2 Commitment by Chance - Chapter 2

"Kenapa kau diam? Ayolah, badanmu bisa sakit jika terus terkena hujan."

Hadyan mengangsurkan payung hitam itu, "Ambillah."

Dengan ragu, Lea mengambil payung itu dan berjalan mengikuti Hadyan ke arah Sanggar Teater Mahasiswa. Pemuda itu mengeluarkan kunci dari sakunya dan membuka pintu ruangan itu.

"Kau masuk saja. Di situ ada lemari. Pilihlah kostum yang menurutmu nyaman dipakai. Semua kostum kujamin bersih karena aku mengontrol prosesnya."

Gadis itu menurut dan beberapa menit kemudian keluar. Lea menunduk malu. Sungguh, ia tidak dapat menemukan baju yang normal di dalam lemari itu. Apa yang dipakainya sekarang itulah yang terbaik.

"Aku terlihat memalukan ya?" akhirnya Lea berani berbicara.

Hadyan menatap Lea dengan kostum barunya. Gadis itu sudah siap ditertawakan tapi pemuda itu tidak melakukannya.

"Tidak, kau seperti Putri Salju sungguhan."

Gadis itu membelalakkan matanya. Baginya itu pujian bukan ledekan, Putri Salju adalah putri impiannya saat kecil dahulu.

"Terima kasih."

Hadyan tersenyum, ia senang bisa mendengar suara gadis itu.

"Sekarang ikutlah aku."

Tanpa banyak membantah, Lea mengikuti kemana Hadyan pergi. Mereka berjalan menyusuri koridor kampus beriringan. Semua mata menatap kepada pasangan yang terlihat ganjil itu. Lea tidak peduli, ia memang biasa dianggap aneh. Yang ia khawatirkan justru Hadyan. Profilnya yang sempurna bisa tercoreng hanya karena berjalan bersama 'putri salju' gadungan.

"Kau ada kuliah pagi ini, Lea?"

Gadis itu terpana, Hadyan ternyata mengenal namanya. Ia menggeleng, "Tadinya aku akan ke perpustakaan."

"Aku antarkan kau ke sana kalau begitu."

Melihat hujan yang kembali deras. Lea menggelang,"Tidak usah, tidak apa-apa. Hmm mungkin Senior juga sedang ada kuliah. Aku tidak ingin mengganggu jadwalmu."

Hadyan tersenyum, "Aku hanya ada sedikit bimbingan dengan Dosen Sam. Jadi bagaimana jika kita ke perpustakaan?"

"Ehmm…aku maksudku perpustakaan kampus letaknya jauh dari sini dan kita harus melewati taman, jadi tidak usah.."

"Kenapa?"

"Jalannya berkelok dan hujan akan membuat lantai licin juga kotor…"

"Kau takut jatuh?"

"Tidak, aku hanya,…."

Hadyan menatap Lea dan menyenderkan punggungnya di dinding luar kelas. Ia takjub mendengar gadis itu terus berceloteh hanya untuk menghindari pergi ke perpustakaan. Lea ternyata tidak bisu atau asosial seperti yang digosipkan orang. Ia bisa bicara dengan normal, suaranya pun sangat lembut dan merdu. Rasanya Hadyan bisa betah berlama-lama mendengarkan suara gadis itu.

"Kau takut hujan ya?"

Lea meringis kecil. Ternyata laki-laki itu mengerti apa yang dirasakannya.

"Paranoid mungkin lebih tepat."

"Sudah sejak lama?"

Gadis itu mengangguk. Sejak orangtuanya meninggal, dari situlah ketakutannya dimulai.

"Kau ingin sembuh?"

Lea mengangguk mendengar pertanyaan Hadyan,"Tapi itu sulit. Aku sudah berusaha."

Ia tidak tahu apa yang terjadi karena tiba-tiba sebelah tangannya sudah digenggam Hadyan. Lea terkejut karena pemuda itu langsung membuka payungnya dan membawanya melewati hujan.

"Senior, kumohon, aku takut."

"Ketakutan harus dibalas dengan keberanian, Lea. Tutuplah matamu jika kau mau. Aku akan membimbingmu. Hujan adalah berkah bukan bencana."

Rasa takut dan benci membuatnya menggenggam erat jemari Hadyan. Pria itu merangkul bahu Lea dengan lembut. Mereka melewati hujan deras dan berbagai tempat di area kampus. Lea memejamkan matanya. Beberapa mahasiswa kembali berbisik. Beberapa menertawakan kostum yang dipakainya, tapi sebagian besar menggoda Hadyan. Hadyan merasa tidak enak, ia berhenti berjalan. Hujan masih mengguyur bumi dengan deras.

Hadyan menatap Lea, "Jangan kau dengarkan kata mereka. Tetap fokus."

Pria itu tampaknya tidak terganggu dengan ledekan mahasiswa yang lain. Ia terus membimbing Lea melewati area terbuka. Air hujan yang dingin membuat gadis itu menggigil. Hadyan tidak tahu, setiap hujan turun, ia kadang bersikap histeris. Ditambah memori kehilangan orang tua dan kini Aditya, membuat rasa takutnya berubah menjadi benci.

"Aku tidak sanggup…" Lea hampir menangis.

Hadyan tertegun. Ia tidak menyangka hujan begitu menakutkan bagi gadis itu, "Bertahanlah. Perpustakaan tinggal beberapa meter lagi."

Hadyan kini memeluk Lea lebih erat. Hujan masih mengguyur bumi dengan deras. Ia tidak mau setetes air membasahi tubuh gadis itu.

Lea menurut. Ia tidak merasa jengah seseorang selain Aditya memeluknya.

"Kita sudah sampai."

Dengan hati-hati, Hadyan mengarahkan Lea untuk melangkah melewati undakan teras yang menuju ke pintu perpustakaan. Ia memperlakukan Lea dengan sangat hati-hati, seperti sedang memegang keramik antik.

Mereka kini sudah ada di teras gedung perpustakaan. Hadyan menyimpan payung di tempat yang telah disediakan. Lea memandang pria itu dari belakang. Ia sering mendengar tentang Hadyan yang baik hati tapi tidak disangkanya Hadyan pun mau membantunya, Lea Kinandita, gadis aneh penunggu sudut kelas.

"Hujan ternyata tidak menakutkan bukan?" Hadyan menoleh ke arah Lea. Gadis itu menundukkan wajahnya, ia malu tertangkap basah sedang memandang pria itu.

Mereka masih ada di teras gedung perpustakaan. Ada sesuatu yang mendorong Suho untuk terus berlama-lama berada di area itu, "Kau sudah tidak takut?"

Lea menggeleng. Ia memang merasakan 'pengalaman menembus hujan' dengan perasaan berbeda. Tapi kenapa bisa begitu cepat, maksudnya beberapa jam lalu perasaan takut itu masih ada. Entahlah, apa mungkin karena ada Hadyan?

"Aku masih harus belajar mengendalikan rasa takut ini."

"Kau pasti bisa."

Lea tersenyum manis. Hadyan terpana. Tuhan, betapa cantiknya gadis itu. Pria itu tidak bisa melepaskan matanya dari sosok itu, sesuatu dalam nadinya berdenyut-denyut.

"Terimakasih Senior. Mungkin aku bisa menyembuhkan rasa takutku tapi aku tetap membenci hujan sampai kapanpun."

Hadyan tertegun, adakah yang membenci hujan sebegitu kuatnya seperti itu, sedangkan dia begitu menyukainya. Hujan justru yang mempertemukannya dengan Lea.

Secara tidak sengaja, pagi tadi ia melihat seorang gadis duduk mengigil kedinginan di taman kampus. Gadis itu tak bergerak sedikitpun walaupun hujan deras mengguyur tubuhnya. Spontan, Hadyan mengambil payung yang sedang dipegang Bagas dan membukanya untuk sosok misterius itu. Tapi siapa sangka, hujan menjawab harapannya, gadis itu ternyata Lea.

"Hujan mengingatkanmu pada kenangan yang tidak kau sukai?"

Gadis itu menatap Hadyan. Rasanya ia tidak bisa berbohong, pria itu selalu dapat mengetahui apa yang ada dalam pikirannya. Tapi ia tidak mau berbicara banyak. Ini rahasianya.

"Kenangan buruk tidak akan hilang. Kita hanya bisa berdamai dengan menerimanya."

Lea tersenyum pendek mendengar pernyataan laki-laki itu. Ia melangkah masuk ke dalam perpustakaan. Hadyan mengikuti dari belakang. Beberapa saat mereka tidak bicara. Masing-masing sibuk mencari buku yang ingin dibaca. Beberapa pengunjung saling berbisik dan tertawa geli. Mereka tidak percaya Hadyan mau berdekatan dengan Lea.

Gadis itu mengambil buku dengan asal, duduk dan mencoba membacanya. Tapi ia tidak dapat berkonsentrasi, tatapannya tidak bisa lepas dari sosok Hadyan yang sedang berdiri mencari buku di depannya. Pria itu tampak sempurna, tampan, pintar, dan baik hati. Ia sering mendengar betapa banyak gadis yang tergila-gila padanya. Pasti Hadyan telah memilih satu di antara mereka. Beruntunglah gadis yang dapat memilikinya.

Lea menggelengkan kepala, kenapa ia bisa tiba-tiba memikirkan Hadyan. Sudahlah, jangan pernah berpikir terlalu jauh, Hadyan itu anak orang kaya. Dalam pikirannya orang kaya sama saja, selalu melihat orang lain dari hartanya, seperti Aditya.

"Kau bisa membaca buku dengan gaya seperti itu?"

Hadyan tiba-tiba sudah duduk di sampingnya. Lea tersadar sejak tadi ia ternyata membaca buku dengan posisi terbalik. Lea tersenyum malu. Ia melamun rupanya.

"Masalah cinta memang berat tapi pasti bisa diatasi. Perbedaan adalah biasa. Kau hanya harus percaya pada waktu. Saat satu pintu tertutup, pintu lain akan terbuka."

Gadis itu terkejut, Hadyan tahu apa yang terjadi dengannya. Rasanya ia tidak bisa berpura-pura lagi, "Senior tahu tentang hubungan kami?"

Gantian Hadyan yang terkejut, maksud gadis ini apa?

"Ini memang menyakitkan. Padahal sudah setengah tahun berlalu tapi aku masih saja meratapinya seperti pengemis. Ia memutuskanku karena wanita yang jauh lebih cantik, lebih kaya."

Hadyan menatap gadis itu dengan tanda tanya besar. Ia terkejut dengan keterusterangan Lea, padahal ia hanya menarik kesimpulan dari buku yang dibaca gadis itu, How men a broken heart in love. Hadyan tidak menyangka gadis itu bisa tiba-tiba begitu gamblang menjelaskan hubungan cintanya. Tapi alih-alih jujur, ia lebih baik diam dan membiarkan Lea berbicara.

"Dia di sana mungkin sudah berbahagia dengan kekasihnya. Tapi kenapa aku terus memikirkannya? Rasanya tidak adil, rasanya begitu…"

Lea berhenti berbicara. Dadanya sesak setiap memikirkan Aditya.

Hadyan menatap gadis itu lembut. Ia menyentuh dadanya sendiri,"Rasanya begitu sakit di sini?"

Gadis itu mengangguk, ada setetes air mata di pelupuk matanya. Sial, ia tidak bisa menahan emosinya.

"Eh, aku, aku harus pergi, maafkan karena menyita waktumu, Senior."

Dengan cepat Lea beranjak dari kursinya dan berlari melangkah ke luar perpustakaan. Ia tidak mau menangis untuk kesekian kalinya di hadapan Hadyan. Ia tidak mau dikasihani karena hal ini. Hadyan pasti akan menganggapnya wanita yang menyedihkan.

"Lea, tunggu!"

Hadyan meraih sebelah tangan Lea. Gadis itu terkejut karena Hadyan menyusulnya. Mereka kini sudah ada di teras perpustakaan. Hujan masih turun tapi tidak selebat tadi. Lea dapat membaui harum tanah dan daun yang begitu segar tapi hatinya begitu kalut untuk bisa merasakan nikmatnya alam.

"Maafkan aku karena membuatmu jadi merasa sedih."

Lea menggeleng,"Tidak itu bukan salahmu. Aku saja yang terlalu sensitif."

Hadyan tersenyum. Ia menghampiri pagar kecil yang membatasi teras dengan halaman perpustakaan. Hadyan bisa merasakan hawa hujan dan percikan air yang dingin. Tangannya dengan sengaja bermain bersama butiran-butiran air yang dengan leluasa melewati sela-sela jemarinya.

"Rasanya menyenangkan, kemarilah."

Lea menatap Hadyan ragu. Apa maksudnya? Tapi ia mendekati pemuda itu dan mengikuti apa yang Hadyan lakukan. Bermain dengan hujan?

Ia merasakan sesuatu yang segar bermain-main di telapak tangannya. Rasanya aneh tapi menyenangkan.

"Hujan tak seburuk yang kau kira, bahkan hujan bisa menghapus air matamu tanpa orang tahu."

"Kau telah banyak menangis dalam hidupmu. Jika kau menyalahkan hujan, maka buatlah ia menghapus kesedihanmu. Hujan bisa menjadi sahabat atau musuhmu, tergantung mana yang kau pilih."

Hadyan menatap mata indah itu, "Kau bisa mengabaikan perkataanku. Tapi pikirkanlah baik-baik. Banyak hal yang harus kau pikirkan untuk masa depanmu dibandingkan memikirkan masa lalu yang tidak akan pernah kembali. ���

Lea tertunduk, orangtuanya tidak akan kembali begitu juga dengan Aditya. Hadyan benar tapi sayangnya setiap bertemu hujan, memori itu semakin dalam menembus pikirannya.

"Membencinya akan membuatmu semakin sakit. Padahal hujan terus akan datang setiap waktu. Ia tidak akan pergi, justru hujan sangat setia denganmu. Bersahabatlah dengannya."

Lagi-lagi Hadyan tahu apa yang ada di benaknya. Laki-laki itu bisa membuat ia bebas bercerita, bahkan untuk rahasia tergelapnya.

"Orangtuaku meninggal karena kecelakaan, mobil mereka tertabrak bus. Hujan yang menyebabkan bus itu tergelincir dan menghantam mobil orang tuaku. Sejak itu aku membenci hujan sekaligus takut. Bagaimana mungkin ia akan menjadi sahabatku."

Hadyan tersenyum sesaat ke arah Lea dan beberapa detik kemudian ia sudah membiarkan dirinya berada di bawah jutaan butiran air yang membasahi dirinya. Hadyan masih menatap Lea dengan senyumnya.

"Lihatlah. Hujan tak akan menyakitiku."

Gadis itu tertegun, apa yang dilakukan laki-laki itu? Hadyan tampak nyaman berada di tengah hujan yang mengguyur tubuhnya. Ini gila.

"Cobalah tapi dengan perasaan yang berbeda. Mulailah berkenalan dengannya, berdamailah dengan apa yang dimilikinya."

Tangan pria itu mengarah ke arah Lea. Gadis itu ragu, pagi tadi ia melakukannya tapi dengan perasaan marah dan terluka. Kini ia harus mencobanya lagi dengan perasaan sebaliknya.

"Aku, aku tidak berani…"

Lea hanya terpaku dan tak bergerak. Tapi sampai kapan ia akan takut terhadap hujan?

"Ayolah, rasanya menyenangkan."

Melihat kesungguhan Hadyan, hati Lea tergerak. Ia meraih tangan Hadyan pelan dan memberikan seluruh kepercayaan pada pria yang baru dikenalnya hari ini. Entahlah mengapa ia bisa percaya begitu mudahnya.

Laki-laki itu masih memancarkan senyuman manis di bibirnya, merasakan hujan tanpa beban, merasakan jutaan air yang mengguyur tubuhnya dengan wajah tenang. Lea menatap Hadyan dengan ragu-ragu. Bisakah ia melewati semua ini? Beberapa penggal memori buruk menghantui pikirannya namun semangat Hadyan telah menguatkan tekadnya. Ia harus kuat!

Gadis itu memejamkan matanya, menahan semua perasaan takut. Tetes air hujan mulai mengenai rambutnya, wajahnya dan ia merasakan sesak yang luar biasa. Berdamai dengan hujan sama dengan berdamai dengan masa lalunya. Lea mengerti sekali maksud Hadyan tapi mampukah ia melewati semua ini?

Badan Lea menggigil, bibirnya bergemeretak. Ia memejamkan matanya, berusaha mengenali hujan. Lea berusaha menganggapnya sebagai sumber kebahagiaan mengikuti perkataan Hadyan, tapi itu sulit karena batinnya hujan adalah bencana.

Bagaikan rol film yang terus berputar, ia bisa melihat bagaimana orangtuanya mati dengan tragis. Lea yang berteriak-teriak ketakutan melihat kedua orangtuanya meregang nyawa. Mobil yang terguling dan bagaimana tim evakuasi mencoba menyelamatkan dirinya yang terjepit dalam jok mobil. Hanya dia yang selamat. Ayah dan Ibunya tidak.

Rol kembali berputar ke tahun-tahun setelahnya. Lea seolah mati suri dan menarik diri dari setiap pergaulan. Tidak punya teman dan selalu sendirian. Ia hidup dengan adik perempuan Appa yang haus harta. Lea bekerja banting tulang tapi uangnya semua masuk ke tangan Bibi tanpa sisa. Harta warisannya pun habis oleh keluarganya yang suka foya-foya.

Kemudian muncul Aditya, tapi itu hanya sementara. Ia meninggalkannya dalam sebuah tanda tanya besar dan membuat Lea kembali berkubang dalam pengasingan.

Lea menangis, hujan telah memberinya kenangan buruk. Rasanya ia tidak bisa bertahan karena sekuat apapun ia mencoba berdamai, tapi tetesan hujan bagai mencabik hati dan jiwanya. Ia terduduk lemas hingga mengenai tanah. Matanya masih terpejam, badannya lemah.

'Maafkan aku Hadyan, aku menyerah,' desis Lea.

Tiba-tiba sebuah dekapan tangan meraih tubuhnya. Lea seperti diangkat dan tubuhnya melayang. Dalam hujan ia merasakan kehangatan, rasa yang sudah lama hilang dari dirinya. Sesuatu yang hangat itu menjalari seluruh sel dan nadinya, mencairkan kebahagiaan yang telah lama membeku. Ia membuka mata.

"Hadyan?'

Wajah pria itu berada dekat sekali dengannya. Lea baru menyadari, kehangatan itu datang dari pelukan Hadyan. Wajah pria itu tampak cemas. Hadyan menggendong Lea erat. Ia tidak akan memaafkan dirinya, jika terjadi sesuatu hal yang buruk pada gadis itu karena beberapa detik sebelumnya Lea hampir saja pingsan.

"Kita pergi dari sini," Hadyan melangkah menuju ruang yang terlindung hujan,"Maaf karena terlalu memaksamu."

"Jangan," Lea mendesis.

Lea membalas pelukan pria itu. Ia melingkarkan kedua tangannya di leher Hadyan. Gadis itu berbisik dalam gendongannya,"Tetaplah di sini. Beri aku waktu. Aku akan mencoba sekali lagi."

Hadyan terkejut, ia mengeratkan pelukannya,"Kau yakin? Badanmu panas, kau demam."

Lea membuka matanya, ia mengangguk yakin. Tangannya yang dingin dan basah telah membawanya merasakan jutaan kilau air yang turun dari langit. Ia mulai melihat hujan dari sudut pandang yang berbeda. Lea tidak mau kehilangan rasa hangat yang baru saja ia rasakan tapi ia tidak bisa berhenti menangis, entahlah sepertinya sesuatu sedang menguras air matanya untuk terus keluar dan habis.

"Menangislah, karena hujan akan menutupi tangismu itu dan hujanlah yang akan menghanyutkan semua rasa sakit yang ada di pikiranmu," suara itu berdengung di telinga Lea, suara Hadyan yang masih berada di bawah rintikan hujan bersamanya.

Lea masih menangis tapi kini entah untuk alasan apa. Ia menangis bukan lagi karena teringat masa lalu atau karena takut dengan hujan. Ia membuka matanya. Sekarang tidak hanya kehangatan yang ia rasakan tapi juga rasa lega. Ia seperti terlepas dari jeratan yang mengikatnya lama. Lea tak mengerti keajaiban apa yang membuatnya merasa lebih nyaman seperti ini.

avataravatar
Next chapter