Di tengah kekacauan perang antara dua negara yang tak kenal ampun, Soraz dan Xraptar, muncul seorang pria yang tak tergoyahkan, Miguel Zakon. Sebagai prajurit Soraz yang tangguh, Miguel memiliki kekuatan yang melegenda dan insting predator yang membuat musuh-musuhnya gentar. Dengan sifatnya yang dingin dan kalkulatif, dia tidak hanya bertarung di garis depan tetapi juga mengatur strategi invasi yang tak terduga. Perang ini bukan sekadar pertempuran wilayah, tetapi juga ujian bagi Miguel untuk membuktikan dirinya sebagai pahlawan Soraz. Setiap langkahnya di medan perang adalah tarian maut yang menaklukkan benteng-benteng Xraptar satu demi satu. Namun, di balik kebrutalan dan ketenangan yang tampak, Miguel menyimpan luka yang mendalam dan tekad yang membakar untuk melihat Soraz berjaya.
Angin malam berhembus dingin di perbatasan Soraz, membawa desas-desus ketegangan yang terasa hingga ke tulang. Di atas bukit yang menghadap ke lembah Xraptar, Miguel Zakon berdiri tegak, matanya memantau gerak-gerik musuh di kejauhan. Cahaya bulan memantulkan siluet baja pada baju besinya, dan setiap napasnya menghasilkan uap di udara yang beku.
"Kita harus menyerang sekarang, saat mereka tidak mengharapkannya," ujar Miguel kepada komandan pasukannya, Letnan Garcia, yang berdiri di sampingnya.
Garcia, seorang veteran perang yang wajahnya penuh bekas luka, mengangguk pelan. "Tapi pasukan kita belum lengkap, Miguel. Kita masih menunggu bala bantuan dari utara."
Miguel memalingkan wajahnya ke langit, di mana bintang-bintang berkelip seperti mata-mata yang mengawasi. "Kita tidak punya waktu, Garcia. Setiap detik yang kita sia-siakan adalah keuntungan bagi Xraptar."
Di bawah mereka, kamp-kamp tentara Soraz bersiap dengan senjata dan perisai. Api unggun memecah kegelapan, dan wajah-wajah prajurit terlihat tegang namun penuh tekad. Miguel turun dari bukit, langkahnya mantap menuju tenda pusat komando.
Di dalam tenda, peta besar terbentang di atas meja, penuh dengan tanda dan simbol strategi. Miguel menarik pedangnya, ujungnya menunjuk ke sebuah titik di peta. "Ini adalah titik lemah mereka. Jika kita bisa menerobos pertahanan di sini, kita akan memecah formasi mereka dan menyebabkan kekacauan."
Seorang kurir tiba-tiba masuk, napasnya terengah-engah. "Pesan dari Jenderal Armand, tuan. Bala bantuan akan tiba dalam dua hari."
Miguel mengepalkan tangan, frustrasi. "Dua hari... Bisa terlambat." Dia berpaling ke pasukannya, suaranya menggema di dalam tenda. "Kita akan menyerang tanpa mereka. Siapkan pasukan untuk bergerak dalam satu jam."
Protes dan bisikan khawatir muncul di antara para perwira, tapi Miguel menenangkan mereka dengan tatapan tajam. "Kita adalah prajurit Soraz. Kita dilahirkan dari api dan besi. Kita tidak akan menunggu kematian mendatangi kita. Kita akan menjadi kematian itu sendiri bagi Xraptar."
Pasukan Soraz bergerak seperti bayang-bayang di malam hari, mendekati benteng Xraptar dengan diam-diam. Miguel berada di garis depan, pedangnya siap di tangan, matanya mencari celah dalam pertahanan musuh. Dan ketika fajar merekah di ufuk timur, teriakan perang Soraz menggema, memulai babak baru dalam sejarah yang ditulis dengan darah dan baja
Miguel dan pasukannya merangsek maju, menembus kabut pagi yang dingin. Setiap langkah mereka dihiasi embun yang menempel pada rumput dan baju besi. Suara langkah kaki seratus prajurit Soraz bergema, mengumandangkan niat mereka yang tak tergoyahkan.
Di dalam benteng Xraptar, penjaga pertama yang melihat bayangan Soraz segera meniup sangkakala. Alarm perang berbunyi nyaring, membangunkan para prajurit yang masih terlelap dalam tidur mereka. Benteng yang sebelumnya sunyi seketika menjadi sarang lebah yang marah, dengan prajurit-prajurit berlarian mengambil posisi.
"Formasi pertahanan!" teriak Kapten Rael dari Xraptar, suaranya mengatasi kekacauan. "Jangan biarkan mereka mendekat!"
Namun, Miguel sudah terlalu dekat. Dengan pedangnya yang berkilauan, dia memimpin pasukannya menyerbu gerbang benteng. "Untuk Soraz!" teriaknya, suaranya memotong dinginnya udara.
Pertempuran pecah dengan brutal. Pedang bertemu pedang, perisai bertabrakan, dan teriakan prajurit mengisi udara. Miguel, dengan insting buasnya, bergerak melalui medan perang seperti badai. Setiap serangannya tepat dan mematikan, setiap gerakannya menginspirasi pasukannya untuk bertarung lebih keras.
Di tengah pertempuran, Miguel bertemu dengan Kapten Rael. Keduanya bertarung dengan sengit, pedang mereka menyala dengan setiap pukulan yang diblok atau dihindar. "Kau tidak akan menang hari ini, prajurit Soraz!" teriak Rael, sambil mengayunkan pedangnya dengan kekuatan penuh.
Miguel hanya tersenyum dingin, matanya tidak pernah meninggalkan mata lawannya. "Kami sudah menang sejak kau membiarkan kami mendekat," jawabnya, sebelum akhirnya menemukan celah dalam pertahanan Rael dan menyerang dengan kejam.
Ketika Kapten Rael jatuh, moral pasukan Xraptar runtuh. Benteng yang sebelumnya tampak tak terkalahkan kini terbuka lebar. Pasukan Soraz menerobos masuk, membawa kemenangan yang telah lama mereka dambakan.
Miguel berdiri di atas reruntuhan benteng, pedangnya masih meneteskan darah musuh. Dia menatap kejauhan, ke arah tanah Soraz, dan berjanji dalam hati bahwa ini hanya awal. Perang masih panjang, dan dia akan memimpin setiap pertempuran hingga Soraz berdiri sebagai pemenang yang tak terbantahkan.