4 Ch.2 : 40329 MINUTES

Ku langkahkan kakiku menuju ke dalam rumah. Hari ini hari kedua dibulan ini. Aku belum melakukan apa-apa untuk menyelesaikan masalahku, bahkan tak tahu harus memulai menyelesaikannya dari apa dulu. Peluh mebanjiri tubuhku. Ternyata selelah ini olahraga di pagi hari, aku sangat jarang melakukannya selama di Jerman.

Mulai sekarang aku harus mengubah pola hidupku. Tak ingin mengalami kembali masa dimana badanku melar melebihi tubuh ideal yang seharusnya karena aku jarang berolahraga. Makan seenaknya tanpa di pilih-pilih terlebih dahulu, karena prinsipku dulu yang penting perut kenyang.

Aku mendudukkan tubuh di salah satu kursi di meja makan. Aku telah membersihkan diri dan mengganti pakaian olahragaku tadi.

Menyantap makanan didepanku yang sungguh menggoda iman. Rasanya sangat enak. Ini pasti masakan mama. Bahkan mengambil porsi yang tidak sedikit untuk menghilangkan rasa rindu terhadap masakan indonesia buatan mama. Padahal tadi aku berpikir untuk menjaga pola hidup sehat, ya salah satunya tidak memakan makan yang berminyak seperti sekarang.

"Mau apa kau pulang ke indonesia? Sudah tidak di biayai lagi untuk hidup di jerman bersama kakek dan nenek kesayanganmu itu? Atau mereka sudah bangkrut hingga mendeportasimu kembali kepada orang tuamu?" Suara tegas penuh emosi milik laki-laki hampir setengah abad itu mengejutkanku hingga mau tak mau aku yang sedang makan menyemburkan makanan yang sedang ku kunyah di dalam mulutku.

Aku mengambil air putih yanng tersedia di atas meja. Lalu meneguknya hingga tak bersisa.

Sempat tertegun sedikit mengapa ayah ada di rumah? Mama bilang ayah akan pulang menjadi tiga hari lagi karena masih banyak urusan yang belum usai.

"Jaga omongan anda. Saya kembali lagi kesini untuk menyelesaikan segala urusan yang memang belum selesai. Kalau bukan karena oma, saya gak akan pernah sudi untuk balik lagi ke kota orang yang tak pernah menganggap saya ada di dunia ini. Jadi saya tegaskan jangan pernah anda berbicara seenaknya tanpa tau kenyataanya seperti apa" Aku tersulut emosi.

"Jaga bicaramu anak muda. Saya merasa gagal menjadi orang tuamu. Apa begini caramu berbicara dengan orang yang lebih tua darimu? Tak pernah kau di ajarkan cara bersopan santun dan tata cara beretika yang baik dan benar? Percuma saja kakek dan nenekmu menyekolahkanmu di sekolah internasional jika hasilnya nol besar seperti ini" Laki-laki itu melemparkan koran yang tadi dibawanya tepat mengenai badanku.

Aku diam tertunduk.

Seharusnya kau yang mengajarkanku semua itu bukan kakek dan nenek ataupun sekolahku. Aku hanya bisa berteriak dalam hati.

"Katanya sih pintar, dapat nilai yang selalu tinggi tapi percuma saja tak tau cara berbicara yang baik dan benar" Lanjut laki-laki itu yang membuatku muak setengah mati.

Mataku berkaca-kaca mungkin dengan sekali kedip saja air mataku akan keluar. Tapi kutahan karena jika itu semua terjadi pasti papa akan merasa menang dariku.

Aku mendongakkan kepala. "Jangan pernah anda sangkut pautkan dimana saya bersekolah dan kepintaran saya dengan cara berbicara saya, itu adalah dua hal yang berbeda. Harusnya anda berpikir dan intropeksi diri terhadap diri anda sendiri. Percuma saja lulusan master di universitas bergengsi dunia tapi masih tak mengerti tentang hak asasi seseorang. Bahkan saya tak pernah habis pikir anda berniat menjual darah daging anda sendiri hanya karena harta dan kekuasaan" Ucapku penuh emosi, tapi setelah itu terucap sedikit rasa penyesalan hinggap dalam hatiku. Harusnya aku tak berbicara seperti itu pada ayahku sendiri.

Aku memilih meningalkan dapur takut aku semakin tak bisa mengontrol emosiku.

Laki-laki itu diam tak bergeming.

Matanya masih menyiratkan emosi tapi aku yakin ada sebuah penyesalan yang menghantuinya selama ini.

"Oh sekarang anak muda ini kembali menggali masalah masa lalu yang belum usai" Ucapannya membuatku berhenti di undakan tangga kedua dari bawah.

"Perlu aku ingatkan siapa posisimu di rumah ini anak muda atau perlu aku ingatkan siapa dirimu yang sebenarnya dulu. Sepertinya menyenangkan kembali main-main dengan masa lalu" Aku membalikan badan. Laki-laki yang ku sebut sebagai papa itu tersenyum miring.

"Anda tidak perlu melakukan itu. Jangan gunakan mulut kotormu itu hanya untuk bermonolog yang tak sesuai realitanya. Mulutmu itu terlalu penuh dengan kebohongan" Aku menyenderkan badan di pagar tangga. Kemudian bersedekap dada.

"Berani sekali kau berbicara realita yang sebenarnya kau saja tak mengerti akar permasalahannya. Sepertinya aku yang harus membalikkan kata-katamu mengenai introspeksi diri" Katanya sambil tertawa sumbang.

"Ya sudahlah terserah anda. Hanya buang-buang waktu saja berdebat dengan anda" Aku melanjutkan kembali langkah menuju kamarku yang sempat terhenti.

"Rupanya kau kalah berdebat ya anak muda" Ucapannya memancing kembali emosi yang berusaha ku redam mati-matian.

"Percaya diri sekali anda. Saya hanya tidak ingin menguras tenaga hanya karena perdebatan sia-sia dan perdebatan yang sangat tak berfaedah" Aku kembali lagi berjalan setelah membalas ucapan pria hampir setengah abad itu.

Laki-laki itu bertepuk tangan. "Benarkah tak berfaedah? Bukannya dirimu ingin menyelesaikan masalah masa lalu. Sekarang aku sedang membahas itu denganmu anak muda. Berpikir realistis dengan aku membahas ini denganmu aku membuka jalan yang sangat lebar untuk kau segera menyelesaikan masalahmu itu. Lalu tak perlu lama lagi kau akan kembali pada nenek dan kakek tercintamu itu" Ucapnya enteng.

"Pengusiran yang sangat halus. Aku tersanjung dengan rangkaian kosakata mu itu. Tapi mungkin harapanmu untuk aku segera meninggalkan rumah ini tidak akan terwujud dalam waktu dekat. Karena aku ingin tahu seberapa besar usahamu mengusirku dengan cara yang halus seperti tadi" Kali ini aku benar-benar melangkahkan kakiku menuju kamar. Meninggalkan pria tua yang sedang mencak-mencak tak jelas di bawah sana.

Aku tak habis pikir dengan pria paruh baya itu. Sebegitu tak inginnya dia melihatku di dunia ini. Sepertinya memikirkan pria yang ku sebut papa itu hanya akan membuat kepalaku pusing saja. Aku harus mencari udara yang segar untuk menjernihkan kembali pikiranku.

%%%%%%%%%

Aku termenung di sebuah rumah pohon. Rumah yang dulu diberikan ayah fahmi untuk kami berdua disaat ulang tahun fahmi yang ke sepuluh tahun. Aku tak pernah menyangka rumah pohon ini masih tetap berdiri kokoh disini walaupun banyak perubahan yang terjadi dengan bentuk rumah pohon yang dulu. Tapi dekorasi rumah pohon ini masih tetap sama.

Terdapat sebuah bingkai foto berisi satu anak laki-laki yang tersenyum lebar dengan anak perempuan berusia delapan tahun yang sedang cemberut. Lalu terdapat sebuah karpet berwarna biru muda yang tergelar di alas rumah pohon itu.

Aku kembali tersenyum mengingat kembali moment-moment yang aku dan fahmi lewatkan di masa kecil kami sebelum fahmi pergi tanpa alasan meninggalkanku.

Pluuk.

Seseorang menggetok kepalaku dengan sebuah botol.

Aku meringis kecil.

Dia memberikan botol itu kepadaku. Aku menyerngit bingung. Perasaan aku tidak sakit apa-apa. Mengapa dia memberikan botol obat kepadakku.

"Nih ambil" Dia menyodorkan botal obat itu kepadaku.

"Aku sedang tidak sakit. Untuk apa obat itu diberikan kepadaku?" Tanyaku heran.

"Kata siapa kamu sedang tidak sakit. Tadi kamu senyum-senyum sendiri seperti orang gila yang tersesat di tengah hutan sendirian. Jadi karena aku adalah orang baik maka dengan senang hati aku memberikan obat ini padamu dan tentunya secara gratis" Itu adalah kalimat terpanjang yang dia ucapkan setelah bertemu denganku.

"Kau menyebutku orang gila. Dasar teman tak tahu diri" Aku memukuli lengannya dengan brutal. Memberenggut kecil tak terima dengan ucapannya. "Aku tidak menyebutmu orang gila. Kamu saja yang terlalu baperan menanggapi" Dia memegang kedua tanganku lalu mengikatnya dengan sebuah tali yang berada tepat di sebelahnya.

Pengen rasanya aku bejek-bejek muka tanpa dosanya itu. Tapi tidak bisa karena tanganku di ikat.

"Biar kamu gak rese" Dia menyenderkan tubuhnya setelah mengikat lenganku.

"Oh iya aku ingin menagih hutangmu kemarin?" ucapnya tanpa melihat ke arahku.

Aku melepaskan ikatan tali yang tidak terlalu kuat itu.

Kemudian tanganku merogoh kantong saku di celana. Ternyata tidak ada uang dan aku lupa membawa dompetku. Aku merutuk diriku sendiri. Mengapa aku lupa sih membawa uang harusnya aku berjaga-jaga takutnya membutuhkan.

Aku Cuma bisa menghela nafas pasrah karena tak dapat melunasi hutangku pada fahmi secepatnya.

"Katanya anak pengusaha tapi bayar utang lima ribu aja ga bisa" Fahmi menyindirku.

Aku hanya memutar bola mataku dengan malas lalu mempraktikan ucapannya barusan tanpa suara hanya dengan gerakan mulut saja.

"Katanya anak dosen tapi uang ribu aja diperhitungkan banget" Aku mencebikkan bibir.

"Iyalah kamu pikir deh uang lima ribu itu kalo buat orang yang ga punya,berharga. Bukannya aku ga mau ikhlasin uang itu buat kamu tapi ada orang yang lebih membutuhkan uang lima ribu itu selain kamu. Akan lebih bermanfaat kalo uang itu aku sedekahin untuk orang yang memang benar-benar membutuhkan. Ya kan?" dia bertanya sambil menolehkan pandangannya dari arah depan ke arahku.

Aku menganggukan kepala. "Iya. Nanti aku bayar sama kamu"

"Kamu sering kesini?" Aku bertanya karena penasaran rumah pohon ini sangat bersih berarti ada orang yang sering mengunjungi rumah pohon ini dan membersihkannya.

"Lumayan"

"Kamu juga yang bersih-bersih di sini?"

"Hmm"

Aku diam. Tak tahu lagi harus berbicara apa.

"Kapan pulang ke indonesia?"

"Belum lama"

"Liburan?"

"Ngga. Cuma mau nyelesain masalah yang belum selesai. Abis itu balik lagi ke jerman"

"Berarti ga lama?" tanyanya lagi sambil menyilngkan kakinya.

"Ngga cuma sebulan. Mungkin"

"Oh iya kenapa kemarin kamu irit banget ngomong sama aku?"

"Kepo" Jawabnya samabilnya tersenyum.Aku memukul lengan bagian atas fahmi. "Issh jahat"

"Ngomong-ngomong sekarang kamu kuliah dimana? Jurusan apa?"

"Kepo"

"Oh iya tadi kamu bilang mau nyelesain masalah. Masalah apa emang?"

"Kepo" Aku mengulagi jawaban fahmi sebelumnya. Lalu tertunduk sedih karena fahmi mengingatkanku kembali dengan masalah itu.

"Aku ga tau masalah kamu apa. Tapi percaya sama ucapan aku sekarang bahwa kamu bisa nyelesain masalah itu" Aku menganggukan kepala.

Tiba-tiba sebuah daun berwarna hijau terbang dan hinggap di atas kepalaku.

"Kamu tau ga kenapa daun itu bisa jatuh dari pohonnya walaupun masih hijau?"

"Karena udah takdirnnya. Si daun ini hanya bisa hinggap sampai detik dimana ranting kecilnya terlepas dari ranting cabangnnya, mungkin." Aku menjawab dengan ragu.

"Kamu bener. Tapi kalo aku jadi daun kecil ini mungkin aku mau tetep ada di pohon sampai daunnya itu bener-bener kering. Walau akan banyak rintangan yang harus di hadapi, dari hujan deras,angin yang berhembus kencang sampai kekeringan. Karena sampai di saat kekeringan itu terjadi daun kecil ini akan merasakan bagaimana pahitnya hidup tanpa adanya air. Coba kamu ambil makna dari ucapan kamu itu sama ucapan aku barusan"

"Maknanya hidup itu ga akan selalu berjalan mulus. Akan selalu banyak cobaan dan rintangan sama kaya daun ini"

%%%%%%%

Ku rebahkan badanku di atas kasur kesayanganku. Obsidian coklatku menilik langit-langit kamar. Termenung. Aku masih bingung untuk myelesaikan semua masalahku dengan cara seperti apa. Apa aku harus bicara baik-baik dengan papa atau menunnggu waktu saja. Biarkan waktu yang menjawab karena sejatinya papa pasti muak dengan adanya aku di rumah ini lagi. Untuk sekarang menunggu waktu akan menjadi satu-satunya solusi.

"Dek,kaka masuk yah?" Kak Leo membuka pintu yang tak kukunci lalu menaruh nampan yanng berisi satu gelas susu.

"Kamu kenapa?" Kak leo mengusap rambut hitam legamku.

Aku menggelengkan kepala. "Gak papa ko ka" Aku tersenyum lembut meyakinkan.

"Dek jalan-jalan yuk mau ga? Soalnya kaka besok libur kuliah, kita lepas rindu di tempat favorit kita yuk"

"Aku gak bisa ka, maaf yah aku udah ada janji sama Resya besok" Aku menjawab ragu.

"Ya udah gapapa,lain kali aja ya" Obsidian itu menyiratkan kekecewaan. Aku tau kakak pasti sedih tapi aku benar-benar sudah ada janji dengan Resya. Tadi Resya menelpon ke rumah untuk menanyakan gaun yang ia pesan ke mama, hal tersebut di lakukan karena handphone mama gak aktif. Setelah tau aku yang mengangkat telepon resya mengajakku untuk bertemu karena kangen katanya dan aku pun hanya bisa mengiyakan.

Kak Leo meninggalkan kamarku setelah berpamitan padaku karena sudah ada janji dengan temannya.

Aku hanya bisa menghirup nafas kasar.

Terkadang hidup itu menyenangkan

Tapi tak akan pernah bermakna

Jika tak ada permasalahan

Lika-liku kehidupan

Menjadi warna kehidupan bentala

Menjadi saksi betapa pedihnya hidup di dunia

Bandung, 02 Februari

%%%%%

Salam rindu,

StrataKata_

avataravatar
Next chapter