17 Satu Set Pakaian Kerja

Kaili memandang tubuh Dexter yang hilang ditelan pintu. Ingin sekali rasanya dia menangis kuat, tetapi takut jika tangisan itu dianggap hanya sebagai alat untuk mencari perhatian saja. 

 

Kaili pun sebenarnya sangat heran pada dirinya sendiri. Hatinya terlalu sensitif. Dexter tidak mencelakai atau menyiksanya, bahkan tidak mengatakan sesuatu yang menyinggung perasaannya, tetapi setiap kali, Kaili mendapatkan tatapan Dexter yang begitu dingin, entah mengapa hatinya terasa sangat perih. Meringis! Bahkan rasanya, seluruh tulang-tulangnya meremuk.

 

Yang ditahan-tahan, akhirnya mengalir juga. Air murni itu keluar dari sumbernya, membasahi tulang pipi. Kaili sempat terisak beberapa kali, sebelum akhirnya menarik napas dengan kuat dan melepaskannya dengan kasar. 

"Tidak, Kaili, kamu harus kuat! Hapus air matamu. Betapa malunya jika Dexter melihatmu menangis? Dia akan semakin menganggapmu bersandiwara," gumam Kaili pada dirinya sendiri. 

"Apakah aku harus menyiapkan pakaiannya untuk kerja? Apakah dia akan menggunakannya?" Kaili bertanya pada dirinya sendiri lagi. "Tapi memang seharusnya begitu, bukan? Mama sering menyiapkan baju untuk Papa pergi kerja, sebaiknya aku juga harus menyiapkan baju untuk Dexter, sebelum dia selesai mandi."

Cepat-cepat Kaili pergi ke kamar. Membuka lemari pakaian dan kemudian bingung sendiri. Dia sama sekali tidak tahu harus memilih baju untuk dipakai Dexter ke rumah sakit. Sedikit heran juga dengan tataan baju Dexter, terlalu banyak setelan jas yang seharusnya dipakai untuk kerja di kantoran. Apakah Dexter menggunakan setelan jas lengkap dengan rompi, sambil melakukan operasi bedah? Terbesit pertanyaan itu dalam benak Kaili, tanpa sadar dirinya tertawa cengengesan membayangkan hal itu. Hingga, suara langkah kaki yang semakin mendekat menghentikan aksinya. 

Kaili menutup mulutnya rapat-rapat, takut jika hal itu akan membuat Dexter semakin menoleh aneh padanya. Sungguh, saat ini, hal yang paling ingin dilakukannya adalah membuang segala hal yang bisa membuat Dexter menilai buruk dirinya. Kaili harus berusaha keras untuk itu. Berharap dengan begitu, penilaian Dexter padanya karena kejadian masa lalu bisa segera hilang. Biar bagaimanapun, mereka adalah suami istri, tidak peduli bagaimana hubungan itu terjadi, sudah semestinya sepasang suami istri harus menjalin hubungan yang baik. Mereka sudah terpilih menjadi partner dalam hidup, jadi tidak ada salahnya Kaili yang memulai untuk menunjukkan kesungguhannya, karena dialah akar dari masalah ini. Dia yang menghidupkan kebencian Dexter. 

Saat keluar dari kamar mandi, Dexter langsung menangkap basah Kaili, yang berada di depan lemari dengan setelan jas di tangannya. Melihat itu, wajah Dexter kembali menggelap.

"Kamu sudah selesai mandi? A-aku sudah mempersiapkan bajumu. Ini..." Kaili menunjuk ke arah tempat tidur, di ujungnya telah tersedia set baju kerjanya. 

Dexter melihat hal itu, kemudian beralih melihat jas yang ada di tangan Kaili dengan wajah muram.

Kaili menyadari pandangan Dexter. Cepat-cepat dia menjelaskan, "Ah, i-ini..." Kaili kesulitan mencari alasan. Dia tidak mampu menyelesaikan perkataannya.

Dexter berjalan menuju ke tempat Kaili berdiri. Semakin langkah Dexter mendekat, semakin juga jantung Kaili seakan ingin meledak. Dia tidak akan marah, kan? Apakah aku terlalu lancang? Kaili bertanya pada diri sendiri. 

Beberapa langkah sebelum Dexter tiba di dekatnya, Kaili langsung buka suara., "Maafkan aku... Aku tahu, ini sudah terlalu lancang. Aku membuka lemari pakaianmu tanpa izin, tetapi aku hanya ingin membantumu saja. Aku ingin menyiapkan baju untukmu kerja. Kamu tidak akan marah, bukan?"

Entah apa yang mendorong Kaili sehingga mampu berbicara dengan begitu lancar. Pun, kata yang diucapkannya sangat banyak.

Tepat saat Kaili selesai dengan perkataannya, Dexter sudah berdiri di depan matanya. Jarak mereka hanya satu siku tangan saja. "Menyiapkan pakaian kerja? Kau lupa atau sedang berhalusinasi, aku bukan seorang direktur perusahaan besar, juga bukan direktur di rumah sakit tempat aku bekerja. Menurutmu, aku memerlukan baju itu?"

Oh, gosh! Kaili terpaku. 

 

Bukankah tindakannya ini sama saja seperti penghinaan bagi Dexter? Pria itu menjadi seseorang yang hilang rasa percaya diri setelah Kaili berkali-kali menghinanya di masa lalu.

 

Kaili melakukan kesalahan besar lagi. Seharusnya dia tidak menyentuh yang tidak diperlukan. Betapa bodohnya, Kaili saat ini. Dalam hati, Kaili juga mengutuk dirinya.'

Setelah mengatakan demikian, Dexter tidak lagi menatap Kaili. Tanpa memedulikan baju yang sudah dipersiapkan oleh istrinya, Dexter malah mengambil baju yang baru dan pergi kembali ke kamar mandi untuk memakainya. 

Kaili merasa dunianya akan segera runtuh. Tubuhnya sudah tidak kuat berdiri lagi. Hati Kaili bergeter, dan tangannya pun ikut bergetar saat akan menyimpan kembali baju yang telah dipersiapkannya untuk Dexter.

Dia menempatkan posisinya seperti baju yang kini berada di tangannya. Baju itu seperti dirinya. Terabaikan dan terbuang. Walau sudah berusaha ditata rapi untuk menarik hati, tetap saja tidak akan terambil. Bahkan, tidak ada juga yang meliriknya. Malah, setiap yang melihatnya, menaruh tatapan yang begitu mengerikan, seakan menimpa semua beban kesalahan pada baju itu. Tidak ada bedanya dengan tatapan Dexter yang barusan. 

Hanya sesaat saja Kaili meratapi kesedihannya. Tekat mengajarkan agar dia harus lebih kuat lagi. Lebih tangguh dan jangan menyerah. Kaili pasti dapat memperbaiki segala yang sudah hancur, walau harus turut andil dalam menghancur isi hatinya sendiri. 

Sesungguhnya, selalu berpura-pura tegar, membuatnya seperti mengkhianati diri sendiri. Dan pada akhirnya, dialah yang bekerja sama dengan keadaan untuk membuat hatinya hancur lebur. 

Tidak berhenti. Benar, Kaili telah bertekad bahwa dia tidak akan berhenti hanya karena keadaan. Walau tadi Dexter tidak memilih baju yang telah dipersiapkan Kaili, tetapi itu tidak membuatnya menyerah. Bahkan sekarang dirinya berencana menyiapkan sarapan untuk Dexter. 

Tetapi yang jadi masalahnya adalah, Kaili tidak bisa memasak. Jangankan memasak, hanya sekadar membuat segelas susu saja, dia tidak mampu. Di rumah orang tuanya, segala keperluannya dipersiapkan oleh pelayan. Orang tuanya pun tidak capek-capek untuk memintanya melakukan sesuatu. Satu-satunya yang pernah diminta orang tuanya darinya adalah 'menikah'.

'Arrrggghh....' Kaili mengutuk dirinya yang begitu bodoh. 

"Apa yang harus aku siapkan?" Kaili memutar isi pikirannya. Setelah berkali-kali berpikir, dia pun memutuskan untuk membuat roti bakar dengan selai kacang. Ketepatan di sana Kaili melihat ada sebuah mesin Toaster dan beberapa jenis selai. 

Cepat-cepat Kaili menyiapkan sarapan tersebut. Tidak lupa juga, dia membuat segelas susu putih, mengikuti petunjuk dari kotak susu tersebut. Sebenarnya, Kaili juga ingin memasak beberapa sosis, untuk roti bakar itu. Tetapi, Kaili tidak tahu caranya menghidupkan kompor. Selain itu nyalinya ciut ketika membayangkan minyak panas itu akan meletup-letup melukai kulit halusnya.  

Saat roti bakar itu sudah dipersiapkan Kaili di atas meja makan, lengkap dengan beberapa jenis selai dan ada juga segelas susu, Dexter keluar dari kamar. 

"Hemm... Kau sarapan dulu. Aku sudah menyiapkan makanannya," tawar Kaili. 

avataravatar
Next chapter