4 Alergi terhadap Pria miskin

Kaili akhirnya memutuskan untuk tetap di ruang tamu, sebab pikirnya tidak ada pilihan lain. Dia sangat takut membuat Dexter marah, lebih tetapnya lagi memarahinya. Lebih tepatnya lagi, dia tidak ingin mendengar perkataan kasar Dexter yang akan dilontarkan padanya, hatinya sudah tidak kuat lagi jika itu terjadi.

 Di sofa Kaili merebahkan tubuhnya yang terasa sangat lelah, terutama di bagian hatinya, terlalu lelah menerima kenyataan yang terjadi hari ini.

"Semoga setelah tidur, semua akan baik-baik saja," gumam Kaili dan mencoba menutup mata.

 Baru saja Kaili akan menikmati mimpi yang mulai menunjukkan kehadirannya, suara Dexter yang dingin dan kejam mengisi pendengarannya. "Seorang Nona besar dari keluarga Goh ternyata mampu tidur dengan nyenyak hanya beralaskan sofa kecil!"

 Dan berhasil membuat Kaili terkesiap dengan cepat bangun dan duduk.

"Dexter... A-apa kau butuh sesuatu?" Walau sangat gugup, Kaili berhasil mengatakan hal itu.

 "Membutuhkan sesuatu... Kedengarannya memang menarik." Dexter mengangkat dagu Kaili. "Bukankah ini malam pertama kita? Seharusnya kita melakukan sesuatu yang menarik, bukan?"

 Mata Kaili membulat. Jantung pun berdetak kencang. "K-kau mau apa?" ucapnya cepat tanpa menghilangkan rasa gugup yang menderu.

 "Aku mau apa? Ha ha ha... Kaili – Kaili, lelucon apa yang sedang kau mainkan? Ingin mencoba berpura-pura menjadi wanita yang polos, begitu?" Sudut bibir Dexter terangkat ke atas. "Polos dengan melontarkan pernyataan yang mengandung makna 'godaan' begitu? Kau sedang menggodaku, bukan, dengan menanyakan hal yang aku butuh kan?"

 "Aku... Tidak." Dengan cepat Kaili menyangkal. Mana mungkin dia berani menggoda pria ini, sekali pun sudah sah jadi suaminya.

 "Siapa yang mempercayai mulut berbisamu ini, istri ke-sa-ya-ngan-ku?" Dexter mengambil posisi duduk di samping Kaili.

 "Tu-tuan Dexter..." Kaili meneguk air liurnya. "To-tolong jangan seperti ini." Kaili bersiap untuk mendorong dada Dexter, karena pria itu semakin membusungkan dadanya pada Kaili.

 "Jika bukan seperti ini, lalu kau mau yang seperti apa?" Dexter tersenyum kecil. Jika saja ini di masa lalu, Kaili mungkin akan merasa bahwa senyum Dexter memang terpahat khusus untuknya karena sebuah cinta, tapi kini semua sudah berbeda, pria yang ada di depannya ini sudah tidak mencintainya lagi, dan senyuman yang dipasangnya itu adalah bukti dari kebencian mendalam Dexter padanya. Ya, hanya senyum yang ironis.

 "A-aku belum mandi, apakah aku bisa meminjam kamar mandi?" Kaili memberanikan diri untuk berbicara.

 "Oh... Meminjam kamar mandi?" Lagi dan lagi suara Dexter terdengar mencemooh. Entah apa yang salah kali ini, batin Kaili.

 "Benar, mana mungkin kau bersedia tinggal di rumah kumuh, sempit dan jelek seperti ini. Tidak heran kau hanya mengatakan 'pinjam' untuk memakai kamar mandi kecilku. Jelas saja, bukankah ukuran apartemenku ini hanya sebesar kamar mandimu?" 

"Huh... Aku-"

Dexter memegang rahang Kaili, tatapan matanya menggelap. "Tidak peduli apa yang dirancang pikiran pendekmu itu, atau bagaimana kau berubah untuk terlepas dariku, selama perceraian belum terjadi, selama kau masih berstatus menjadi istri Dexter Chiro, kau tidak akan bisa melepaskan diri dari genggamku. Ingat itu! Tidak peduli seberapa besar usahamu untuk pergi, aku tegaskan padamu, itu hanya akan membuang tenagamu saja. Sebaiknya buang jauh-jauh semua yang kau rancang!"

 "Aku... Aku tidak. Tidak meracang apa pun juga," jawab Kaili sambil memalingkan wajahnya ke samping. Tampak jelas dia sangat enggan menatap Dexter. Hal itu semakin membuat Dexter murka.

 Wanita ini tidak berani menatapku saat berbicara, apa aku sangat menjijikkan? Pikir Dexter.

 Menerka hal itu Dexter melepaskan Kaili dengan kasar. Mata elangnya masih saja memancarkan kobaran amarah yang jelas. Dengan dingin ia berkata, "Sebaiknya kau ingat baik-baik yang aku katakan tadi. Kau telah menjadi milikku, maka tidak akan ada tempat lagi untukmu pergi!"

 

Saat Dexter bersiap pergi, Kaili memanggilnya, "Dexter..."

 Walau Dexter tidak berbalik, tetapi panggilan Kaili membuatnya menghentikan langkahnya. "Bolehkah aku bertanya padamu?" tambah Kaili, setelah berkali-kali meneguk air liur dan menanam keberanian di hati.

 Dexter masih tidak berbalik, tetapi Kaili bisa melihat dari samping bahwa lelaki itu bermata elang itu memicingkan mata. "Apakah kau masih mencintaiku?"

 Demi Tuhan, rasanya Kaili lebih baik mati saja. Ia Ingin menggali lubang dan masuk ke dalam untuk menguburkan wajahnya setelah mengatakan hal yang tidak tahu malu seperti itu. Entah dari mana datangnya keberanian itu.

 Dexter juga terpaku mendengar perkataan Kaili, hal yang sulit dan tidak berani dipikirkan sebelumnya. Dexter pun berbalik melihat ke arah Kaili. Kini ekspresinya semakin bertambah menyeramkan dari yang sebelumnya.

 Tentu saja, kau sudah mengatakan hal yang paling tidak ingin didengarnya, Kaili, mampuslah kau, tamat sudah masamu di bumi ini, gumam Kaili.

 Perlahan tapi pasti, Dexter semakin mendekat ke arah Kaili. Perasaan Kaili sangat tidak nyaman, jantungnya tampaknya siap untuk berhenti. Langkah Dexter bagikan bom waktu yang siapa meledak, yang semakin mendekat semakin membuat Kaili tidak tahan mengontrol hatinya. Melihat tampang Dexter yang menggelap, dia benar-benar takut.

 "Hemp... Ka-kamu..." Kaili mencoba membuka suara, tetapi semua perkataan yang ingin dilontarkan malah hanya tertinggal di kerongkongan saja.

 "Tolong, ulang pertanyaanmu yang tadi?" ucap Dexter dengan senyuman senyum kelicikan. Kaili tahu artinya jika sudah seperti ini, yang ia dapatkan hanya akan cemoohan saja. 

"..." Kaili diam. Dia pun sangat bingung akan menjawab apa. 

"Apakah aku masih mencintaimu, begitu?" Senyuman Dexter semakin melebar. Menunjukkan giginya yang rata dan putih. Senyumnya terlihat sangat mengejek.

"Memangnya kenapa kalau aku masih mencintaimu? Apakah kau akan berbalik dan mencintaiku? Lalu, setelah itu kita hidup layaknya suami istri yang romantis hingga maut memisahkan, seperti janji pernikahan yang kau sebutkan di altar, tadi?"

Kaili mendongakkan matanya menatap dengan berani ke dalam mata Dexter. Pria ini ... Sejak kapan berubah menjadi begitu kejam? Siapa pun yang tidak tuli, dapat menyakini yang Dexter katakan tadi adalah cemoohan. Itu penghinaan.

Ingin sekali Kaili menamparnya, melemparkan sebagian rasa sakit yang bersarang semakin banyak di dadanya setelah ungkapan terakhir Dexter. Tetapi, dia sadar, bukankah ini memang yang pantas untuknya? Jadi harus di terima, bukan?

"Kenapa? Kau mendadak menjadi bisu setelah menikah denganku, apa terlalu tidak nyaman berdampingan dengan seorang lelaki kecil dan tidak memiliki kekuasaan serta harta melimpah seperti aku? Tunggu… kalau aku tidak salah ingat, obrolan kita yang terakhir adalah tentang betapa kau alergi jika dekat-dekat dengan pria tidak mampu sepertiku, benar bukan? Kau tidak melupakan itu, kan istri tersayangku?"

 "…." Kaili terdiam. Benar, semua itu keluar dari mulutnya, tetapi saat itu keadaanlah yang memaksanya. Dia sengaja mengatakan demikian agar Dexter menjauh dan membencinya, karena dia sendiri pun sulit keluar dari malasah perjodohon yang diatur Papanya. Kaili tidak ingin menyakiti Dexter, lebih tidak ingin lagi menarik pria itu dalam masalahnya. Kaili hapal betul bagaimana sikap ayahnya. Dexter akan benar-benar hancur jika saat itu mereka nekat untuk bersama.

avataravatar
Next chapter