webnovel

Suara dalam bayang

Bab 4 : Suara dari Bayang-Bayang

Ketika Alea membuka matanya, ia tidak lagi berada di perpustakaan. Tubuhnya tergeletak di lantai dingin yang kasar, dikelilingi oleh keheningan yang mencekam. Cahaya suram menyinari ruangan yang asing. Bau apek memenuhi udara, bercampur dengan aroma logam yang samar-samar—seperti darah yang sudah lama mengering.

Ia mencoba bangkit, namun kepalanya berdenyut keras, seperti dihantam oleh palu. Dengan tangan yang gemetar, ia menyentuh dahinya, memastikan dirinya masih utuh. Di sekelilingnya, dinding-dindingnya bukanlah rak buku, melainkan tembok bata yang retak dan dipenuhi noda hitam yang tampak seperti jamur. Lantai di bawahnya terasa basah dan licin, seperti ditutupi oleh cairan yang tidak ingin ia pikirkan lebih jauh.

"Apa ini?" pikirnya. Suaranya hampir tidak terdengar, tenggelam oleh detak jantungnya yang semakin cepat. Alea mencoba mengingat apa yang terjadi, tapi pikirannya kabur. Ia hanya ingat bayangan itu—bayangan yang merenggutnya dari dunia nyata dan menyeretnya ke dalam kegelapan.

Lalu, suara itu muncul lagi. Bisikan yang datang dari arah yang tak pasti.

"Alea... kamu tidak sendirian."

Alea merinding. Ia melihat ke sekeliling ruangan, mencoba mencari sumber suara itu. Tapi yang ada hanya bayangan—bayangan yang tampak bergerak sendiri, seolah memiliki nyawa. Ia tidak tahu apakah bayangan itu nyata atau hanya halusinasi. Tapi sesuatu dalam dirinya mengatakan bahwa ia tidak aman di tempat ini.

Ia melangkah perlahan, mencoba menghindari genangan yang berserakan di lantai. Setiap langkahnya menghasilkan bunyi cipratan kecil, yang terdengar begitu keras di tengah keheningan ini. Napasnya terasa berat, seolah-olah ada sesuatu yang menekan dadanya.

Tiba-tiba, suara langkah kaki lain terdengar di belakangnya.

Alea berbalik dengan cepat, tapi tak ada siapa-siapa. Yang ada hanya koridor panjang yang gelap, dikelilingi oleh dinding bata yang semakin menghilang di ujung kegelapan. Jantungnya berdegup kencang, sementara tubuhnya gemetar tanpa kendali. Ia tahu bahwa ia tidak sendirian, meskipun ia tidak bisa melihat siapa atau apa yang ada di sana.

"Siapa di sana?" Alea mencoba berbicara, tapi suaranya terdengar kecil dan gemetar. Tidak ada jawaban. Hanya keheningan yang kembali menyelimuti.

Namun, langkah kaki itu terdengar lagi, kali ini lebih dekat. Alea mulai panik. Ia berlari, tapi koridor itu tampak tak berujung. Semakin ia berlari, semakin jauh ujungnya. Dinding-dinding di sekitarnya terasa semakin sempit, seperti hendak menelannya hidup-hidup.

Dan kemudian ia mendengar suara itu lagi, kali ini lebih keras, lebih menyeramkan.

"Alea, kau tak bisa lari. Kau milik kami sekarang."

Alea tersandung dan jatuh ke lantai. Lututnya terasa perih, tapi ia tidak peduli. Ia hanya ingin keluar dari tempat ini, dari mimpi buruk ini. Ia merangkak, mencoba menjauh dari suara itu. Tapi bayangan-bayangan di sekelilingnya mulai bergerak, mengelilinginya seperti kabut hitam yang pekat.

Bayangan itu semakin mendekat, semakin nyata. Dan dari dalam bayangan itu, muncul sesuatu—sebuah tangan kurus, dengan kulit yang tampak seperti terbakar. Tangan itu menjulur ke arah Alea, seolah ingin meraihnya.

Alea berteriak, mencoba menjauh, tapi tangannya terpeleset di lantai yang licin. Tangan itu hampir menyentuhnya, ketika tiba-tiba terdengar suara keras, seperti ledakan yang mengguncang ruangan. Bayangan-bayangan itu mundur, menghilang ke dalam dinding, meninggalkan Alea sendirian lagi.

Namun, ia tahu bahwa ia tidak benar-benar sendirian. Sesuatu masih mengawasinya, menunggu saat yang tepat untuk menyerang.

Dengan napas yang terengah-engah, Alea mencoba berdiri. Tapi sebelum ia bisa melangkah lebih jauh, ia melihat sesuatu yang membuatnya terpaku. Di lantai, tepat di tempat ia jatuh tadi, ada sebuah buku yang sangat ia kenali. Buku itu.

Buku itu tergeletak di sana, terbuka pada halaman yang dipenuhi tulisan. Namun kali ini, tulisan itu tidak hanya meramalkan kematian orang lain. Itu meramalkan kematiannya sendiri.

"Alea. Waktumu hampir habis. Persiapkan dirimu."

Tangannya gemetar saat ia membaca kalimat itu. Tinta di halaman itu mulai bergerak, membentuk gambar yang membuat darahnya membeku. Gambar itu menunjukkan dirinya, terjebak dalam ruangan yang sama ini, dengan bayangan-bayangan yang menjeratnya, hingga akhirnya ia lenyap.

Alea menjatuhkan buku itu, tapi buku itu tidak berhenti. Halaman-halamannya terus berputar, menampilkan lebih banyak gambar, lebih banyak kata-kata. Dan semuanya menunjukkan hal yang sama—akhir dari hidupnya.

Ia mencoba melangkah mundur, tapi tubuhnya tidak mau bergerak. Bayangan-bayangan itu kembali muncul, kali ini lebih besar, lebih menakutkan. Mereka mengelilinginya, menutup semua jalan keluar.

Saat itu, Alea merasa seolah-olah seluruh dunianya runtuh. Ia tidak tahu bagaimana cara keluar dari mimpi buruk ini. Dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasa benar-benar putus asa.

---

Cliffhanger : Apa sebenarnya yang diinginkan oleh bayangan itu? Apakah Alea benar-benar akan mati seperti yang diramalkan oleh buku itu? Atau ada cara untuk melawan takdir yang sudah ditentukan?

---

Next chapter