10 Ch.8 : 40329 MINUTES

Aku menuruni anak tangga. Badanku sudah baikan. Aku ingin sarapan karena perutku rasanya sudah sangat perlu di isi. Tapi sampai di pertengahan tangga aku mendengar suara seseorang. Seseorang yang sangat berarti bagiku. Itu adalah suara papa.

Tapi mengapa papa sudah pulang?. Bukannya papa berada di luar negeri?

"Mama gak pernah ngelakuin semua itu sama kamu Bram. Buat apa sih mama ngelakuin itu gak akan ada gunanya" Itu ternyata ucapan nenek. Aku melihat ke bawah, ternyata tamu tak di undang itu masih berada di sini. Aku menghentikan langkahku karena sangat penasaran dengan drama yang akan terjadi di depanku ini.

"Tapi Alesya gak mungkin bohong-kan ma? Sekarang aku minta penjelasan mama sama Rania tentang semua ini. Ale juga gak mungkin ngomong kaya gitu aja kan ma?" aku tak mengerti pembahasan mereka tentang apa, mengapa bawa-bawa namaku segala?

"Harus berapa kali mama bilang Bram. Mama gak ngelakuin semua yang di tuduhkan Alesya."

Sepertinya aku tahu ini pembahasan apa. Pasti mengenai ucapanku kemarin. Satu hal yang tak ku percaya, papa pulang untuk menanyakan semua kebenaran ini pada Nenek.

"Yang dikatakan mama itu benar kak, kita gak tahu apa-apa tentang kejadian itu." Tante Rania membela diri. Wanita ular dengusku dalam hati.

"Sudah mas, kita bisa bicarain baik-baik semuanya gak perlu pake emosi" Mama mengusap tangan papa dengan pelan.

"Diam Kirana. Aku harus tahu semuanya sekarang juga. Aku udah ninggalin kerjaan hanya karena masalah ini. Jadi aku minta sekali lagi dengan sangat mohon, mama sama Rania jangan nutupin apa-apa dari aku. Jelasin sekarang juga!" jika papa sudah berbicara tegas seperti itu maka tak boleh ada yang mengelak.

"Cukup Bram. Mama udah bilang gak tau apa-apa jadi apa yang mau di jelasin" Oma membela diri lagi

"Kenapa sih pagi-pagi udah ribut." Kak Leo memasuki rumah dengan setelan olahraganya. Ia mendengus kesal melihat perdebatan yang sedang terjadi.

"Kok gak ada yang jawab. Kenapa?" tanyanya sekali lagi, merasa kesal karena tak ada yang menjawab pertanyaannya.

"Ini kak masa mama sama nenek di tuduh sebagai dalang kejadian bangkrutnya perusahaan om Bram sama tante Kirana, terus juga di tuduh nyabotase mobil om Bram yang buat om Bram kecelakaan" Adu Elina.

"Bener pa?" sekarang kak Leo yang bertanya terhadap papa. Papa hanya diam.

"Iya. Kemarin Ale bilang gitu ke mama Leo, Ale gak mungkin-kan bohong dan gak mungkin juga nuduh yang enggak-enggak ke nenek dan tante Rania. Makanya kita pengen tahu kebenarannya" Mama menjelaskan akar permasalahannya.

"Nenek gak pernah ngelakuin hal itu. Harus berapa kali sih nenek bilang. Nenek gak tau apa-apa." Nenek membela diri lagi.

"Nenek jangan bohong" Kataku membuat semua mata memandang ke arahku. Aku menyelesaikan jalanku di anak tangga terakhir. Setelah itu, berdiri mengahap Nenek. "Nenek-kan yang udah nyabotase mobil papa. Nenek suruh orang buat ngelakuin hal itu. Nenek juga yang udah nyuruh om Kevin buat kerja di perusahaan papa, nenek ngelakuin hal itu buat om Kevin ambil saham perusahaan papa secara diam-diam dan buat perusahaan papa hancur secara perlahan-lahan" Lanjutku.

"Jaga bicara kamu Ale. Kamu jangan nuduh sembarangan. Emangnya kamu punya bukti?" tante Rania menyeringai jahat.

Aku diam tak berkutik karena kebenarannya aku hanya mempunyai sedikit bukti saja. Aku mengetahui semua itu dari seseorang, dan seseorang yang menjadi saksi kejadian itu telah meninggal. Walaupun sebenarnya ada satu orang lagi yang bisa membuat bukti yang kupunya menjadi kuat, tetapi masalahnya aku tidak tahu beliau sekarang tinggal dimana.

"Tuh-kan Ale aja gak punya bukti. Berarti apa yang Ale katakan itu bohong" Elina menambahkan.

"Tapi aku gak bohong." Aku membela diri dan kenyataannya aku memang benar. Hanya saja aku belum bisa mengeluarkan bukti itu sekarang.

"Cukup Alesya. Lelucon macam apa ini. Kamu membuat saya harus ninggalin kerjaan saya hanya untuk kebohongan kamu" Kata Papa berapi-api.

"Tapi apa yang saya katakan benar" Aku membalas perkataan papa tak kalah berapi-api.

"Gara-gara kebohongan kamu saya harus ninggalin meeting yang menghasilkan uang berjuta-juta."

"Saya gak pernah meminta anda untuk pulang hanya karena masalah ini. Jadi jangan salahkan saya kalo anda kehilangan tender anda karena kepulangan anda kesini" Kataku dengan sengit, tak terima karena papa menyalahkanku atas kehilangan tendernya.

"Cukup pa. Ale emangnya kamu tau dari mana kalo oma sama tante rania adalah dalang dari kehancuran perusahaan papa dulu."

"Gak penting aku tau dari siapa ka. Karena sekali pun aku bicara kalian gak akan pernah percaya" Kataku tersulut emosi.

"Kalian itu terlalu terbuai sama kebohongan yang di ciptakan sama dua wanita ular ini" Lanjutku kemudian.

"Jaga bicara kamu Alesya. Tak sepantasnya kamu berbicara seperti itu terhadap orang yang lebih tua dari kamu" Papa memperingatiku.

"Sudah mas. Jangan salahin Alesya terus." Mama menenangkan papa.

Mama menatap lembut kepadaku. "Ale sayang, bilang sama mama kamu tau semuanya dari mana? Kamu gak mungkin nuduh oma sembarangan?" lanjut mama dengan bertanya kepadaku.

"Aku tau dari paman Yahya ma. Paman yahya yang bilang semuanya sama aku. Paman yahya juga ngasih buktinya sama aku sebelum aku berangkat ke jerman" Jawabku dengan jujur.

"Bisa-bisanya kamu percaya sama orang yang sudah mengkhianati keluarga kita Ale. Paman yahya itu yang sebenarnya ada di balik kejadian delapan tahu yang lalu" Tante Rania menyela ucapanku.

Aku menghadap mama. "Ma percaya-kan sama aku? Aku gak bohong ma. Paman yahya itu cuma jadi kambing hitam dari kejadian delapan tahun yang lalu. Dalang sebenarnya itu adalah nenek, tante Rania sama om kevin" aku berusaha meyakinkan mama dengan ucapanku.

"Sudah Alesya. Saya katakan ya sama kamu, justru kevin lah yang telah membantu mempertahankan perusahaan saya dan dia juga yang telah membuat perusahaan saya bangkit lagi. Jadi hentikan segala omong kosongmu itu."

"Nenek salah apa sayang sama kamu? Sampai-sampai kamu nyalahin nenek sama tante rania dan juga om kamu atas kejadian delapan tahun yang lalu." Aku memutar bola mata dengan malas mendengar pernyataan nenek.

Drrrt drrrtt drrt

Bunyi dari handphone papa menghentikan perdebatan kami. Papa merogoh saku celananya, mengambil ponsel kemudian mengusap layar depan handphonenya. Lalu, menempelkan handphone itu ditelinganya.

"Ya hallo."

"Kamu urus dulu, urusan saya belum selesai di sini."

"Oke baik, saya berangkat hari ini juga."

Papa menyelesaikan acara telponnya yang sepertinya berbicara dengan orang kepercayaannya atau sekertarisnya.

"Saya harus pergi sekarang, dan kamu Alesya hentikan segala omong kosongmu itu jangan pernah lagi berbicara yang tidak sesuai faktanya" Kemudian papa berlalu meninggalkan kita semua.

%%%%%

avataravatar
Next chapter