Kami memang pernah melewati badai, tetapi saat itu perisai kami masih utuh. Lalu, bagaimana dengan sekarang?
Shandy mengeratkan rangkulannya pada Fenly ketika mereka tiba di rumah. Sesaat setelah Shandy mengalihakan pandangannya pada Fenly yang terlihat enggan untuk masuk ke dalam rumah, matanya langsung tertuju pada kaca jendela yang pecah berantakan karena lemparan batu. Shandy menutup mata Fenly dan segera membawa adiknya itu menuju kamar. Perlahan, Shandy membawa Fenly untuk berbaring ditempat tidurnya.
"Hey.. Udah gapapa, kan udah ada kakak." Ucap Shandy sambil mengusap rambut Fenly, dikarenakan Fenly tampak cemas.
"Sekarang Fen istirahat, ya. Ngga usah mikirin aneh-aneh, ada kakak disini." Fenly mengangguk dan perlahan memejamkan matanya. Mungkin, adiknya itu juga kelelahan karena berjalan kaki dari rumah menuju sekolahnya.
"Tuhan, kenapa harus Fenly? Mereka bener-bener kembali dan sekali lagi jadikan Fenly sebagai target. Shandy ngga mau salahkan papa. Tapi, kalau aja papa ngga pernah usut kasus mafia dan perdagangan manusia itu, hidup kita akan baik-baik aja.. Semua ini udah kejadian, mau gimana lagi? Sekarang tugasku hanya jagain Fenly, dan jangan sampai mereka sakitin Fenly lagi. Maaf ya, Fen.. Seharusnya, kakak ngga pernah biarin Fen sendirian di rumah. Maafin kakak.." Gumam Shandy sambil mengusap puncak kepala Fenly.
Setelah yakin Fenly tidur, Shandy berjalan menuju kamar miliknya untuk mengganti pakaian dan langsung pergi ke dapur untuk memasak makan siang. Sejujurnya, Shandy tidak begitu pandai memasak, tetapi jika hanya sekedar masakan sederhana, ia bisa melakukannya. Cukup lama Shandy menyibukkan diri dengan urusan dapur, kini ia beralih pada pecahan kaca jendela yang masih berserakan di lantai. Dengan hati-hati, ia membersihkan pecahan kaca itu dan membuang batu yang menjadi alat untuk melempar kaca jendela rumah mereka.
"Sementara di tutup tirai aja deh. Nanti kalau papa pulang, gue pasangin papan sambil nunggu pesen jendela baru." Gumam Shandy sambil menutup tirai jendela itu.
"KAKAK!!!" Mendengar teriakan Fenly, Shandy langsung tersentak dan berlari menuju kamar adiknya, takut jika terjadi sesuatu pada Fenly. Baru saja pintu kamar terbuka, tubuh Shandy langsung di dekap erat oleh sang pemilik kamar.
"Hey.. Tenang.. Tenang, Fen.. Kakak disini! Kenapa? Ada apa, hem?"
"Jangan tinggalin Fen, kak.. Fen takut mereka dateng."
"Ngga akan ada yang dateng, Fen. Udah ya, tenang.. Sekarang makan dulu, terus istirahat lagi."
"Hey.. Dengerin kakak! Fen.. Fenly.. Denger kakak.. Ngga ada apa-apa, ngga akan ada yang dateng kalau kakak ada sama Fenly. Coba tenangin diri dulu.." Titah Shandy karena tak mendapat respon positif dari Fenly. Perlahan, Fenly mulai tenang dan melepas pelukannya. Trauma yang Fenly alami memang beberapa kali menyulitkan hidup Fenly. Tetapi, Shandy dan kedua orang tuanya berusaha sebisa mungkin untuk menghilangkan trauma tersebut.
Shandy meletakkan beberapa lauk sederhana yang ia buat di piring Fenly. Sesekali, Shandy tampak memperhatikan gerak-gerik adiknya. Tangan adiknya itu tampak bergetar acak, sehingga sedikit kesulitan untuk memegang alat makan. Shandy meraih tangan Fenly dan menatap adiknya itu dengan tatapan setenang mungkin.
"Gapapa.. Semua bakal baik-baik aja. Ada kak Shandy yang terus bareng sama Fen. Jadi, semua pasti aman, oke? Sekarang makan, jangan mikir apa-apa lagi." Fenly mengangguk patuh dan perlahan memakan makanan miliknya meski sedikit kesulihan. Shandy menghembuskan napas berat. Salah satu tangannya, ia gunakan untuk mengusap puncak kepala Fenly.
Meski berlangsung dengan cukup lama, akhirnya Fenly berhasil menghabiskan makanannya. Lalu, Shandy menyodorkan beberapa pil obat pada. Dengan tangan yang masih gemetar, Fenly meraih obat tersebut dan langsung meminumnya. Fenly memang mengkonsumsi obat penenang dengan resep dokter, obat itu boleh dikonsumsi jika keadaannya benar-benar tidak baik. Karena hal itulah, Shandy yang membawa obat itu supaya Fenly tidak begitu bergantung pada obat penenang.
"Biar kakak yang beresin. Fen ke kamar aja, istirahat." Fenly kembali mengangguk dan langsung berjalan menuju kamar miliknya.
Sepeninggal Fenly ke kamar, Shandy merapikan meja makan dan mencuci piring yang tadi mereka gunakan. Baru saja Shandy merebahkan tubuhnya di sofa, bel rumahnya berbunyi. Dengan langkah malas, Shandy membuka pintu rumahnya dan mempersilahkan tamunya untuk masuk.
"Jendela lo emang modelnya gitu atau gimana sih, Shan?" Tanya Gilang yang kini duduk dihadapan Shandy bersama dengan sepupunya.
"Konsep baru, menyatu dengan alam." Jawab Shandy asal, sambil menyandarkan tubuhnya pada sandaran sofa.
"Serius gue. Itu yang bikin Fenly ke sekolah tadi? Keluarga lo ada masalah sih? Kok serem banget."
"Pinjol. Bantu lunasin dong."
"Gue serius, setan!" Umpat Gilang sambil melempar bantal sofa kearah Shandy. Sedangkan, yang mendapatkan lemparan bantal hanya tertawa sekilas.
"Hidup jangan serius-serius, nanti cepet tua! Eh.. Ini anak lo, Lang? Sama siapa? Jadi, lo nikah sama guling lo itu?" Tanya Shandy bertubi-tubi sambil menunjuk seseorang yang sedari tadi hanya duduk diam disisi Gilang.
"Sepupu gue ini. Kalaupun gue punya anak, gak mungkin udah sebesar dia lah! Gila ya, lo! Kenalin, cill.. Ini temen gue satu-satunya dan orang paling brengsek yang pernah gue kenal." Ucap Gilang memperkenalkan Shandy pada sepupunya.
"Gue, Shandy.." Ujar Shandy sambil mengulurkan tangannya pada pemuda tadi.
"Fajri, bang.."
"Shan.. Lo kalau butuh bantuan atau ada masalah, bisa bilang ke gue! Apa kejadian dibalik rusaknya jendela itu?" Tanya Gilang dengan raut wajah yang mulai terlihat serius.
"Gue yakin, ini ada kaitannya dengan kasus yang pernah papa tangani. Selain itu, papa juga punya data penting tentang dunia mafia yang jadi incaran banyak mafia. Papa gak berani kasih data itu ke siapapun, karena rekan kerjanya belum tentu bisa dipercaya. Sebab itu, banyak kelompok mafia yang berusaha buat ambil data itu dari papa dan menjadikan Fenly sebagai target. Kalau lo tanya alasannya, gue gak tau. Mungkin, karena Fenly adalah orang yang paling mudah untuk mereka serang."
"Tentang jendela itu.. Ya, tadi pagi mereka dateng, terus pecahin kaca. Mereka juga yang jadi alasan Fenly pergi ke sekolah kita. Udah, kan?" Jelas Shandy yang kini memejamkan matanya.
"Kenapa data itu ngga dikasih aja ke mereka? Kalau kayak gitu, masalah bisa cepet selesai."
"Kalau data itu ngga boleh ada di tangan mereka, itu pasti data beneran penting dan bahaya kalau jatuh ke orang yang salah. Contohnya, ya kelompok mafia itu." Bukan Shandy, tetapi Fajri yang menjawab pertanyaan Gilang.
"Ternyata, selain temenan sama orang modelan kayak monyet, gue juga temenan sama orang yang gak punya otak. Sepupu lo aja, paham. Lo kemarin naik kelas karena give away atau gimana sih, Lang?" Ledek Shandy yang membuat Gilang mendengus kesal.
"Mau di tutup aja, Shan? Kalau iya, kita bantu.. Bahaya juga kalau dibiarin ke buka gitu." Ucap Gilang yang mengalihkan pembicaraan.
"Boleh, deh. Tadi, niatnya gue juga mau tutup pakai papan. Tapi, nunggu papa pulang, karena gak mungkin pasang sendiri. Kalau lo berdua mau bantu, ya boleh. Asal, jangan berisik! Fenly lagi istirahat."
Akhirnya, Shandy memutuskan untuk memasang papan di jendela, dibantu dengan Gilang dan Fajri. Sebisa mungkin, mereka meminimalisir suara supaya tidak menganggu Fenly yang tengah istirahat. Persahabatan Gilang dan Shandy memang terkesan saling melempar ledekan dan umpatan. Tetapi, percayalah, persahabatan mereka adalah persahabatan yang selalu membuat iri banyak orang.
☆☆☆
Malam semakin larut, bulan dan bintang tampak menggantung bebas di langit. Fenly memperhatikan jalanan di depan rumah miliknya, menunggu sang papa yang belum juga pulang. Sesaat kemudian, bukan kehadiran sang papa yang muncul dihadapannya, melainkan seorang kurir paket.
Fenly berniat memanggil Shandy atau mamanya untuk menerima paket tadi. Tetapi, sepertinya kedua manusia itu tengah sibuk dengan urusannya masing-masing. Shandy yang tengah belajar untuk mempersiapkan ujian kelulusan, dan sang mama yang tampak sibuk dengan setumpuk berkas-berkas diatas meja kerjanya. Fenly memberanikan dirinya untuk menerima paket tersebut.
"Paket buat siapa, Pak?" Tanya Fenly.
"Ini benar kediaman keluarga Adhitama?" Tanya kurir itu, sambil meletakkan koper dengan ukuran yang cukup besar.
"Iya, benar. Paket buat papa?" Tanya Fenly lagi. Kurir itu hanya mengangguk dan meminta Fenly untuk memberikan tanda tangan di surat tanda terima paket. Setelah kurir itu pergi, Fenly memperhatikan koper yang berada dihadapannya.
"Papa beli apa? Kok besar banget." Gumamnya sambil memperhatikan koper tersebut. Saat Fenly menarik koper tadi, Fenly menemukan sebuah cincin yang cukup ia kenal, keluar dari dalam koper.
"Cincin papa? Kok bisa ada di dalam koper ini?"
Aroma anyir yang cukup kuat, keluar dari dalam koper yang sedikit terbuka. Fenly sedikit melangkah mundur karena terganggu dengan aroma yang keluar dari dalam koper. Fenly semakin bingung, ketika koper tersebut mengeluarkan cairan kental berwarna merah pekat yang membuat Fenly gemetar ketakutan.
Sementara di dalam rumah, Shandy baru saja menyelesaikan kegiatan belajarnya. Dan kini, mencari keberadaan Fenly yang entah berada dimana. Shandy mencari Fenly di kamar hingga ke dapur, tetapi tidak berhasil menemukan adiknya.
"PAPA!!!" Teriakan Fenly dari arah halaman rumah, membuat Shandy langsung menoleh dan berlari cepat menuju pintu keluar. Hal itu juga dilakukan oleh sang mama. Nyonya Adhitama termenung beberapa detik, ketika melihat Fenly terduduk di depan koper yang terbuka dan menampilkan seorang mayat yang sangat ia cintai dengan bentuk yang sangat mengenaskan.
"PAPA.. ENGGA.. PAPA!!!" Teriak Fenly.
Shandy yang awalnya juga mematung, kini dengan cepat berlari menuju Fenly dan menutup mata adiknya dengan salah satu tangannya. Ia memutar wajah Fenly dan mendekapnya erat. Air matanya sendiri, sudah mengalir deras. Jantung Shandy terasa di remat kuat saat melihat isi koper yang berada di depannya. Bahkan, Shandy nyaris muntah ketika melihatnya.
"Papa.. Kenapa gini??"
Nyonya Adhitama ikut berlutut didekat koper, dengan air mata yang begitu mengalir deras. Tubuhnya mendadak gemetar kuat, ia nyaris kehilangan kesadarannya, tetapi berusaha mencoba kuat untuk kedua anaknya yang saat ini tampak begitu terpukul.
"PAPA, KAK.. PAPA.. YANG ADA DI DALAM KOPER ITU, PAPA.. FEN TAKUT! FEN NGGA MAU.. TAKUT.." Jeritan Fenly begitu memilukan, sehingga mengundang beberapa tetangga untuk menghampiri halaman rumah mereka dan melihat apa yang tengah terjadi.
Para tetangga berbondong membantu nyonya Adhitama dan kedua anaknya itu. Mereka juga membantu untuk melaporkan kasus ini kepada polisi. Seketika, rumah Fenly sangat ramai. Hal itu, jelas menganggu ketenangan mentalnya. Ia sungguh tertekan dengan keadaan ini, ia baru saja mendapatkan penyerangan. Lalu, ia harus menemukan jasad sang papa di dalam koper dengan keadaan yang mengenaskan. Saat ini, ia terjebak di tengah keramaian tamu dan beberapa polisi yang datang.
Fenly keluar menuju balkon kamarnya. Perlahan, kakinya menaiki pembatas balkon. Ia sendiri tidak sadar, mengapa ingin melakukan hal ini, seolah banyak dorongan yang meminta melakukannya. Tetapi, sebelum Fenly menjatuhkan tubuhnya, seseorang berhasil lebih dulu menarik tubuhnya untuk kembali ke dalam kamar.
"FEN!! Sadar.." Ucap Shandy sambil menepuk wajah adiknya itu berkali-kali.
Shandy segera bergerak cepat menutup pintu akses menuju balkon, dan membawa Fenly duduk diatas tempat tidur. Fenly masih saja bungkam dengan air mata yang mengalir deras. Shandy tahu bahwa, adiknya begitu terguncang, tetapi ia juga tak tahu harus melakukan apa.
"Fen.. Kakak mohon, jangan tinggalin kakak. Cuma Fen sama mama yang kakak punya saat ini. Sabar ya, Fen.. Kakak janji, semua ini akan berakhir." Tutur Shandy sambil membawa kepala Fenly untuk bersandar di dadanya.
"Papa.. Fen kangen sama papa.. Yang di dalem koper tadi itu bukan papa kan, kak?" Tanya Fenly lirih.
"Fen.. Berhenti denial! Kakak tahu, ini ngga mudah. Tapi, kita juga harus bisa melepas. Fen sayang mama sama kak Shandy, kan?" Fenly mengangguk pelan.
"Kalau sayang, jangan gini lagi, ya! Mama sama kakak butuh Fenly. Kita ngga mau kehilangan Fenly, karena kita udah kehilangan papa."
"Papa, kak.. Papa.." Isak Fenly sambil memeluk erat tubuh Shandy. Meski saat ini Shandy sama terlukanya dengan Fenly maupun mamanya, tetapi ia tak memiliki waktu untuk semua itu. Shandy tahu jika semua ini belum berakhir, mereka masih mengincar data yang ada di mendiang papanya, yang saat ini berada di tangan Shandy. Mereka hanya bersembunyi sekarang, tetapi Shandy tahu, mereka akan kembali lagi. Jadi, ia harus lebih waspada.
Shandy terus mengusap lembut rambut Fenly, hingga adiknya itu tenang kemudian tertidur. Setelah Fenly tertidur, Shandy meletakkan posisi tidur Fenly dengan benar. Ia menarik selimut milik adiknya, hingga sebatas dada. Perlahan, Shandy meninggalkan kamar adiknya dan kembali menemui beberapa tamu yang ingin mengucapkan rasa belasungkawa pada keluarga Adhitama.
"Shan.. Gue turut berduka, ya.." Ucap Gilang yang kini datang bersama Fajri.
"Makasih, nyet!
"Gue juga turut berduka ya, bang. Semoga om Adhitama di terima disisi Tuhan." Ucap Fajri sambil menepuk bahu Shandy.
"Thanks ya, Ji.. Gue temui atasan papa gue dulu."
Gilang dan Fajri hanya saling pandang, kemudian menunduk. Gilang tahu betul, ini untuk pertama kalinya Shandy terlihat selemah itu. Kehilangan Adhitama adalah bencana untuk Shandy, karena setelah ini tugas Shandy akan semakin berat. Ia harus menjaga data yang di percayakan padanya. Dan yang paling penting, ia harus menjaga dan melindungi Fenly, juga sang mama.
"Gue janji, Shan. Gue akan ada di setiap lo butuh gue. Gue adalah orang pertama yang bisa lo andelin. Gue janji."
Happy Reading..