5 Ch.3 : 40329 MINUTES

Menunggu adalah hal yang paling membosankan. Sudah tiga puluh menit aku menunnggu Resya tapi ia tak kunjung datang. Aku berinisiatif mengelilingi taman tempat aku akan bertemu dengan Resya.

Setelah hampir setengah taman yang aku kelilingi,aku melihat siluet Fahmi dengan seseorang. Tapi sepertinya aku mengenal siapa perempuan itu. Resya. Itu memang Resya, jadi disini rupanya. Resya telat menemuiku karena bertemu Fahmi. Sepertinya mereka terlihat dekat.

Disana Fahmi sedang mengusap pucuk kepala Resya dengan tangan kanannya,lalu tersenyum kemudian berlalu meninggalkan Resya. Apa mereka sedekat itu ya? Aku hanya bisa mengedikan bahu karena tak tahu hubungan mereka seperti apa.

Setelah selesai mengintip kegiatan mereka aku kembali ke tempat semula dimana aku menunggu Resya.

"Hai Ale" Suara sesorang dari belakang mengejutkanku. Aku membalikkan badan. Tersenyum lalu memeluk erat seseorang yang sudah kutunggu sejak empat puluh lima menit yang lalu.

"Gimana kabar kamu Ale?" Resya melepaskan pelukan kita berdua.

"Aku baik. Kamu gimana?"

"Aku juga baik"

Aku mendudukan bokongku kembali dikursi.

"Kenapa telat sih sya? Aku nungguin kamu tau dari tadi" Aku mencebikkan bibir

"Iya-iya maaf. Tadi aku ketemu pacar aku dulu, jadi ya telat deh. Maaf yah" Resya menunjukan puppy eyesnya. Aku hanya bisa menghela nafas kemudian mengangguk.

Berarti Fahmi pacarnya Resya dong ya. "Sya cari tempat makan yuk,laper nih" Aku merengek. Resya hanya tersenyum kemudian mengangguk.

"Ale tau gak? Kalo sebenernya kak leo itu udah punya pacar loh" Ale membuka pembicaraan setelah kami sampai disalah satu kedai dekat taman.

"Oh ya, bagus sih. Umur ka leo juga memumpuni kok tapi kenapa ga cerita sama aku ya?" Aku merasa seperti orang asing karena tak tahu apa yang sedang dialami kakakku sendiri.

"Ya gimana mau cerita kamunya aja ada di jerman. Diteleponin gak pernah diangkat ya wajar aja kalo kamu ga tau" Aku tahu Resya menenangkan perasaan bersalahku.

"Iya juga sih"

"Ale kamu masih inget ga sama temen masa kecil kamu?" Aku tersedak minumanku sendiri.

"Yang kemana-mana itu selalu ngintilin kamu. Disitu ada kamu berarti ada dia juga berlaku sebaliknya disitu ada dia berarti disitu juga ada kamu. Kalian itu ga pernah mau dipisahin" Lanjutnnya. Resya menceritakannya dengan sangat antusias. Binar matanya menyiratkan kebahagiaan yang mendalam.

"Siapa? Fahmi?" Aku menjawab seakan-akan tak tahu.

"Iya" Resya mengangguk dengan sangat antusias

"Kamu tau gak kalo Fahmi itu sekarang jadi berubah banget"

"Berubah kaya gimana maksudya?" Aku bertanya dengan semangat. Mengapa aku ingin tau sekali ya?

"Ya gitu, jadi cuek, pendiem beda banget pokoknya sama yang dulu. Kalo dulu-kan dia bawel banget,ceria, kamu pasti ngertilah maksud aku gimana?" Aku menganggukan kepala. Mengapa Resya tahu banget ya tentang Fahmi? Inget Ale Resya itu pacarnya Fahmi. Jadi pasti tahu segalanya tentang Fahmi.

%%%%%

Aku melangkahkan kakiku menuju rumah. Aku sengaja menolak Resya yang mengantarkanku pulang. Aku ingin menikmati kembali asrinya perumahan tempat tinggalku dulu.

"Kamu Alesya ya?" Suara wanita yang kuperkirakan usianya kepala empat itu mengagetkanku. Melihat dari penampilannya sepertinya beliau ibu-ibu sosialita.

"Iya. Tante siapa ya?" Wanita itu terkekeh.

"Kamu ga inget tante. Ini tante Shopia loh mamanya Fahmi" Aku mencoba mengingat-ingat lagi. Tapi kayanya iya, sepertinya aku familiar dengan muka tante ini. "Oh iya, hallo tante" Aku mengambil tangan kanannya lalu mengecupnya. Tanda penghormatanku padanya.

" Tante gimana kabarnya?" lanjutku basa-basi. Setelah aku melepaskan pelukannya.

"Tante baik kok. Kamu sehat-sehat aja kan? Gimana betah di Jerman?" Tanyanya antusias.

"Lumayan tante. Tante mau kemana?" Aku melihat tante Shopia membawa barang belanjaan sepertinya habis dari supermarket.

"Tante mau pulang, kamu mau pulang juga?"

"Iya tante. Emangnya tante tinggal lagi diperumahan ini? Aku pikir tante akan menetap di jakarta selamanya dan gak akan balik lagi kesini"

Tante Shopia tertawa kecil. "Awalnya sih iya, tante akan menetap disana tapi ternyata tante gak betah tinggal di Jakarta. Jadi ya udah deh kita pindah lagi ke Bandung"

"Kamu kayanya betah banget ya di Jerman sampe-sampe gak pulang selama delapan tahun"

"Iya gitu deh tante. Tante ko tahu aku gak pulang selama delapan tahun?" Aku menyerngit bingung.

"Kita sambil jalan aja yuk biar gak terlalu pegel berdiri" Aku tersenyum kemudian menganggukan kepala. Tanda aku menyetujui ajakannya.

"Kamu kan tahu tante sahabat dari kecil mama kamu. Walaupun tante tinggal di Jakarta tante gak pernah lost contact sama mama kamu. Tante juga tahu semua permasalahan kamu sama keluarga kamu. Tapi walaupun tante tahu tante gak bisa berbuat apa-apa soalnya tante kan gak berhak ikut campur. Mama kamu juga sering curhat sama tante tentang rasa bersalahnya sama kesedihannya karena kamu milih pergi dan tetap tinggal di Jerman"

"Mama kamu juga sering nangis karena kangen sama kamu. Mama kamu juga katanya suka bingung harus kaya gimana nyelesain masalah kalian. Kamu yang di telpon gak pernah di angkat di kabarin juga gak pernah di bales itu yang membuat mama kamu selalu di hantui rasa bersalah setiap harinnya" Mataku berkaca-kaca. Sepertinya aku menjadi anak yang tidak tahu terima kasih. Aku membuat mama merasa bersalah atas kejadian delapan tahun yang lalu. Aku telah membuat mama kecewa, sedih dan pasti khawatir karena aku tidak pernah memberi kabar sama sekali.

"Mama tersiksa karena aku ya tante?" setetes air mata jatuh dari mengenai pipikku.

Tante Shopia menggeleng. Kemudian memegang kedua bahuku. "Kamu jangan nyalahin diri kamu sendiri. Mama kamu kaya gitu karena ngerasa gak bisa jadi ibu yang baik buat kamu, gak bisa selalu ada buat kamu, gak bisa menjadi tempat bersandar kamu, gak bisa jadi pelita kamu disaat kamu berada dalam gelapnya dunia dan yang paling penting mama kamu gak tahu perkembangan kamu dari kecil ke beranjak remaja itu seperti apa"

"Tapi buat aku mama itu akan selalu jadi pelita buat aku tante walaupun mama gak berada di samping aku"

"Tante percaya sama kamu Ale tapi mama kamu punya sudut pandang yang berbeda." Tante shopia membawaku kedalam dekapannya. Aku menangis dalam bahunya. Setelah di rasa aku cukup tenang tante Shopia melepaskan pelukannya.

" Kalo dari sudut pandang tante sebenarnya masalah kalian itu gak rumit, kalian Cuma salah paham aja. Dan karena kamu yang memilih pergi lalu papa kamu ego-nya yang tinggi yang membuat masalah kalian itu gak selesai-selesai. Bukan tante mau ikut campur tapi alangkah baiknya kalo masalah kalian cepat selesai." Aku hanya menganggukan kepala.

Tak terasa kami berdua telah sampai didepan rumah tante Shopia. "Kamu mampir dulu yuk ke rumah tante, kebetulan om Satrio juga lagi ada di rumah. Fahmi juga kayanya ada di rumah deh"

"Lain kali aja deh tante, aku udah capek banget soalnya pengen istirahat" tolakku sambil tersenyum tak enak.

"Yah padahal tante tadi pagi bikin kue kesukaan kamu sama Fahmi loh." Raut wajahnya menunjukan kesedihan yang kentara.

"Besok aja deh tante. Aku janji besok bakal main kesini dan bakal main seharian sama tante. Gimana?" Aku mencoba meyakinkan tante Shopia.

"Ya udah deh. Bener yah besok harus dateng." Aku menganggukan kepala kemudian berpamitan dan tak lupa menitipkan salamku untuk om Satrio dan juga Fahmi.

%%%%%%%

Aku berjalan menuju dapur untuk mengambil air karena persediaan air putih di kamarku sepertinya telah habis. Kelihatannya rumah terlihat sepi, aku tak tahu mama, papa dan juga kak Leo ada dimana. Aku menuangkan air putih kedalam gelas. Kemudian beranjak meninggalkan dapur.

"Ehh neng. Neng teh dari mana aja kok bibi baru liat?" bi Sum menghampiriku kemudian menyimpan gelas kotor di wastafel.

"Aku tadi habis ketemu Resya bi terus ketemu tante Shopia di jalan jadi ya agak lama aku pulangnnya" Bi Sum menganggukan kepala.

"Tapi neng barusan dari mana? Ko dari belakang?" bi Sum menuangkan air panas ke dalam gelas yang telah berisi serbuk kopi.

"Dari taman bi abis nyari udara seger. Itu kopi buat siapa bi?"

"Ini buat papa neng. Ya udah atu ya bibi mau pamit dulu buat ngasih kopinya" Aku menganggukan kepala. Kemudian berjalan melewati meja makan untuk menuju kamarku. Tapi sebelum itu aku harus melewati ruang keluarga lalu melewati undakan tangga.

Aku melihat disana di ruang keluarga papa dan mama sedang bercengkrama ria. Aku melangkahkan kakiku dengan pandangan lurus tanpa menoleh ke arah mereka.

"Ale sayang sini gabung sama kita" Aku menundukan kepala terus berjalan tanpa mengindahkan ajakan mama barusan. Aku berlari sekuat tenaga untuk bisa cepat-cepat sampai di kamarku. Namun saat sampai di tengah-tengah tangga langkahku kakiku terhenti oleh sebuah intrupsi.

"JAWAB AJAKAN MAMA KAMU BERUSAN ALESYA. HORMATI DIA. DIA ITU IBU KANDUNG KAMU" Papa berteriak penuh emosi.

"Udah mas gapapa" Mama mencoba menenangkan papa. Aku tetap tak menggubris ucapan papa barusan tetap melanjutkan langkahku yang sempat terhenti.

Setelah sampai di atas aku menutup pintu dengan sangat keras. Menelenggamkan wajahku pada bantal mencoba meredam isak tangis. Aku semakin merasa bersalah terhadap mama.

Tok tok tok

Ketukan pintu membuatku menggeliat. Mau tak mau aku harus bangun dari tidur indahku karena ketukan pintu itu. Ku kucek mataku kemudian mengikat rambutku yang berantakan. Ternyata setelah menangis tadi aku ketiduran.

"Masuk mah" Kataku ketika tau siapa yang yang berkunjung kepadaku. Mama mengekoriku dari belakang.

"Maafin aku ya ma" Aku berucap setelah mendaratkan bokongku di atas kasur.

"Loh minta maaf kenapa?" mama menyerngit bingung.

"Mama udah maafin kamu kok kamu jangan ngerasa bersalah gitu. Papa tadi hanya emosi jadi sampe ngebentak kamu" Mama mengelus kepalaku.

"Bukan mah. Bukan itu" Aku memalingkan wajah kedepan menatap lurus kedepan tv yang tersedia di kamarku.

"Terus?"

"Mama tersiksa gara-gara aku. Mama pasti khawatir karena aku gak pernah ngabarin mama. Aku tau mama tersiksa karena terus di hantui rasa bersalah atas kejadian delapan tahun yang lalu. Aku merasa berdosa karena mama selalu sedih atas perbuatan aku yang memilih pergi dari sini tanpa mau nyelesain masalah aku." Air mataku kembali jatuh kala teringat ucapan tante Shopia tadi. Aku bisa merasakan betapa sedihnya mama karena perbuatanku.

Mama menggeleng lalu memelukku dari belakang. "Mama gapapa sayang. Kamu jangan merasa bersalah. Mama memang selalu di hantui rasa bersalah tapi mama ngerti kenapa kamu memiih pergi, yang udah terjadi biarin terjadi yang penting sekarang kamu ada di sini bersama mama." Mama mencium pipiku.

"Tapi aku gak pernah ngertiin perasaan mama. Aku main pergi gitu aja tanpa tau kalo mama ternyata tersiksa karena keputusan aku itu"

"Shhhttt...udah ya, mama udah maafin kamu kok. Senyum dong masa anak mama nangis sih, senyum coba" Aku mencoba tersenyum.

"Tuh-kan kalo senyum lebih cantik. Ya udah kamu tidur gih udah malem, mama juga mau tidur sekarang. Mimpi indah ya sayang" Mama mengecup dahiku setelah menyelimutiku kemudian menutup pintu meninggalkan kamarku.

Aku beranjak dari posisi terlentangku kemudian membuka laci mengambil buku diari berwarna biruku. Lalu mengambil bolpoin untuk menuliskan ceritaku di hari ketiga aku berada di kota kelahiranku.

Rasa bersalah membelenggu

Mengikis setiap kententraman yang terikat

Mengalir lembut tanpa celah

Mengais asa ketika lelah

Senyum terukir

Kala cahaya pelita kembali kepangkuan

Mengobsesi setiap kebahagiaan.

Bandung, 03 Februari

%%%%%%

Salam rindu,

StrataKata_

avataravatar
Next chapter