16 Seperti berkelana!

Dexter menghidupkan batang rokoknya kembali. Dalam satu malam ini, dia sudah dua kali merokok. Padahal sebenarnya dia juga tidak suka merokok, tetapi ketika patah hati terdalam, rokok mampu menenangkannya.

 

Dexter mengepulkan asap rokoknya ke udara, mempermainkannya dengan membuat bentuk bulatan-bulatan yang perlahan hancur dan menyatu dengan udara lainnya.

 

Dexter memandang lekat-lekat pada gumpalan asap rokok yang diciptakannya. Seakan ingin mengatakan, 'Asap rokok ini tidak ada bedanya denganku, yang pada akhirnya perlahan hilang karena dianggap hanya bagaikan udara saja. Udara memang tidak terlihat, itulah mengapa banyak tidak menghargainya. walau tanpa sadar, kehadiranku juga pernah menyeka keringat di keningnya'. 

Dexter tersenyum miris. "Tetapi itu adalah kisah dulu. Sekarang telah berubah. Tidak akan ada aku lagi, seperti dulu lagi." Kemudian Dexter menyudahi rokoknya. Mematikan api dan membuang puntung rokok tersebut di tong sampah.

Dexter kembali menuju ranjang, bukan ingin mengecek kondisi Kaili lagi, tetapi hanya ingin mengambil bantal, agar bisa pindah tidur di sofa. Baginya, yang penting dia sudah memberikan pertolongan pertama, bagaimana kelanjutan kondisi wanita itu, seharusnya bukan menjadi urusannya lagi. 

 

Benar, dia adalah suaminya yang sah secara hukum dan agama, tetapi hubungan mereka terlalu unik jika dikatakan sebagai suami istri. Sebutan itu tidak ada ubahnya seperti  sebuah lelucon.

 

Dexter, bahkan tidak capek-capek melirik Kaili. Dia benar-benar hanya mengambil bantal. Namun, saat tangannya mengangkat bantal yang ada di samping Kaili, Dexter mendengar napas wanita itu yang masih saja berat, bahkan masih menggigil.

 

Dexter menautkan kedua alisnya. Otaknya berkata, 'sudah cukup, itu bukan urusanmu', namun nalurinya sebagai dokter memaksa Dexter ingin tahu lebih lanjut kondisi Kaili. Ya, benar... Hanya antara dokter dan pasien, gumamnya dan meletakkan kembali bantal itu ke posisi semula. 

 

Kembali Dexter mengecek suhu tubuh Kaili. Mengganti kain kompres yang ada di kening Kaili, dengan yang baru. Serta mengecek kecepatan jalan tetesan infus yang sedang berlangsung. 

"Sudah hampir mencapai suhu normal," gumamnya. Dexter pun bahkan sampai memedulikan suhu kamar itu. Mengurangkan sedikit suhunya agar tidak terlalu panas untuk seseorang yang demam. 

 

Kemudian Dexter membuka atasannya, dan naik ke ranjang. Kemeja yang dipakaikan tadi pada Kaili pun, kancingnya dilepas, hingga 5 bagian. Setelah itu, Dexter memeluknya, sambil tertidur. 

 

"Jangan menggigil lagi, tidurlah," bisiknya pelan. Entah Kaili mendengar itu atau tidak.

 

Inilah cara yang tadi terbesit dipikiran Dexter sebelumnya, membagi suhu tubuhnya pada Kaili, agar membuat wanita itu hangat. Badan Dexter yang hangat bersentuhan langsung dengan tubuh Kaili yang menggigil, akan mengurangi rasa kedinginan tersebut.

 

Dexter adalah pria normal, dengan bersentuhan tanpa hambatan seperti ini tentu saja membuat tubuhnya semakin panas. Ada juga bagian dari dalam dirinya yang berulah, membuatnya tersiksa. Tetapi tidak, Dexter murni hanya ingin memberikan kehangatan serta ketenangan bagi Kaili. 

 

Benar saja, perlahan suara erangan itu menghilang. Bibir Kaili tidak lagi bergetar, bahkan kini napasnya terdengar teratur, menandakan dia sudah tertidur dengan nyenyak. Sementara Dexter, kini harus merasa sangat terganggu. Mana mungkin dia bisa tidur dengan posisi seperti ini. Setiap kali di dekat Kaili, dia memang akan merasakan kontraksi yang seperti ini. Entah mengapa! 

 

Menjelang pagi, Dexter bangun dari tidur singkatnya. Karena sepanjang malam, Kaili berhasil menyiksanya. Tidur Kaili sangat buruk! Tidak pantas sebagai seorang wanita. Berkali-kali dia melakukan gerakan yang menguji pertahanan Dexter. Jika saja Kaili tidak sakit malam ini, mungkin Dexter sudah....

Dexter mengecek kondisi Kaili sekali lagi. Benar saja, sudah tidak demam. Kain kompres itu sudah dilepaskan sejak tadi. Dexter menghentikan pemasangan infus, karena wajah Kaili sudah terlihat merona, tidak pucat lagi. Setelah itu, dia mengambil bantal dan pergi tidur di sofa ruang tengah. Tidak lupa, dia mengancing baju Kaili kembali sebelum meninggalkan kamar.  

 

Di apartemen ini, Dexter hanya punya selimut satu, dan itu dipakai Kaili saat ini. Jadi dia tidur tanpa mengenakan selimut. Hanya bantal. 

 

Kicauan burung di pagi hari, serta mentari yang menembus celah jendela yang tidak ditutup rapat Dexter,  membangunkan Kaili. Saat membuka mata, yang dilihatnya pertama kali adalah lampu kristal yang berada di langit kamar. 

 

Kaili seakan memutar ingatannya, benar, ini bukan kamarnya, dia sudah menikah dan kini berada di rumah suaminya. Kaili melihat ke samping, tidak ditemukan sosok tubuh lain di sana. 

'Hmph...' Kaili membuang napas dengan kasar. Hubungan mereka serumit benang yang berantakan, mana mungkin akan tidur dalam satu ranjang, pikirnya. 

 

Saat akan turun dari tempat tidur, mata hijau yang mirip seperti sinar giok milik Kaili langsung menangkap alat-alat medis Dexter. Juga, ada seperangkat alat kompres, lengkap dengan kain dan airnya. Dia juga melihat botol inpus yang tergantung di atas tiang. Botol itu sudah kempes, menandakan sudah kosong. Serta ada juga termometer di samping baskom kecil alat kompres itu. 

 

Kaili menautkan kedua alisnya. Ingatan tentang semalam pun langsung mengisi pikirannya. Benar, dia ingat, saat itu dia sedang mandi dengan air dingin. Niatnya hanya ingin berendam, tetapi malah tertidur di sana. 

 

"Apakah Dexter yang mengangkatku? Apa semalam aku sakit? Pantas saja, kepalaku sedikit tidak nyaman. Hidungku seakan mau flu. Jika memang Dexter yang melakukan itu semua, terus di mana dia?" gumam Kaili. 

 

Kaili langsung turun dan berjalan ke ruang tamu. Di sana dia mendapati Dexter sedang tertidur. Dexter sangat tinggi. Tidur di sofa kecil seperti ini pasti membuatnya tidak nyaman. Apalagi tanpa adanya selimut, padahal udara masih sedikit sejuk. Kaili kembali ke kamar, mengambil selimut. Saat dia akan membungkus tubuh Dexter dengan selimut mata mereka berdua bertemu. Dexter sudah terbangun saat tangan Kaili masih di udara mengangkat selimut. 

Ekspresi Dexter sangat dingin, seakan ingin menyalahkan karena sudah diganggu dari tidurnya, yang masih hanya beberapa jam. Mendadak, Kaili seakan merasa seakan disiram dengan satu truk kepingan es, membuatnya membeku. Ruangan kecil itu terasa dingin. Tatapan mata Dexter yang demikian membuat siapa saja seakan merasa nyawanya sedang pergi berkelana. 

"Hemp... A-aku..."

 

Belum lagi Kaili selesai dengan perkataannya. Dexter sudah bangkit dengan pandangan yang sangat bermusuhan. Sorot matanya terus saja menatap Kaili dengan pandangan yang angkuh dan menghina. Tidak mau lama-lama berada di dekat Kaili, Dexter langsung berlalu tanpa sepatah kata,  melewati Kaili yang tangannya masih melayang di udara dengan selimut yang dipegang. 

 

"Dexter.... Aku-" Kaili mencoba memanggil Dexter. Dia ingin meluruskan kejadian tadi malam. Kaili takut, jika Dexter berpikir bahwa dirinya sengaja menyiksa diri sendiri dengan berendam air dingin di malam hari untuk mencari perhatian pria itu, tetapi jangankan berbalik memandangnya, Dexter bahkan tidak repot-repot untuk berhenti. Dia terus berjalan, seakan menganggap panggilan Kaili hanyalah udara. 

 

avataravatar
Next chapter