3 Ch.1 : 40329 MINUTES

Semilir angin menerpa seluruh tubuhku. Obsidian coklatku menelusuri rumah bercat putih berlantai dua tepat dihadapanku. Tak pernah terpikirkan olehku akan menginjakkan kaki lagi dirumah yang telah menyimpan memori kelam dalam hidupku.

Ku hirup napas dalam-dalam. Ku angkat tangan kanan ku untuk menekan bel tepat disebelah kanan pintu. Senyum seseorang yang selalu menopang dalam setiap kesedihanku menyambut indah kedatanganku, meluluhlantahkan kegugupan sejak aku menginjakan kaki di depan rumah ini. Kehangatan pelukannya sedikit meluruhkan beban pikiranku. Kelembutanku tangannya menuntunku masuk menuju rumah yang telah ku tinggalkan sejak delapan tahun yang lalu.

"Gimana kabar neng teh?" tanya bi Sum sambil menngambil tas yang ku bawa.

"Baik bi. Bibi gimana?sehatkan?" aku bertanya balik.

"Baik atuh neng. Ieuh tingal, baik-baik aja kan bibi mah. Neng teh kemana aja naha baru pulang? Bibi teh meni kangen ka neng teh"

Aku tersenyum lembut ."Kenapa sepi bi? Yang lain pada kemana?" Aku mencoba mengalihkan pembicaraan. Tak ingin Bi Sum menyadarkanku tentang kejadian delapan tahun yang lalu. Ya, setidaknya tidak untuk sekarang.

"Pada pergi neng. Si Tuan sama nyonya lagi ka Surabaya, si Ujang kasep kan lagi kuliah"

Aku hanya menganggukan kepala. Ku langkahkan kakiku menuju persinggahkan ku merilekskan badan. Tentunya setelah aku berpamitan pada bi Sum. Netra coklatku menelusuri kamar dengan dominasi warna hijau dan putih. Tidak ada yang berubah sejak terakhir kali aku meninnggalkan kamar ini.

Kurebahkan tubuhku di atas kasur. Pikiranku menerawang, tertuju kepada Kakek dan Nenek yang tak tahu sedang melakukan apa dibagian timur tengah bumi ini. Satu hari sudah aku meninggalkan mereka, tapi rasa rindu telah menggelayuti hatiku. Ternyata sebesar ini dampak aku meninggalkan mereka, walaupun baru satu hari aku meninggalkannya. Sebersit rasa kecewa hinggap dalam hatiku. Mengapa tak sama dengan keadaan disaat aku meninggalkan rumah ini dulu? Huhhh, rasanya aku ingin waktu cepat berlalu.

Ku alihkan perhatian ku dengan membaca salah satu novel yang masih tersimpan rapi di rak buku.

"Neng hayu makan siang dulu" Ajak bi Sum setelah mengetuk pintu kamarku dua kali.

"Dibawah juga ada si Ujang kasep" Lanjut bi Sum.

"Iya bi, lima menit lagi aku ke bawah"

Ku hirup nafas ku dalam-dalam. Ku kuatkan tekadku untuk menyelesaikan segala sesuatu yang belum usai. Kata semangat menjadi motivasi ku untuk menyelesikan segala perkara yang terjadi di rumah ini. Karena ini baru awal dari kehidupanku akan seperti apa selanjutnya.

"Kamu apa kabar de?" Tanyanya ketika obsidianku dengan obsidiannya bertemu.

Aku tersenyum, lalu membalas pertanyaannya "Aku baik kak" Satu hal yang tak pernah ku duga sebelumnya. Dia memelekku. Pelukan yang aku rindukan, pelukan yang menenangkan hatiku, pelukan yang selalu menjadi kekuatan disaat semua orang tak lagi melihatku.

"Maaf. Kakak minta maaf dek,harusnya dulu kakak ada disaat kamu butuhin kakak. Maafin kakak yang gak bisa jaga kamu,kakak ga—"

"Semuanya udah terjadi kak, kakak gak perlu nyalahin diri kakak sendiri" Aku tersenyum lembut meyakinkannya bahwa apa yang terjadi tak perlu dipermasalahkan. Ya, karena masalahku dulu tak berkaitan dengannya.

"Ya udah,yuk kita makan. Kamu pasti laperkan"

Aku menganggukan kepala. Memang perutku sedari tadi meminta untuk di isi. Makan siang ini kami habiskan dengan obrolan ringan. Selingan canda tawa menghilangkan kecanggungan yang sempat terjadi. Dia, Leonardo Abraham- Kakakku yang akan selalu menjadi pelindung ku, menjadi pelita disaat kegelapanku, menjadi pelipur lara disetiap kegundahanku,dan menjadi penopang disetiap aku terjatuh.

"Mama pulang" Seseorang berteriak menghentikan obrolanku dan kak Leo. Mengapa mama sudah pulang? Bi Sum bilang mama akan pulang dua hari lagi. Apa yang harus aku lakukan. Aku tak siap bertemu mama. Mamah tak tahu tentang kepulanganku. Apa aku harus bersembunyi? Sepertinya tidak itu akan gagal, karena mama sudah berdiri tepat dihadapanku.

Mama melotot kaget melihat keadaanku.

Aku mengerdakan pandangan,mencoba menghilangkan rasa gugup yang mendera.

Mama menyimpan tas dipinggiran sofa. Kemudian Mama melipat tangan di dada. Matanya melihat terus ke arahku. Aku meremas jariku sendiri saking tak tahunya harus berbuat apa. "Sudah ingat rumah ternyata? Kemana saja selama delapan tahun ini. Sudah bosan hidup dengan kakek nenekmu. Apa sudah di usir hingga kau baru pulang lagi kesini?"

Aku diam tak menjawab pertanyaannya.

"Mengapa tidak menjawab pertanyaanku? Kau berubah menjadi tuli setelah pulang dari jerman. Apa lupa dengan kosakata bahasa indonesia setelah tinggal delapan tahun disana sehingga tak mengerti ucapanku? Ayo jawab Alesya Fergina Abraham" Ucapnya penuh ketegasan.

Aku kembali diam.

"Sepertinya dugaanku benar. ehmmm tapi ada sedikit kemungkinan jika kau berubah menjadi gadis polos yang lugu karena butuh belas kasihan orang-kan? Atau kembali karena tak punya biaya untuk menyambung hidup di negara orang? Atau bisa saja kau kembali karena membawa berita buruk yang akan menjatuhkan harga diri keluarga? Begitu?"

Aku kembali tak menjawab pertanyaannya. Mengulum senyum lembut. Kemudian memeluk mama melepas kerinduan yang teramat sangat membelenggu dihati. Memeluk sinar tujuan hidupku. Memeluk separuh jiwaku. Mama membalas pelukanku. Aku kembali teringat ucapan mama tadi. Kemudian tersenyum, dan menggelengkan kepala karena aku tahu ucapannya hanya sebatas kata-kata yang jengkel karena putri satu-satunya tak pulang-pulang setelah delapan tahun pergi meninggalkannya.

Tangisnya pecah disaat aku menceritakan kehidupanku di negeri dengan julukan negeri hitler itu. Berat sebenarnya hidup tanpa adanya mama disampingku. Mengingat aku dulu adalah anak yang sangat manja. Butuh waktu lebih dari setengah tahun untuk aku menghilangkan sifat manjaku. Walau sebenarnya sifat manjaku tak benar-benar hilang dan aku yakin sifat manjaku akan kembali seperti dulu disaat aku tinggal di kota Kembang ini.

"Gimana sekolah kamu disana?" Tanya mama saat kami menikmati waktu senja di balkon kamarku.

"Baik-baik aja kok ma,oh iya papa dimana kok aku gak liat papa dari tadi yah?"

Sedikit agak ragu menyakan hal ini. Mama menatapku, seakan tak percaya aku menanyakan hal tabu baginya, setelah kejadian yang terjadi delapan tahun yang lalu. Aku tersenyum meyakinkan, walau sebenarnya pikiranku menolak ucapan yang telah aku lontarkan. Ingin rasanya menarik kembali pertanyaanku. Setengah merasa bersalah melihat obsidian coklat yang tepat berada dihadapanku kembali meredup dan memancarkan penyesalan.

"oh iya , gimana kabar kakek dan nenek?" Mama mengalihkan pembicaraan. Aku tahu pasti mama akan melakukan hal ini. Sedikit kecewa sebenarnya. Tapi aku juga harus bersyukur karena jika mama menjawab pertanyaanku, aku tak tahu apa aku sanggup menerima semua ucapan yang akan mama berikan atau malah membuat aku harus melarikan diri kembali ke jerman tanpa menyelesaikan permasalahannya.

"Kakek dan Nenek baik ma" Aku menjawab pertanyaan mama.

"Bintangnya bagus yah, banyak lagi. Kalo seandainya papa di sini pasti sedang tersenyum" Mama berkata tanpa beban lalu memelukku. Mama benar pasti papa akan tersenyum. Aku kembali menatap langit.

Rembulan sampaikan salam rinduku pada papa,bilang padanya aku merindukan setiap momen dengannya. Bintang ku titip papa padamu, hadirkan kembali senyumannya walau hanya dengan melihatmu.

Semoga hariku disini menyenangkan.

%%%%%%

Kakiku mengayun indah dihalaman taman komplek. Sesekali tanganku mengusap peluh di dahi. Ku edarkan mataku melihat taman. Ternyata banyak perubahan yang terjadi disini. Ku dudukan tubuhku disalah satu bangku taman. Tiba-tiba sesuatu yang dingin menyentuh pipiku. Ku torehkan pandangan dan melihat siapa yang telah melakukan hal tersebut padaku.

Deg.

Mataku mengerjap. Seakan tak percaya seseorang yang sedang berdiri disampingku saat ini. Ku kucek mataku takutnya ini hanyalah sebuah halusinasi.

"Minum" Ucapnya singkat padat dan jelas.

"Gak haus. Makasih" Aku membalas ucapannya. Membesarkan ego, walau sebenarnya kerongkanganku sangat kering.

"Ya udah" Ucapnya singkat. Lalu membuka tutup botol minuman dingin itu,dan menghabiskannya dalam tiga kali teguk.

Aku cuma bisa melongo melihat aksi tersebut. What the hell, berarti secara tak langsung dia tak benar-benar menawariku minuman itu. Ingin rasanya aku pukul wajah yang sedikit tampan itu. Tak ada yang berubah setelah aku pergi darinya sembilan tahun yang lalu. Tidak, bukan aku yang meninggalkannya tapi dia. Iya, dia yang telah meninggalkanku.

Lalu tanpa ada satu kata pun, dia langsung duduk disampingku yang memang masih kosong keadannya, hal itu membuatku terkejut. Hello, di sini masih ada orang mas. Setidaknya bilang dong kalo mau duduk. Aku jadi kesal sendiri. Ya walaupun setiap orang boleh duduk di tempat ini sih.Aku tak memperdulikannya. Lalu bersikap bodo amat pada keadannnya.

"Kabar gimana?"

Aku celingukan melihat sekitar. Tak ada orang. Apa dia bertanya padaku atau bertanya pada rumput yang bergoyang.

"Kamu" Dia melihat kearahku. Aku hanya menggeram kesal,memangnya tak ada kata yang lebih panjang dari itu. Ingin rasanya aku membawa di ke taman kanak-kanak,biar dia belajar lagi kosakata yang baru. Ternyata dia hidup selama sembilan belas tahun cuman tahu beberapa kosakata. Apa dia tidak belajar bahasa selama sekolah? Tapi tunggu,sepertinya ada yang beda. Dulu dia tak berbicara padaku seirit ini, bahkan dia bisa lebih bawel dariku. Tapi mengapa dia jadi seperti ini? Oke,baiklah tak perlu dipikirkan.

Dia tersenyum tipis. "Baik" Aku menjawab pertanyaannya.

"Duluan" Aku berpamitan padanya.

"Bareng" Dia menyusul langkahku.

Tak ada perbincangan selama perjalanan kami. Aku sibuk melihat perubahan yang terjadi disekitar tempat tinggalku dan dia yang sibuk dengan pikirannya sendiri, tak tahu sedang memikirkan apa.

Aku menghirup nafas lalu membuangnya perlahan. Menikmati udara sejuk.

Mataku berbinar melihat seorang penjual arumanis. Kulangkahkan kakiku tak menunggu persetujuan seseorang yang sedang berjalan di sampingku. Tak kusangka dia mengikutiku. Memangnya aku ini anaknya apa kesini dikutin kesana diikutin, dumelku dalam hati.

"Mang arumanisnya satu ya"

Pedagang itu memberikan arumanis yang aku pesan. "Ini neng. Lima ribu ya neng"

Aku meraba celanaku. Tidak ada uang, bahkan dicelanaku tidak ada saku yang memungkinkan aku untuk membawa uang. Oh tidak! tamat riwayatku.

Aku mengutuk diriku sendiri yang cereboh.

"Ini mang uangnya" Seseorang disebelahku menyodorkan uang lima ribu rupiah kepada si penjual arumanis. "ini" Aku memberikan arumanis digenggamanku setelah berjarak lebih dari sepuluh meter dari si penjual.

"apa?" tanyaya sambil menautkan kedua alisnya.

"Ini ambil,arumanis ini punya kamu,bukan punya aku. soalnya kamu yang bayar" Ucapku agak berteriak karena banyak orang lalu aku tetap kukuh menyodorkan arumanis berwarna pink tersebut.

"Gak mau itu manis bikin diabetes" Ucapnya tanpa ekspresi.

Hello. Namanya juga arumanis ya pasti manis dong. Aku kembali mengutuk orang di hadapanku itu dalam hati.

Sepertinya aku harus mempunyai stok kesabaran yang luar biasa.

"Ya udah kalo kamu punya penyakit diabetes ga usah kamu makan. Tinggal kasih ke orang aja kok kayanya susah amat" Aku menjawabnya ucapannya dengan ketus karena terlalu kesal dengan ucapannya yang seakan meribetkan segala hal.

"Kasih aja sendiri. Lo punya tangan,mulut sama kaki-kan?"

Sumpah demi dewa neptunus pengen banget nyemplungin orang ini ke palung laut samudera atlantik.

"Tapi ini punya kamu. Jadi kamu aja yang ngasih. Oke?" Aku membalas ucapannya dengan nada yang sangat terpaksa di lembut-lembutkan.

"Gak usah. Itu buat kamu aja. Uang lima ribunya jadi hutang" Ucapnya lalu nyelonong pergi.

Apa katanya, jadi hutang? Kenapa dia perhitungan banget sih. Gak ikhlas nolongin atau emang gak mau bayarin.

"FAHMI KALO EMANG GAK IKHLAS NOLONGIN NIH AMBIL ARUMANISNYA" Aku berteriak saat jarak dia masih dalam jangkauan mataku. Dia berbalik lalu tersenyum tipis dan melambaikan tangan. Jatuh sudah harga diriku hanya karna uang lima ribu. Aku melangkahkan kakiku dengan menghentak-hentakannya karena kesal. Awas yah Fahmi tunggu pembalasanku.

Mataku menatap langit kamar. Aku sudah membersihkan diri. Mengingat kembali kejadian yang terjadi di taman sampai kepada kejadian aku meneriaki fahmi membuatku geleng-geleng kepala. Aku tahu walaupun sikapnya cuek bebek tapi aku melihat dimatanya tersirat sebuah kerinduan yang mendalam untukku. Entah rindu sebagai seorang teman masa kecil yang bertemu kembali atau lebih dari itu. Aku bertekad harus mengembalikan uang lima ribu rupiah itu secepatnya karena kalau tidak akan banyak hal diluar dugaan yang akan terjadi selanjutnya.

Aku bangun dari rebahanku. Berjalan menuju meja belajar . mengambil sebuah buku diari berwarna biru yang sengaja aku beli untuk menuliskan kisah satu bulanku di tanah kelahiran. Ku buka halaman pertama yang sudah terisi foto keluargaku. Lalu halaman kedua yang berisi fotoku dan fahmi di waktu kecil. Aku mengambil pena dan merangkai kata yang terjadi pada hari pertama aku berada di tanah kelahiran,lebih tepatnya hari pertama di bulan februari.

Tuhan memberi sebuah kesempatan

Untuk memperbaiki permasalahan yanng belum usai

Tangis dan rindu terluruh oleh sebuah dekapan

Memandu kalbu dalam kebahagiaan

Mensyukuri setiap keadaan

Menapaki setiap perjalanan

Senyum tipisnya membawa kekesalan

Tapi perlakuannya membawa kebahagiaan

Bandung,1 februari

%%%%%%

Salam rindu,

StrataKata_

avataravatar
Next chapter