terkena hembusan nafas Arya.

"Bodoh amat. Wek," ucap Arya sambil menjulurkan lidah.

"Ayolah cepat ceritakan tentang dirimu ..." pinta Uli sedikit memohon.

"Tidak!" tegas Arya.

"Aku mohon ..." Wajah Uli sudah menggambarkan raut pupy face.

"Tidak!"

"Bagaimana kalau Kinderjoy?"

"Kau pikir aku bocah!"

"Ayolah pria kota ... apa salahnya menceritakan tentang dirimu pada istrimu ini," bujuk Uli

"Istri terpaksa yang tak pernah terlintas di benakku," ucap Arya acuh.

Uli memilih diam meskipun pernikahan ini memang hanya sebuah kesalahpahaman. Namun, entah mengapa ada rasa sakit saat seorang yang berstatus sebagai suami mengatakan hal yang tidak pantas.

"Kenapa diam?" tanya Arya.

"Tidak apa-apa," jawab Uli cuek mencoba meredam sesak yang entah mengapa.

"Baiklah akan aku ceritakan. Setelah itu kamu harus berjanji menceritakan tentang desa ini padaku. Bagaimana?" Arya menawar. Mereka ini sudah seperti padangan pasar.

"Apa yang ingin kau tahu tentang desa ini?"

"Banyak."

"Baiklah, tapi jangan coba macam-macam dengan desa ku ini," kata Uli mengancam.

"Untuk apa juga aku macam-macam. Aku hanya seorang Traveler bukan Wartawan," ucap Arya jujur.

"Ya sudah aku setuju. Cepat ceritakan tentang dirimu." Akhirnya penawaran itu jadi juga.

"Salaman dulu biar sah." Arya mengulurkan lengannya.

"Kan semalam sudah sah," kata Uli bercanda tapi dia menerima uluran tangan Arya.

"Mau mendengarkan ceritaku atau tidak?" ucap Arya sinis.

"Ya ya ya cepatlah. Aku akan menyiapkan telingaku dengan pendengaran yang sangat baik," kata Uli mengalah yang penting bisa tahu tentang pria ini pikirnya.

"Namaku Arya Wiraguna. Aku memiliki perusahaan besar di kota. Usiaku sudah 30 tahun. Aku tidak memiliki kekasih."

"Ibu dan Ayah ku sudah lama pergi menghadap pencipta. Aku hanya tinggal berdua dengan adikku. Dia sudah menikah dan memiliki sepasang anak."

"Travelling ke penjuru indonesia menjadi hobi baru untukku saat Ibu pergi. Setiap tempat yang ku datangi selalu memberikan kesan dan memiliki cerita menarik." Arya memandang wajah Uli.

"Kenapa melihatku? Lanjutkan ceritamu," pintanya. Padahal rona merah karena malu ditatap pria tampan tergurat jelas di wajahnya.

"Entah dosa apa yang ku lakukan dimasa lalu hingga aku harus menjadi tumbal pernikahan yang tak pernah terpikirkan selama ini."

Arya berniat untuk melanjutkan kalimatnya, namun Uli langsung menyalip seperti supir angkot.

"Apa jangan-jangan kamu gay? Mengapa tak pernah berfikir untuk menikah? Ahh kamu tidak normal, ya."

"Jaga ucapan mu gadis desa!" kesal Arya.

"Uppss maaf ..." Uli menutup mulutnya dengan kedua telapak tangan.

"Sepuluh tahun lalu aku memiliki seorang kekasih bernama Kinar. Dia seorang model papan atas. Kami bukan hanya pacaran tetapi lebih dari itu. You know lah ...."

Uli menganga tak percaya otak sucinya tiba-tiba menangkap adegan dewasa yang seharusnya dilakukan oleh suami istri.

"Jangan kaget, di kota hal seperti itu sudah biasa. Suatu saat Kinar ditemukan tewas karena obat-obatan terlarang."

"Hasil visum Dokter mengatakan bahwa Kinar hamil. Entah mengapa aku tidak yakin bahwa bayi yang ikut lenyap dengannya adalah benihku."

"Hingga aku memerintahkan seseorang untuk menyelidiki sepak terjang Kinar selama ini." Arya menjelaskan hal yang sudah lama tak pernah ia buka kembali.

"Lalu?" tanya Uli.

"Kenyataannya bukan aku saja yang berbagi kehangatan tetapi banyak pria lain yang menggilirnya di luar sana," sambung Arya.

Kini mata pria itu memerah, rahangnya mengeras. Ternyata luka lama itu masih memendam di hatinya.

"Ma ... af." Ada rasa bersalah yang datang entah dari mana menyelimuti hati Uli.

"Tidak apa. Pernikahan impian yang ku rencanakan dengan matang harus hancur karena kekasihku tewas dengan kebohongan yang di pendamnya selama ini."

"Dari situ aku membenci wanita apalagi saat Ayah berselingkuh dengan sahabat Ibu sendiri. Aku merasa bahwa wanita seperti tak memiliki hati nurani."

"Aku mengubur dalam-dalam keinginanku untuk hidup berkeluarga dengan wanita. Meskipun setiap melihat rumah tangga Zoy adikku yang begitu harmonis aku iri."

"Aku ingin seperti itu, namun pandanganku sudah terlalu rendah terhadap wanita."

Semua yang dikatakan Arya adalah sebuah kejujuran yang tidak pernah dia bagi pada siapa pun.

"Jika kau pernah melakukan hal itu mengapa tadi malam tidak tertarik melihatku?" tanya Uli heran.

"Aku ini laki-laki normal. Bohong jika melihat paha mulus aku tidak tegang, namun nafsuku masih kalah dengan pikiranku. Di pikiranku semua wanita sama saja. Maka dari itu aku menyebutmu jalang tadi malam."

"Aku tidak sakit hati dengan umpatanmu semalam. Aku tahu bahwa aku yang salah ... Arya maafkan aku telah membuka luka lamamu." Perkataan Uli terdengar sangat tulus.

"Sekarang jelaskan padaku tentang desa ini," pinta Arya sesuai dengan kesepakatan mereka tadi.

"Nama Desa ini adalah Desa Suka Hati. Disini tidak ada kepala suku atau perangkat daerah lainnya."

"Semuanya di lakukan dengan sesuka hati kita masing-masing. Karena posisi desa yang terletak di atas bukit maka banyak sekali para wisatawan datang berbondong-bondong untuk sekedar melihat keindahannya."

"Disini kamu tidak perlu izin siapapun untuk melakukan sesuatu, tetapi untuk mencuri dan berzina seluruh warga kampung akan datang untuk menghabisi mu."

"Seperti kesalahpahaman antara aku dan Monag. Dia itu pria baik, juga salah satu anak orang terkaya di desa ini tapi sifatnya yang selalu merugikan warga desa membuat mereka membenci Monang," jelas Uli panjang lebar.

Desa ini hanya sebuah desa kecil yang di bangun oleh pria baik hati jaman dulu kala.

Desa Suka Hati. Kecamatan Terserah. Kelurahan Bebas ini tidak pernah sama sekali tersentuh pemerintah.

Dalam artian pemerintah menghargai keputusan warga setempat yang hanya berjumlah ratusan orang itu.

Warga tidak ingin peninggalan leluhur mereka di ubah. Ini sudah lebih jauh baik dari apapun.

Bantuan dari pemerintah tidak pernah putus. Bahkan pemerintah juga yang menjadikan Desa ini sebagai salah satu objek wisata dengan adat istiadat yang sangat kental.

avataravatar
Next chapter