1 1. Dimana Semuanya Berawal

Sekujur tubuhnya terasa sangat sakit begitu dia mengedipkan matanya. Seakan tidak cukup, kepalanya juga terasa sangat berat membuat dia mengernyitkan kepalanya. Dia menekan-nekan tulang pelipisnya berharap dapat membantu menghilangkan rasa sakit tersebut.

Melawan rasa sakit pada badannya dia mencoba duduk, namun angin segar menerpanya membuat badannya menggigil gemetaran. Refleks dia menggosok kedua tangannya untuk menghangatkan badannya.

'Hm? Kenapa aku tidak pakai baju tidur?'

Menyadari dia tidak memakai baju kecuali pakaian dalam.

Dia termenung diatas tempat tidur dan masih setengah sadar.

"Sudah bangun?" Suara yang sangat rendah itu terdengar dari ujung kamar.

"Hm…," jawabnya.

'Hm? Aneh!'

Dia saat ini tinggal sendirian di apartemennya, kenapa ada suara orang? Kaget, dia mendongakkan kepalanya mencari asal suara tersebut. Seorang pria yang bersandar di tembok dekat pintu kamar menatapnya dengan senyuman. Pria tersebut berdiri sambil menyilangkan satu kakinya dan melipat kedua tangannya di depan. Air dari rambutnya yang masih basah turun menetes ke dadanya yang terlihat bidang. Badannya dihiasi oleh otot-otot perut yang terlihat seperti roti sobek dijual di supermarket. Pemandangan pagi hari gadis itu disambut oleh pria telanjang dada.

'Pria? Telanjang'?

Matanya terbuka lebar begitu menyadari ada pria telanjang dada yang berdiri di hadapannya. Dia segera menutupi badannya dengan tangan lalu secara cepat mengambil selimut yang berada di dekatnya.

"Hm? Setelah puas melihatku, kau malah menutupi badanmu?" kata pria tersebut tersenyum.

"A- Apa? Siapa juga yang melihatmu?" jawab gadis itu terbata-bata. Pipinya memerah.

"Si- Siapa kau kenapa kau disini?" lanjut gadis itu menanyakan pria asing tersebut.

"Memangnya kenapa kalau aku disini?" kata pria tersebut menantang gadis tersebut.

"Kenapa apanya?" kata gadis itu marah, "kenapa bisa kau masuk kesini, ini kamarku-" ucapan gadis itu terhenti begitu dia menyadari sekelilingnya tidak seperti kamar tidurnya.

Kamar tidur ini lebih luas dari kamarnya, dan sepertinya pintu tempat pria itu bersandar adalah kamar mandi yang tidak ada di apartemennya.

"Hm? Kenapa? Ini kamar siapa?" pria tersebut kembali menantang gadis tersebut.

"Siapa kau? Kenapa aku disini? Apa yang kau lakukan padaku?" kata gadis itu kebingungan.

"Kau tidak ingat?" tanya pria tersebut.

"A-Apa? Ingat apa?" jawab gadis itu ragu-ragu.

"Serius kau tidak ingat?" tanya pria tersebut sekali lagi.

"Apa yang harus kuingat?" gadis tersebut emosi dengan pertanyaan pria tersebut. Samar-samar dia ingat pergi ke klub malam, lalu mencoba minum beberapa gelas alkohol, namun dia tidak ingat selanjutnya.

Menyadari hal tersebut dia menatap pria tersebut.

"Apa yang terjadi kemarin?" tanya gadis itu hati-hati.

"Menurutmu?" kata pria itu.

"Bisa tidak sih dijawab? Kenapa kau selalu bertanya?" kata gadis itu emosi yang dari tadi tidak mendapatkan jawaban dari pertanyaannya.

"Lalu kau sendiri? Kau juga tidak menjawab pertanyaanku dari tadi?" kata pria tersebut memperbaiki posisinya berdiri sambil menatap gadis tersebut.

Menyadari pergerakan pria tersebut, gadis itu menjadi was-was dan sedikit takut.

"Ak- Aku tidak ingat." jawab gadis itu perlahan.

"Hm? Apa yang tidak kau ingat? Bagian mana saja yang tidak kau ingat? Apa saja yang kau ingat?" tanya pria tersebut bertubi-tubi.

Rasa gelisah menyelimuti gadis tersebut, namun gadis itu masih menjawab pertanyaan pria tersebut.

"Semua… Semua. Aku tidak ingat semuanya," kata gadis itu, "yang aku tahu, aku pergi ke klub dan minum alkohol, itu saja."

"Aha! Kau lupa semuanya setelah mabuk ya?" kata pria tersebut dengan seringainya, "apa itu pertama kalinya kau minum alkohol?" tanya pria itu lagi.

"Iya benar." jawab gadis tersebut.

Pria tersebut terlihat berpikir sambil sesekali menatap gadis tersebut.

Keheningan yang cukup panjang membuat gadis tersebut tidak sabaran dan bertanya.

"Jadi? Apa yang terjadi?"

"Kau umur berapa? Kalau kau minum alkohol setidaknya kau berumur 21 tahun kan?" tanya pria itu masih belum menjawabnya.

"Iya. Aku berumur 21 tahun," jawabnya tanpa ragu.

"Baiklah. Kau kan sudah dewasa, jadi permasalahan ini kita selesaikan secara dewasa saja," kata pria itu.

"Masalah apa?" gadis itu bertanya tidak tahu.

"Apa lagi? Ini masalahnya," kata pria itu sambil menunjuk dirinya dan gadis di depannya itu secara bergantian.

"Mak-maksudmu?" tanya gadis itu masih bingung.

"Kau itu pura-pura polos, bodoh atau apa?" sindir pria itu.

"Ayo berpikirlah," kata pria itu sambil mengambil langkah demi langkah secara perlahan hingga berada di ujung tempat tidur. Selangkah lebih dekat dengan gadis itu.

Gadis itu merasa gelisah lalu berusaha memutar kepalanya memikirkannya secara cepat.

Kemarin malam di pergi ke klub malam, lalu minum beberapa gelas alkohol. Kejadian malam itu hanya teringat sampai saat itu saja. Dia tidak mengingat kapan dia keluar dari klub itu, atau bagaimana bisa dia sampai ke tempat tidur, terlebih dia tidur di tempat tidur asing dan bersama seorang pria telanjang dada yang saat ini bersamanya. Hanya satu hal yang bisa dipikirkan oleh gadis itu saat ini melihat situasinya.

"Apa mungkin kita…. ?" kata gadis itu.

"Hm? Kita kenapa?" pria itu bertanya balik sambil menaikkan satu alisnya.

"Itu… kita… mungkinkah kalau kita….," gadis itu terlihat ragu-ragu melanjutkan kalimatnya.

Pria itu menatap gadis yang berada di hadapannya itu, namun ia tidak menjawab pertanyaan gadis tersebut. Dia hanya memiringkan sedikit kepalanya ke kanan memperhatikan gadis itu.

"Itu… berhubungan…," kata gadis itu dengan suaranya yang kecil. Pipinya kembali merona.

"Buat apa kau malu-malu begitu? Apa lagi yang harus kau sembunyikan setelah kejadian semalam?" kata pria itu sambil tertawa kecil.

'Jadi kita berhubungan badan kemarin malam?'

Pikiran gadis itu berputar-putar. Dia masih tidak yakin kejadian tersebut terjadi padanya. Bukannya tidak percaya, namun sudah ada beberapa bukti yang mengarah kesana. Dia yang saat ini berada di tempat tidur asing, seorang pria yang sedang bersamanya, terlebih sakit yang dia rasakan pada seluruh tubuhnya. Terlebih imajinasinya yang liar akibat sering membaca novel romantis.

Dia tahu apa saja yang bisa dilakukan pria dan wanita saat malam. Kalau memang benar, berarti ini menjadi pertama kalinya dia berhubungan badan. Namun dia masih bingung, entah karena ini pertama kalinya atau karena dia tidak bisa mengingat kejadian saat dia mabuk. Hal itu mengganjal hatinya dan membuat dia terus gelisah.

"Jadi bagaimana? Sebagai orang dewasa bagaimana kau akan mengambil keputusan," tanya pria itu.

"Keputusan apa?" tanya gadis itu bingung.

'Bukankah kemarin malam hal yang sudah berlalu, lantas hal apa lagi yang harus diputuskannya.'

Pria tersebut tidak menjawabnya, namun arah pandangannya menurun, dia kini tidak melihat mata gadis tersebut namun melihat badannya. Gadis itu juga mengikuti arah pandang mata pria tersebut.

'Perut.'

Gadis tersebut paham yang disampaikan oleh mata pria tersebut. Sejenak gadis tersebut panik, dia berusaha berpikir keras sebagai orang dewasa seperti kata pria tersebut. Dia paham ketika wanita dan pria sudah berhubungan intim, ada kemungkinan untuk wanitanya hamil.

'Namun itu hanya kemungkinan bukan. Tidak masalah, kemungkinan itu juga belum tentu ada,"

"Oke, kita selesaikan seperti orang dewasa," kata gadis itu berani.

Gadis itu beranjak bangun dari tempat tidur menahan rasa sakit di sekujur tubuhnya sambil memegang selimut tetap berusaha menutupi tubuhnya. Kakinya menginjak sebuah kain, yang ternyata merupakan gaun yang digunakannya saat ke klub kemarin malam. Dia menyadari gaun hitam yang dikenakannya kemarin tersebut kini sudah robek di beberapa bagian.

"Mari lupakan kejadian kemarin malam," kata gadis tersebut.

Dari sekian banyak novel romantis yang pernah dibacanya, cukup banyak novel yang memiliki kejadian seperti yang dialaminya saat ini. Dan dari semua itu kebanyakan memilih untuk menjadikannya sesuatu yang akan dilupakan. Jadi gadis tersebut memilih hal serupa yang kebanyakan terjadi di novel tersebut.

Mendengar perkataan gadis tersebut, si pria mengernyitkan dahinya. Dia bingung melihat gadis yang berdiri di depannya itu.

"Kau yakin? Apa begini caramu mengambil keputusan sebagai orang dewasa?" tanya pria itu membuat gadis itu ragu.

"Lalu kau sebagai orang dewasa memangnya mengambil keputusan seperti apa?" sindir gadis itu menatapnya tajam.

'Kalau tidak ada kau, aku tidak akan begini. Tapi itu sudah berlalu.'

Pria tersebut menjawab dengan santai, "kejadian malam kemarin memang tidak bisa terhindari." "Itu murni kesalahan kita berdua kan?" lanjut pria tersebut menaikkan sebelah alisnya.

Gadis itu ingin menjawab tidak, namun pria itu kembali melanjutkan perkataannya.

"Sebagai orang dewasa dan seorang pria, aku akan bertanggungjawab," kata pria tersebut sambil tersenyum bangga.

Gadis itu hanya bingung dan mengernyitkan dahi tidak mengerti.

"Aku akan menikahimu," kata pria itu.

'Hah? Menikah?'

Gadis itu tidak mengerti kenapa dia harus menikah. Usianya memang sudah dewasa, tapi tidak pernah sekalipun dia berpikir akan menikah di usianya yang masih 21 tahun ini. Apalagi memikirkan pernikahan dengan pria asing yang baru dikenalnya, atau lebih parahnya lagi bersama pria yang menghabiskan malam bersamanya kemarin.

"Aku tidak mengerti kenapa kita harus menikah. Kalau soal hamil, itu hanya kemungkinan saja. Aku juga akan minum pil kontrasepsi untuk mencegahnya." kata gadis itu.

"Lalu kalau ternyata kau hamil, apa kau akan mengaborsinya?" tanya pria itu membuat gadis itu kembali berpikir.

'Tidak. Meskipun bukan anak yang direncanakan, tapi kalau aku hamil, anak itu tetap akan menjadi anakku. Aku tidak mau membunuh anak yang tidak bersalah.'

"Aku akan mengasuhnya," kata gadis itu.

"Kau akan mengasuhnya? Sendirian? Apa kau sanggup membesarkannya? Apa kau tahu berapa biaya untuk membesarkan seorang anak?" tanya pria itu bertubi-tubi.

Meskipun gadis itu ingin membesarkan anak tersebut, namun keuangannya saat ini saja pas-pasan untuk menunjang hidupnya sendiri. Terlebih gaji untuk pekerjaannya saat ini sebagai pengasuh anak tidak akan cukup untuk menanggung kebutuhan anak itu.

"Lalu bagaimana? Meskipun itu hanya kemungkinan, namun kalau aku hamil aku tidak akan menggugurkannya," kata gadis itu tegas.

"Aku tidak menyuruhmu menggugurkannya. Aku akan bertanggung jawab. Memberikan uang untuk membiayai kebutuhan anak itu, memberikan kasih sayang padanya sebagai seorang ayah dan apapun kulakukan untuk anak itu. Itu semua akan kulakukan kalau kita menikah," kata pria itu panjang lebar.

"Kau cukup memberikan uangnya saja, kalau kau mau," kata gadis itu.

"Aku tidak mau. Kenapa aku harus memberikan uang untuk orang yang tidak memiliki ikatan sepertimu. Kecuali kalau kau istriku, tentu semuanya akan kulakukan, " kata pria itu.

"Biarkan aku berpikir dulu. Kasih aku waktu sebulan," kata gadis itu mencerna perkataan pria tersebut.

Gadis tersebut sudah merasa sangat tidak nyaman sedari tadi berbicara sambil memegang selimut didepan pria yang telanjang dada tersebut.

"Maaf, tapi aku tidak bisa memberikan waktu selama itu. Kau hanya bisa memberikan keputusan disini, hari ini," kata pria itu tegas.

Pria itu lanjut berkata, "begitu kau melangkahkan kaki keluar dari kamar ini tanpa memberikan jawaban, aku anggap tidak ada pembicaraan mengenai hal ini lagi."

Tidak ada yang perlu dipikirkan gadis itu sebenarnya. Pernikahan yang harus dilakukannya untuk mendapatkan uang kebutuhan anaknya apabila dia benar-benar hamil. Namun kalau anak itu tidak ada, buat apa dia menikah.

"Baiklah. Tapi kita tidak langsung menikah bukan? Maksudku aku juga belum tentu hamil. Setidaknya sebulan sampai bisa benar-benar diketahui," kata gadis itu.

Pria itu tersenyum.

"Kita bisa menikah sebulan kemudian. Untuk saat ini kita lakukan pendekatan terlebih dahulu."

Pria itu lalu menyentuh dagu gadis itu membuatnya menatap matanya.

Gadis itu hanya terdiam, sambil mempererat selimut yang dipegangnya sekuat tenaga.

Pria itu tersenyum melihat reaksi gadis itu lalu berkata, "aku harus tahu siapa nama calon istriku, bukan?"

Jantungnya berdebar-debar berada di dekat pria tersebut.

"Jessie," jawab gadis itu singkat.

"Baiklah Jessie. Mandilah, aku sudah menyiapkan bajumu di kamar mandi," kata pria itu melepaskan dagu Jessie.

"Calon suamimu ini, Nicholas, " kata pria yang bernama Nicholas itu sambil menutup pintu keluar kamar.

Jessie tersungkur ke lantai, dia masih tidak percaya dengan semua yang terjadi ini. Terlebih dia baru saja menyetujui akan menikah dengan Nicholas, pria yang baru ditemuinya tadi itu. Semua kejadian ini tidak akan terjadi kalau saja kemarin dia tidak mengambil keputusan yang bodoh.

avataravatar
Next chapter