8 Ch.6 : 40329 MINUTES

Hari ke-enam berada di kota kelahiran. Aku harus bisa menyelesaikan masalahku sebelum satu bulan. Tak tahu mengapa aku rindu jerman. Aku rindu nenek dan kakek yang sedang berada di jerman. Aku juga merindukan teman-temanku disana. Rindu disaat kita pergi ke mall bersama, berbelanja, makan di cafetaria atau restoran dan diakhir pekan selalu berjalan-jalan mengelilingi Jerman.

Aku harus segera mencari cara untuk memulai semuanya. Semuanya tak boleh di tunda-tunda lagi. Agar aku bisa dengan cepat pulang ke Jerman. Tapi masalah utamanya adalah pada papa, papa sedang tidak ada di bandung mau tak mau aku harus menunggu papa pulang.

Aku merasa tak enak badan. Badanku mengigil, padahal ac tidak dinyalakan. Aku juga sudah menggunakan selimut. Mungkin ini akibat dari hujan-hujanan kemarin bersama Fahmi. Daya tahan tubuhku memang lemah sedari kecil, tapi apalah dayaku disaat rintik hujan itu sungguh sangat menggoda iman dan ternyata merobohkan dinding pertahananku.

Aku ingin minum tetapi persedian air minum di kamar tidak ada. Aku harus beranjak tapi kepalaku rasanya pusing sekali.

Aku mencoba berdiri. Berdiri pada apapun yang bisa kupegang untuk menopang beban badanku. Aku menyusuri tangga.Rumah terlihat masih sepi karena seluruhu penghuni di rumah ini pasti masih terlelap. Padahal biasanya mama sudah terbangun jika waktu menunjuka pukul setengah lima pagi.

Aku menyalakan lampu di ruang tengah yang dimatikan. Kepala semakin pusing. Aku harus cepat-cepat sampai ke dapur untuk mengambil air.

Aku mengambil gelas ketika setelah sampai rak yang berisi perabotan dapur.

"Kamu kenapa dek?" aku membalikan badan. Itu ternyata kak Leo. Kepalaku semakin pusing, tetapi aku mencoba menahannya. Lama-kelamaan semua dalam penglihatanku rasanya berputar-putar. Perlahan-lahan semuanya berubah menjadi gelap.

Bruuk

"Dek kamu kenapa? Dek bangun dek. Ma, mama adek pingsan ma"

"Ya ampun ade kamu kenapa? Sekarang kamu siapin mobil, cepet."

%%%%%

Aku mengerjapkan mataku. Obsidian coklatku menulusuri seluruh ruangan. Bau obata-obatan menyengat memenuhi penciumanku. Aku menghela nafas pelan. Sudah bisa ku tebak aku sedang berada di mana.

Mama menghampiriku mengambil air di atas nakas setelah aku mengatakan haus kemudian membantuku meminum cairan bening di dalam gelas tersebut. Kepalaku masih sedikit pusing. Tiba-tiba pintu ruangan dimana ku di rawat terbuka menampilkan sesosok wanita paruh baya beserta anak dan cucu kesayangannya.

Aku menetralkan keterkejutanku, sepersekian detik menormalkan kembali ekspresiku.

Mama menyalami wanita paruh baya itu. Lalu pintu terbuka kembali, kali ini kak Leo yang memasuki ruangan. Anak dari wanita paruh baya itu menatapku sinis. Tak lupa seringain kecil dari bibirnya.

"Hallo Ale, sudah lama ya kita gak ketemu. Aku kangen deh sama kamu." Aku muak dengan sapaan ular ini. Itu merupakan suara dari sepupuku. Usianya tak jauh beda denganku kami hanya terpaut beberapa bulan.

"Hai Elina sedang bertemu kembali denganmu." Aku tersenyum hangat padanya, padahal aku melakukan itu karena mama sedari tadi terus menatapku. Mama sepertinya mulai memahami situasi yang sedikit berbeda setelah kedatangan Ibu, adik ipar dan sepupunya tersebut.

"Hai keponakan tante yang cantik, cepet sembuh yah." Katanya sambil mengelus kepalaku pelan. Padahal hanya mencari perhatian mama saja. Aku membalas dengan senyum lembut kemudian menatapnya sinis kala wanita bermuka dua ini melepaskan tangannya dari kepalaku.

Aku menganggukan kepala karena sepertinya wanita ini menunggu responku. "Gak sok baik sama aku tante. Aku gak akan terpengaruh sama perhatian palsu tante" Ucapku tanpa melihatnya.

"Ale, gak oleh kaya gitu sayang" Mama menegurku. Tante Rania tersenyum kemenangan dan aku hanya menghela nafas pasrah.

"Aduh..aduh cucu nenek kenapa? Kok bisa sakit begini sih. Kamu jangan hujan-hujanan dong sayang. Badan kamu-kan dari dulu lemah." Aku menghela nafas mendengar penuturan wanita paruh baya yang kusebut nenek ini. Ternyata Ibu dan anak sama saja. Sama-sama bermuka dua.

"Aku gapapa kok nek" Jawabku dengan nada yang dipaksakan.

"Kamu udah makan sayang?" aku menggelengkan kepala.

"Makan dong sayang biar cepet sembuh." Aku menganggukan kepala menyetujui usulan wanita paruh baya itu.

"Mama yang suapin ya sayang." Aku mengiyakan ucapan mama. Sepertinya mama mengerti ketidaksukaan karena kedatangan tamu yang tak di undang ini.

Aku menelan bubur suapan mama. "Mama udah lama datang kesini?" itu mama yang bertanya. Bertanya terhadap nenek.

"Iya tadi mama datang ke rumah kamu, tapi ternyata gak ada siapa-siapa. Kata pembantu kamu, kamu pergi ke rumah karena sakit cucu kesayanganku dibawa kesini" Aku memutar bola mata dengan malas mendengar jawabannya.

"Ya udah mama, Rania sama Elina duduk dulu aja. Aku mau nyuapin dulu Ale." Mereka mengikuti instruksi mama. Aku hanya berusaha menahan kegeramanku karena tinggkah mereka. Mereka sebenarnya hanya pura-pura baik, mereka melakukan itu karena ingin menarik simpati mama.

"Kak kamu beliin makanan ya buat nenek, tante Rania sama Elina" Kak Leo menganggukan kepala. Kemudian berlalu meninggalkan ruangan menuju mini market untuk membeli makanan.

Pintu ruangan kembali terbuka, menampilkan wanita berjas putih tak lupa sneli yang menggantung di lehernya. Dokter itu tersenyum lembut kemudian meminta izin untuk memeriksaku. Mama sedikit menyingkir memberikan ruang kepada dokter tersebut untuk memeriksaku.

Setelah selesai dengan tugasnya dan memeberitahukan penjelasan mengenai kesehatanku, dokter wanita dengan nama Siska yang tergantung pada papan nama didadanya itu meninggalkan ruangan. Aku berseru senang karena akhirnya aku terbebas dari ruangan bau obat-obatan ini. Dokter Siska mengatakan aku boleh pulang ke rumah ketika cairan infus yang menutrisiku habis. Senyuman penuh kelegaan juga terpatri indah dibibir mama dan pintu ruangan kembali terbuka menampilkan kak Leo yang membawa makanan untuk Nenek, tante Rania dan juga Elina.

Mama membereskan semua barang-barang yang dibawa dari rumah dengan dibantu kak Leo . Mereka bertiga, tamu yang tak di undang itu tidak membantu sedikit pun. Padahal sudah menghabiskan makannya dan sekarang sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Aku melirik mereka sinis, mereka yanng mengetahui kelakuanku menatap kembali padaku dengan tak kalah sinis.

Aku harus mempunyai stok kesabaran yang sangat luar biasa untuk menghadapi sikap ular mereka.

Dua jam kemudian.

Setelah membereskan barang yang dibawa dari rumah serta menyelesaikan administrasi, kami meninggalkan rumah sakit. Satu yang yang mengganjal di hatiku dari tadi. Mengapa para tamu tak di undang ini tak pulang-pulang, mereka memaksa ikut pulang menuju rumah mama dengan alasan capek perjalanan jauh dari Bogor menuju Bandung. Aku tahu itu hanya akal-akalan mereka saja karena tadi aku mendengar tujuan mereka sebenarnya bukan untuk berkunjung ke rumah mama, tapi berkunjung ke rumah tante Kania adik bungsu dari papa.

%%%%%

avataravatar
Next chapter