222 Putuskanlah ketika Pikiranmu Tenang

Mata Dokter Norin Apus Brown kontan membelalak lebar. Dia mulai merasa deg-degan dengan apa yang akan dikatakan oleh Junny Belle di detik-detik berikutnya.

"Aku ingin mendonorkan jantungku untuk Gover. Aku juga ingin mendonorkan hatiku untuk si remaja perempuan, penderita kanker hati, yang kini berada dalam satu kamar rawat inap yang sama dengan Gover. Kau… Kau… Kau bisa membantuku mewujudkan satu permintaan terakhirku ini bukan?"

"Tidak! Tidak! Tidak! Tidak bisa! Aku tidak bisa membantumu untuk permintaanmu yang sesat itu, Jun! Kau memutuskan ini dalam keadaan mental dan pikiranmu yang tidak tenang, tidak seimbang sekarang. Kau masih dalam keadaan pikiran yang tertekan sehingga kau tidak bisa berpikir secara rasional, sehingga bisa muncul ide dan keputusan yang segila ini dalam benak pikiranmu."

"Aku sudah memikirkannya sejak lama, Dokter Norin… Hanya saja, aku tidak pernah bercerita kepada Gover, tidak pernah bercerita kepadamu selama ini… Aku tidak pernah…" Belum sempat Junny Belle menyelesaikan kalimatnya, Dokter Norin sudah terlebih dahulu menginterupsinya.

"Pulanglah dulu sana… Dalam keadaan ketika pikiranmu sudah tenang, ketika pikiranmu sudah tidak lagi bergejolak seperti sekarang ini, kita masih bisa sama-sama memikirkan solusi lain untuk kesembuhan Gover," kata Dokter Norin Apus Brown membuang pandangannya ke arah lain.

"Apakah akan ada solusi lain yang lebih baik?" desis Junny Belle dengan pandangan menerawang ke sinar matahari yang mulai menjulang tinggi dari ufuk timur.

"Aku sibuk… Aku akan kembali ke dalam… Gover biar saja aku yang jaga… Kau pulanglah dulu… Hari ini hari Minggu, jadi kau bisa beristirahat total di rumah…"

Dokter Norin Apus Brown berbalik badan dan langsung meninggalkan gadis muda itu di taman samping rumah sakit sendirian.

Menghela napas panjang, menyeka ekor matanya, dan sambil berusaha tersenyum cerah nan penuh semangat, Junny Belle berusaha berdiri dan berjalan pergi dari taman samping rumah sakit. Dokter Norin Apus Brown hanya bisa mengantar kepergian gadis muda cantik jelita itu dengan sinar mata lirih, penuh dengan keriap gundah dan gulana.

***

Waktu barusan menunjukkan pukul setengah sepuluh ketika Junny Belle sampai di apartemennya yang mungil nan ala kadarnya. Dia berencana akan kembali merebahkan dirinya di atas ranjangnya yang kecil sampai jam 12 lewat nanti. Saat jam 12 lewat nanti, barulah dia akan keluar lagi, membeli makan siang, dan membawa makan siang tersebut ke rumah sakit untuk disantap bersama-sama dengan sang adik lelaki.

Junny Belle mencari kunci dalam tas tangannya. Dia menghela napas panjang. Akhir-akhir ini dia semakin mudah lelah. Terkadang dia juga merasa mual dan pusing. Junny Belle menjadi takut sendiri dan bertanya-tanya dalam hati. Apakah ini berarti penyakitnya sudah bertambah parah?

Saat dia sedang mengacak-acak isi di dalam tas tangannya mencari kunci apartemennya, mendadak saja Junny Belle merasakan leher dan bahunya dicekal oleh seseorang dari belakang. Baru saja dia ingin berteriak, Junny Belle sudah merasakan sehelai sapu tangan yang sudah dilumuri dengan obat bius ditempelkan pada hidung dan mulutnya. Rasa alkohol yang teramat tajam mulai mendera saraf penciumannya. Dia tidak bisa melihat apa-apa lagi setelah itu. Langsung dunia Junny Belle tenggelam dalam kegelapan yang hitam pekat.

Ada tiga lelaki berpakaian serba hitam ingin membawa Junny Belle yang sudah tidak sadarkan diri ke suatu tempat. Mereka celingak-celinguk ke kanan dan ke kiri guna memastikan tak ada seorang pun yang menyaksikan perbuatan mereka. Memang benar saja… Di Minggu pagi begini, belum ada seorang penghuni apartemen pun yang bangun dan berlalu-lalang di sepanjang koridor.

"Ayo… Kita bawa dia ke tempat yang dibilang Bos…" kata si lelaki yang pertama.

"Dari pintu depan?" Si lelaki yang kedua merasa terkejut lahir batin.

"Tentu saja dari pintu belakang…" sahut si lelaki yang ketiga. "Pintu belakang langsung menuju ke sebuah lorong kecil yang jarang dilalui orang-orang, apalagi di Minggu-Minggu pagi begini."

Ketiga lelaki itu membopong tubuh Junny Belle yang sudah tidak sadarkan diri berlalu dari tempat tersebut.

Entah berapa lama Junny Belle terlelap dalam dunia kegelapannya. Yang jelas, begitu ia membuka mata, ia mendapati dirinya sudah terbaring di atas sebuah tempat tidur yang begitu mewah, di dalam sebuah kamar hotel yang juga begitu mewah, begitu asing, dan sama sekali tidak pernah dilihatnya sebelumnya.

Junny Belle kembali teringat pada apa yang terjadi di depan pintu apartemennya. Dia memeriksa kondisi dirinya sendiri. Pakaiannya masih lengkap dan tas tangannya masih ada di dekatnya, di atas nakas di samping tempat tidurnya. Begitu ia ingin bangun, rasa pening kembali mendera kepalanya. Sisa-sisa bau alkohol yang sungguh menyengat tadi masih membekas dalam saraf penciumannya.

Mendadak pintu kamar hotel terbuka. Masuklah Max Julius yang berpakaian santai. Dia mengenakan celana training dan baju kaus santai. Sepertinya ia habis berolahraga pagi atau barusan dari tempat fitness.

"Apa yang kaulakukan di sini? Kenapa… Kenapa… Kenapa kau bisa ada di sini, Max?" tanya Junny Belle merasa sedikit terkesiap. Dia memiliki sedikit banyak firasat bahwasanya Max Julius akan berbuat kasar terhadapnya lagi pagi ini.

"Ini adalah hotel The Pride. Ini adalah hotelku. Kenapa aku tidak boleh berada di sini?" tanya Max Julius dengan nada suara yang seketus dan sekasar biasanya.

"Kenapa kau membawaku ke sini?" tanya Junny Belle gugup.

Junny Belle beringsut semakin mundur dan semakin mundur karena Max Julius mulai naik ke atas ranjang dan bergerak semakin dekat dan semakin dekat.

"Ini adalah kamar hotel terbaik yang aku miliki, Junny Darling… Ada seorang lelaki yang membawa seorang perempuan ke kamar hotel terbaik seperti ini. Menurutmu, apa yang akan dilakukan oleh si lelaki yang membawa si perempuan ke kamar hotel terbaik seperti ini?"

Terlihat pandangan nakal Max Julius. Sambil menyeringai jahat, dia langsung melompat dan menerkam ke depan. Dalam sekejap, dia berhasil menindih tubuh Junny Belle. Junny Belle terperanjat kaget bukan main karena tangan Max Julius langsung menggerayangi sekujur tubuhnya tanpa memberinya aba-aba apa pun terlebih dahulu. Max Julius langsung mendaratkan ciuman paksa bertubi-tubi ke wajah, leher, bibir, dan bahkan garis rahang dan tulang selangka Junny Belle.

"Lepaskan aku, Max… Lepaskan aku… Kenapa kau mengasariku lagi? Apa salahku lagi, Max?" lirih Junny Belle mendorong tubuh Max Julius.

Max Julius melepaskan ciumannya. Tangannya berhenti menggerayangi tubuh sang gadis cantik jelita untuk sejenak.

"Aku melihatmu bersama-sama dengan si dokter jantung sombong itu tadi pagi. Apa yang kaulakukan bersamanya, Junny Darling?" tanya Max Julius sembari menyipitkan sepasang bola matanya dengan sorot mengerikan di sana.

"Ada sesuatu yang ingin kubicarakan dengannya… Sesuatu yang penting…"

avataravatar
Next chapter