11 Ch.9 : 40329 MINUTES

Aku melarikan diri ke taman. Aku butuh suasana yang tenang setelah apa yang terjadi hari ini. Angin sepoi-sepoi menerbangkan rambutku yang tergerai.

Mengapa semuanya tak percaya dengan ucapanku? Tapi pantas saja mereka melakukan hal itu karena aku tak punya bukti. Tapi aku muak dengan segala drama yang terjadi di rumah apalagi ketiga wanita ular pasti tak akan pulang karena mereka merasa menang.

Harus aku buktikan kejadian ini secepatnya. Tak boleh ketiga wanita itu berlama-lama berada di rumah. Aku sangat membenci mereka, mereka terlalu tergila akan harta. Di pikiran mereka Cuma ada harta dan kekuasaan.

"Kamu kenapa Al?"

"Aku gapapa ko Ar." Ar-adalah panggilanku pada Fahmi saat kami masih kecil.

"Nih Al." Fahmi menyodorkan arumanis berwarna pink kesukaanku. Aku menerima dengan sangat cepat takutnya Fahmi berubah pikiran dan menyuruhku untuk membayarnya.

Aku mengambil arumanisnya kemudian memasukannya ke dalam mulutku. "Aku gak tau Al masalah kamu apa. Tapi sebesar apapun masalah kamu, kamu pasti bisa menyelesaikannya. Setiap masalah pasti ada jalan keluarnya. Jadi jangan sedih lagi ya." Aku menganggukan kepala tanda menyetujui nasehatnya.

"Hutang kamu jadi sepuluh ribu ya Al." Aku melotot kaget mendengarnya. Jadi Fahmi kesini hanya untuk berdagang arumanis. Apa aku juga harus membayar petuah yang dia berikan.

"Becanda kok Al. Jangan kaget kaya gitu dong. Hutang kamu tetep lima ribu kok. Gak akan nambah jadi sepuluh ribu, kali ini aku ikhlas ngasih arumanisnya." Aku menghela nafas, kenapa Fahmi perhitungan banget sih? Dan mengapa di saat Fahmi menagih hutang aku selalu tak membawa uang? Tetapi kali ini aku memakai celana yang bersaku. Semoga saja ada uang yang tersimpan si saku karena aku lupa tidak mengambilnya.

Aku merogoh sakuku dan ternyata aku merasakan ada sebuah kertas yang ku terima, aku berharap semoga uang lima ribu.

Gambar pahlawan pangeran Antasari yang tertera di uang itu.

Hanya dua ribu rupiah. Ini mana cukup untuk membayar hutangku pada Fahmi.

"Aku bayar dulu dua ribu ya Ar?" itu pertanyaan bukan pernyataan. Fahmi menggelengkan kepala tanda ia tak mau menerima uangku.

"Nanti aja Al kalo udah lima ribu. Aku gak terima uang dua ribuan dan gak terima cicilan." Fahmi ini maunya apa sih. Uang lima ribu aja mau di bayar kok banyak banget aturannya.

"Ambil dulu aja Ar. Nanti tiga ribu lagi aku anterin ke rumah kamu." Kataku ngotot

"Aku udah bilang gak terima cicilan Al." Serunya menegaskan kembali bahwa ia tak menerima uang cicilan hutang lima ribu dariku. Ya sudah aku pasrah saja apa katanya.

"Kamu mau ice cream gak al?" aku menganggukan kepala karena aku sedang melahap arumanis yang masih belum habis sedari tadi.

Fahmi berdiri kemudian melangkah pergi meninggalkanku. Aku harus menghentikan langkahnya. "Ehh... Ar aku harus bayar gak ice creamnya? Kalo harus bayar aku gak jadi mau soalnya gak bawa uang."

"Oh.. ya udah gak usah berarti." Hell, berarti dia tak benar-benar menawariku.

"Tapi ini ada dua ribu Al. Kamu beliin uang ini aja."

"Mana cukup dua ribu buat ice cram al. Itu Cuma cukup buat cone-nya aja." Aku mengedikan bahu. Ya sudah kalo memang tak mau, berarti uang dua ribu ini tinggal ku masukan saku lagi.

"Ar kalo menurut kamu, aku egois gak sih?"

Fahmi mengerutkan kening, tak mengerti apa maksud dari ucapanku. "Egois? Maksudnya?"

"Aku kembali kesini karena mau nyelesain masalah, tapi aku terlalu takut buat memulai nyelesainnya dan aku juga Cuma nunggu orang yang punya masalah sama aku yang nyelesain duluan." Membutuhkan sebuah solusi adalah hal yang kubuthka sekarang.

"Kalo itu masalahnya menurutku iya. Harusnya kamu jangan nunggu Al, kamu coba dulu ada sebisa yang kamu bisa seenggaknya kamu udah berusaha. Mau apapapun respon dari orang yang punya masalah kamu, coba kamu terima dengan lapang dada. Kalo orang itu emosi kamu jangan ikutan emosi. Kalo orang itu gak suka terhadap kamu kamu juga jangan ikutan gak suka juga." Katanya sambil merangkul bahuku dengan tangan kirinya.

Aku menganggukan kepala tanda menyetujui usulannya. Benar apa yang dikatakan Fahmi aku seenggaknya berusaha mencoba terlebih dahulu menyelesaikannya. Tapi lagi-lagi di saat aku akan mencoba, papa selalu tak ada. Aku harus menunggu lagi papa kembali.

Entah berapa lama papa akan pergi untuk menyelesaikan pekerjaannya. Aku menghembuskan nafas kasar. Semakin lama papa pergi semakin lama masalah ini akan selesai.

"Emang kamu punya masalah apa sih Al? Kayanya besar banget sampai kamu harus menghindarinya dan kembali lagi setelah delapan tahun lamanya."

"Kamu kok tahu aku pergi ke Jerman gara-gara masalah?" tanyaku heran.

"Aku tahu dari Bunda, tapi bunda gak cerita masalahnya apa karena kata bunda aku gak harus tahu. Tapi dari jawaban bunda itu yang membuat aku harus menelan rasa penasaran selama ini."

"Masalahnya besar banget Ar. Aku gak tahu harus menceritakan dari mana dulu." Aku memang bingung harus enceritakan dari mana.

"Kalo kamu gak sanggup buat cerita sekarang juga gapapa kok Al. Aku gerti itu pasti satu hal yang sangat privasi buat kamu." Sepertinya Fahmi menyadari kalo aku tak sanggup untuk menceritakan masalahku dari jawabanku sebelumnya yang seakan ragu.

"Tapi aku gak akan pernah bosan buat bilang sama kamu kalo masalah seberat apapun yang kita miliki pasti ada jalan keluarnya. Kamu cuma harus optimis aja kalo kamu bisa menyelesaaikan semuanya." Aku menganggukan kepala. Kemudian menyadarkan kepalaku pada bahu kirinya. Tangannya masih bertengger mani di bahuku.

"Ar kalo menurut kamu cinta itu apa?" aku mengalihkan pembicaraan.

"Cinta itu bukan hanya sekedar rasa kita terhadap lawan jenis tapi bagaimana caranya kita menyatukan dua rasa terhadap hati dan pikiran." Definisi yang indah.

"Kalo menurut kamu?" aku menggelengkan kepala.

"Aku gak pernah tahu definisi cinta buat aku itu seperti apa. Karena pada dasarnya dengan cinta kita merasa bahagia tapi dengan itu pula jika kita tak mampu menjaganya maka akan terluka. Kalo menurut aku akan terlalu banyak kata untuk mendefinisikan cinta."

"Tapi kamu pernah jatuh cinta gak Ar?" tanyaku penasaran. Sepertinya menyenangkan apabila aku mengetahui rasanya jatuh cinta terhadap seseorang versi Fahmi.

"Pernah." Jawabnya sambil menerawang.

"Gimana rasanya?" aku sangat penasaran

"Bahagia. Kita akan selalu tersenyum karena segala tingkahnya. Tertawa karena leluconnya walaupun sebenarnya gak lucu sama sekali. Mengingatnya setiap saat seakan tak ada hal lain lagi yang ada di pikiran. Kita akan merasa sedih di saat dia sedih. Yang terakhir kita seakan ingin selama-lamanya hidup bersama." Jelasnya panjang lebar.

Aku tersenyum mendengar segala penuturannya. Apa yang kata Fahmi katakan itu adalah hal yang ku alami sekarang padanya. Apa jatuh cinta padanya? Tapi sepertinya iya. Hari ini aku menyadari satu hal bahwa sebenarnya aku telah jatuh cinta padanya.

"Kamu gak pernah jatuh cinta ya Al" tanya sambil tertawa mengejek.

Aku mengangkat wajahku dari pundaknya. Kemudian memukul bahunya gregetan.

"Enak aja. Pernah dong." Seruku bangga.

%%%%%%

Aku tersenyum sendiri menatap langit kota kembang yang bertabur bintang. Cahaya rembulan pun tak mau kalah menemani bintang agar bintang tak sendirian.

Mengingat bulan dan bintang aku jadi ingat satu kalimat yang pernah Fahmi katakan tempo dulu. "Bintang tak akan pernah bermakna apa-apa tanpa adanya bulan.Begitu pun aku yang tak akan pernah bermakna apa-apa tanpa adanya kamu."

Nah kan aku jadi teringat Fahmi lagi. Sepertinya efek jatuh cinta sudah sangat menguasai tubuhnya. Bahkan sepulang dari taman tadi aku tak pernah berhenti tersenyum. Bi Sum pun sangat heran karena raut mukaku yang begitu ceria, tapi beliau tak sampai menanyakan mengapa aku sangat bahagia. Karena bi Sum pasti tak mau mengganggu privasiku.

Duduk di balkon kamar, membuat hawa dingin menyelimuti diriku. Tapi tak apa aku sudah di temani segelas teh dan camilan. Serta sebuah selimut kecil bermotif bunga berwarna hijau.

Aku mengambil buku dan bolpoin yang tergeletak di atas meja. Buku dan bolpoin itu sengaja aku bawa, karena aku ingin menuliskan satu hal yang berharga dalam hidupku. Untuk pertama kalinya aku merasakan jatuh cinta. Jatuh cinta terhadap seseorang yang selalu melindungiku dulu, tapi aku yakin dia juga akan selalu melindungiku sekarang dan selamanya.

Tak pernah terpikirkan olehku. Aku bisa jatuh cinta terhadap seseorang dalam waktu sesingkat ini. Hanya dengan waktu tujuh hari Fahmi mampu membuatku merasakan satu hal yang tak pernh aku rasakan untuk lawan jenis. JATUH CINTA.

Aku tersenyum kembali menatap bintang setelah selesai menuliskan ceritaku di hari ketujuh aku berada di kota kelahiran. Menikmati indahnya ciptaan tuhan yang tiada tandingannya.

%%%%%

avataravatar
Next chapter