webnovel

Chapter II : Penobatan & Pesta

25 September 1501, Balairung Istana Kekaisaran

Masa berkabung telah berakhir setelah satu bulan lamanya. Kabar kematian Sang Shahanshah sekaligus pendiri Kekaisaran Parseia ; Shahanshah Syapur Rausyan, telah mengguncang seantero negeri. Bagaimana tidak kematian mendiang Shahanshah Syapur ditangisi oleh 10 juta penduduk negeri Kekaisaran Parseia?. selama kurang lebih 20 tahun pemerintahannya. Shahanshah Syapur menyatukan seluruh penjuru negeri setelah terpecah-pecah selama 10 tahun. Ketika seluruh negeri bersatu ; Shahanshah Syapur memberikan kesejahteraan, kemakmuran, dan keadilan bagi seluruh masyarakat Kekaisaran Parseia, 20 tahun pemerintahannya akan dikenang sebagai masa pemerintahan yang aman, tertib, tentram, serta rakyatnya hidup sejahtera dan berkecukupan.

Kini Firuz akan meneruskan apa yang sang ayah wariskan padanya. Akan seperti apa dirinya kelak ketika menjadi Shahanshah nanti?, apakah ia akan menjadi Shahanshah yang sama baiknya seperti mendiang sang Ayah, atau malah lebih baik dari sang Ayah, atau malah lebih buruk dari sang Ayah?. Masa depan adalah sesuatu yang samar, yang bisa Firuz lakukan saat ini adalah mempersiapkan diri untuk menjalani prosesi penobatannya sebagai seorang Shahanshah.

"Kak, apa kamu sudah siap?" tanya putri Shahrbanoe pada Firuz, menyadarkan firuz dari lamunannya.

Firuz mengangguk sambil tersenyum, "Tentu, Boleh kakak minta tolong agar kakak dapat berdiri?" Ucap Firuz sambil menyodorkan tangannya pada sang adik.

Shahrbanoe menganggukan kepalanya sambil tersenyum. Ia menerima uluran tangan Firuz dan menariknya untuk dapat berdiri dari kursi ia duduk.

"Terimakasih, Kamu adalah orang yang dapat kakak andalkan, Banu." Ucap Firuz sambil menepuk-nepuk kepala sang adik dengan lembut dan sayang, Banu adalah panggilan kecil dan sayang pada sanga adik. Beberapa pengiring Firuz ; Khodad, sang teman lama dan kepala perpustakaan Istana, Jendral Mohsin, dan sang Ibu tiri Shahdokht janda Roxanne, juga berada di ruang tunggu bersama Firuz, Firuz menganggukan kepalanya pada Khodad, Jendral Mohsin dan sang ibu tiri.

"Mari, Kita tidak boleh membiarkan Imam javed dan rakyat diluar sana menunggu lebih lama." Kata Firuz. 

Firuz menyampirkan tangannya pada Shahrbanoe. Lalu ia berjalan menuju ruang penobatan bersama yang lain. Ada sedikit rasa gugup bersemayam di hatinya, biar bagaimanapun Firuz adalah manusia biasa, dan prosesi penobatan adalah peristiwa baru yang akan ia jalani sekali dalam hidupnya, dan kehidupan setelah penobatan, tentunya segala sesuatunya tidak akan sama seperti sebelumnya. Namun ia sudah siap.

"Kau sudah siap kan, Firuz?" bisik Khodad disampingnya.

Firuz mengangguk. "Siap atau tidak siap, aku harus menjalani ini bukan?"

"Tenanglah, prosesinya akan berjalan cepat dan mudah," Bisik Khodad

"Terimakasih." Jawab Firuz pada sahabat karibnya.

Firuz berhenti di depan altar penobatan. Kemudian seorang pelayan mengumumkan kehadiran sang Putra Mahkota yang tak lama lagi akan menjadi Shahanshah atau seorang Kaisar. kemudian Firuz berjalan menuju altar penobatan, Imam javed sudah menunggu dengan jubah kebesaran yang ia kenakan dan turban hijau yang dikenakan di kepala. wangi misk menyeruak di dalam ruangan penobatan, wangi misk yang harum ini membuat pikiran dan hati Firuz merasa tenang. Seorang pelukis istana duduk di sisi kiri ruangan, sedang melukis untuk mengabadikan peristiwa bersejarah yang sedang berlangsung.

"Silahkan maju satu langkah, Yang Mulia Pangeran Mahkota. Dan untuk Putri Shahrbanoe, tolong mundur satu langkah." Ujar Imam Javed. Ha ini merupakan sebuah artian simbolis ; Firuz berada di urutan pertama suksesi, dan Shahrbanoe berada di urutan kedua. Aturan suksesi dalam Kekaisaran parseia yang dibuat, mewajibkan seorang laki-laki putra sulung untuk menduduki takhta. Sementara perempuan berada di urutan keduaatau ketiga dalam suksesi.

Firuz melepaskan sampiran tangannya pada Shahrbanoe, sang adik mendekatkan mulutnya pada telinga Firuz, membisikkan sesuatu, "Maaf ya kak, Banu tidak bisa berdiri di samping kakak untuk menemani kakak." Bisiknya sambil melangkah mundur selangkah dari Firuz.

Firuz menoleh kebelakang pada Shahrbanoe sambil tersenyum dan mengacungkan ibu jari, pertanda tidak apa=apa. lalu Firuz menatap pada sang Imam, menganggukan kepalanya, "Aku sudah siap." Ujarnya.

Sambil membaca kitab suci Rausyanjahan ditangan, Imam Javed mulai membacakan doa-doa untuk berkat dan keselamatan Firuz memimpin Kekaisaran. Agama adalah instrumen penting dalam Kekaisaran Parseia, Rausyanjahan adalah agama yang dianut oleh seluruh penduduk, meski Shahahanshah memiliki kekuatan yang absolut, namun diharapkan sang Shahanshah untuk tetap patuh dan memnuhi apa yang ada dalam kitab Rausyanjahan, yang dibawa dan dikabarkan oleh sang Messiah, Jahan, 800 tahun yang lalu.

Setelah selesai membaca doa-doa, Imam Javed memerintahkan Firuz untuk berlutut, kedua lutut Firuz menyentuh lantai marmer yang dingin, dengan khusyu Firuz menundukkan kepalanya.

"Putra Mahkota Firuz Rausyan, putra dari Syapur Rauysan. Bersedikah anda menjadi seorang kaisar bagi seluruh rakyat, melindungi dan memberikan kesejahteraan dan kebahagiaan pada seluruh negeri, dan selalu menjadikan apa yang diajarkan oleh sang Messiah Jahan sebagai panduan anda dalam berpikir dan bertindak sebagai Kaisar?" tanya Imam Javed pada Firuz.

"Ya, saya bersedia." Jawab Firuz singkat.

Imam Javed kemudian mengambil mahkota Shahanshah yang disepuh oleh emas dan berhiaskan batu safir yang indah. Kedua tangan Imam Javed menangkup mahkota itu, dan hendak menempatkannya di atas kepala Firuz.

"Kalau begitu. Saya berdoa semoga engkau menjadi Shahanshah yang baik bagi seluruh rakyat yang ada di dalam negeri. Engkau kini resmi menjadi seorang Shahanshah." Ucap Imam Javed sambil menempatkan Mahkota di atas kepala Firuz.

Mahkota itu terpasang dengan baik di atas kepala Firuz. dengan begini Firuz telah resmi menjadi seorang Shahanshah. Shahanshah Firuz Rausyan.

Firuz perlahan-lahan bangkit berdiri. Dengan refleks Khodad, Jendral Mohsin, dan Shahrbanoe membantunya untuk dapat berdiri dengan tegak. Mahkotanya memang berat, yang membuat Firuz agak sulit untuk berdiri, beratnya mahkota seperti tanggungjawabnya sebagai seorang Shahanshah.

"Terimakasih." Ucap firuz pada ketiga orang yang membantunya berdiri.

Firuz lalu mencium tangan Imam Javed lalu sampul kitab suci Rausyanjahan, sebagai bentuk penghormatannya pada agama.

"Sekarang, temuilah rakyatmu." Bisik Khodad, sambil menunjuk kearah balkon yang terletak di sisi kanan. Dibawah balkon, ratusan ribu rakyatnya telah menunggu sang Shahanshah baru mereka, sang Shahanshah yang merupakan putra pertama dan satu-satunya dari Shahanshah yang amat mereka cintai dan sayangi.

Firuz berjalan menuju Balkon, didampingi oleh Khodad, Jendral Mohsin, dan sang adik yang dengan setia menyampirkan tangannya di sebelah kanan sang Kakak. Ketika mencapai tepi pagar balkon, darimata kepala Firuz sendiri, ia dapat melihat ratusan ribu lautan manusia berada di hadapannya, lautan manusia itu adalah rakyatnya sendiri yang akan ia pimpin, nasib mereka, harapan, dan impian mereka berada di telapak tangan Firuz.

Firuz mengangkat tangan, dan melambaikan tangannya pada lautan manusia yang ada dibawahnya. Sontak, gemuruh gegap gempita terdengar menggemuruh di langit ibukota Tabreze. Gemuruh gegap gempita itu lahir dari kegembiraan rakyat, atas dinobatkanya Firuz sebagai Shahanshah.

"Sambutlah mereka, mereka itu rakyatmu." Ucap Khodad.

"Iya kak, mereka ingin mendengar suara dari kakak." timpal Shahrbanoe.

Firuz menghela nafas, lalu menghembuskan nafasnya dari hidung dan mulut. Ini adalah pidato pertamanya sebagai seorang Shahanshah dihadapan rakyatnya. 

"Rakyatku sekalian..." Ucap Firuz. ratusan ribu pasang mata dengan penuh perhatian memperhatikan sang Shahanshah baru mereka. yang berdiri diatas balkon.

"...Kita semua berduka atas kepergian Shahanshah Syapur. Begitu pun aku...Aku juga bersedih atas kepergian Shahanshah Syapur, yang tak lain dan tak bukan adalah ayahku sendiri." Ucap Firuz. ia menghentikan pidatonya sejenak, untuk mengambil jeda beberapa saat sebelum melanjutkannya kembali.

"Shahanshah Syapur, akan dicatat dalam sejarah sebagai peletak dasar Kekaisaran Parseia, yang merupakan rumah besar bagi kita semua. Dan, jasa-jasanya dalam menghadirkan kemakmuran dan kebahagiaan pada rakyat tak akan pernah terlupakan sepanjang masa. Dan aku berjanji pada kalian semua, bahwa aku akan menjaga apa yang telah Shahanshah Syapur perbuat selama hidupnya ; menjaga rumah besar bernama Kekaisran parseia ini, dan memastikan kesejahteraan dan kebahagiaan hadir disetiap rakyat Parseia. itulah janjiku pada kalian." Ucap Firuz.

Gemuruh sukacita menggema lagi dari bawah sana, menggema di dindiing-dinding Istana Kekaisaran dan langit Ibukota Tabreze. Firuz sekali lagi melambaikan tangannya pada seluruh rakyat yang ada di bawah balkon.

"Pidato yang bagus kawan." Puji Khodad.

"Terimakasih karena sudah mengajariku." Jawab Firuz. Selama beberapa minggu terakhir, Khodad lah yang mengajari Firuz etiket prosesi penobatan, dan penyampaian pidato pada khalayak rakyat. Firuz bersyukur memiliki teman seperti Khodad.

Suara berdehem dari seorang tua terdengar di belakang Firuz, Firuz menoleh pada Jendral Mohsin, sang tutor bagi Firuz, pengawal pribadinya, dan sahabat dekat mendiang sang ayah. Firuz menganggukan kepala sebagai bentuk hormat pada Jendral Mohsin.

"Kuucapkan selamat padamu wahai Shahanshah Firuz. Aku yakin kamu akan membawa apa yang diwariskan oleh mendiang ayahmu menuju kebaikan dan kemuliaan." Ucap Mohsin.

"Semoga, semoga saja Mohsin. Tolong bantu aku agar aku dapat membawa Kekaisaran ini menuju kebaikan dan kemuliaan." Ucap Firuz.

"Selama Yang Maha Singular mengizinkanku untuk mendampingimu...yang Mulia Shahanshah." Jawab Mohsin.

Firuz melihat sang ibu tiri. Shahdokht janda roxanne tak mengucapkan sepatah kata pun, hanya menganggukan kepala dan tersenyum pada firuz, yang dibalas firuz dengan senyum dan anggukan juga.

"Ayo, lambaikan tanganmu juga Banu. Biar bagaimanapun kamu juga adalah putri dari mendiang Shahanshah Syapur." Ajak Firuz pada Shahrbanoe.

Shahrbanoe dengan pelan menggelengkan kepalanya, rambut panjang hitamnya yang tergerai terkibas-kibas oleh gelengan kepalanya.

"Ahh...T-tidak kak, terimakasih, tapi aku rasa Kakaklah yang lebih pantas." Ucap Shaharbanoe dengan lembut dan malu-malu sambil mengulum senyum tipis. Shahrbanoe meski masih belia, namun mengetahui posisinya sebagai seorang perempuan, dan merupakan anak kedua dari istri kedua sang mendiang ayah. Ia sadar betul akan posisi dan kedudukannya. 

"Bicara apa kamu." Ucap Firuz, terkejut dengan ucapan Shahrbanoe. 

Firuz meraih lengan Shahrbanoe, dan mengangkat tangan sang adik keatas lalu melambaikan tangan mereka pada rakyat di bawah sana. Terdengar khalayak rakyat di bawah sana menyorakkan nama Sang Kaisar dan Sang Putri ; keduanya adalah trah dari Shahanshah Syapur meski berbeda ibu.

Terkejut dengan apa yang dilakukan sang Kakak, membuat Shahrbanoe agak tersentak. Shahrbanoe menoleh pada sang kakak, melemparkan senyuman polos pada Firuz, yang dibalas dengan senyuman hangat dari sang kakak. Bahagia mengarus di hati Shahrbanoe, karena sang kakak amat menyayangi dan menghargai betul kehadiran dirinya. Begitu juga Firuz, baginya, Sharhbanoe adalah satu-satunya keluarga yang ia miliki saat ini, ada rasa bahagia di hatinya, bahwa ia tidak sendirian di dalam Istana yang megah ini, karena ada kehadiran sang adik dalam kehidupannya.

Era baru bagi Kekaisaran Parseia telah dimulai.

***

Titah pertama Shahanshah Firuz adalah mengadakan pesta besar di Ibukota selama tujuh hari tujuh malam, Pesta ini dilangsungkan sebagai bentuk rasa syukur dan kebahagiaan atas didaulatnya Shahanshah baru bagi seluruh Kekaisaran Parseia. Sebagai tambahan atas bentuk rasa syukurnya karena telah menjadi Shahanshah, Firuz memerintahkan untuk menyembelih sepuluh ribu ekor sapi dan kambing, yang kemudian dibagi-bagikan pada rakyat yang membutuhkan.

Ketika menjelang malam, suasana setiap ruas jalan, terutama alun-alun besar ibukota begitu meriah oleh para pedagang yang bersorak-sorai pada orang yang lalu lalang untuk menjajakan dagangannya, bau gurih daging menyeruak dari pedagang makanan yang menjajakan makanannya di pinggir jalan, riuh orang mengobrol, suara dentingan gelas tanda bersulang, dan sendok yang menyentuh piring terdengar di kedai-kedai makan, para pria wanita, baik itu tua, muda, dan kanak-kanak, yang menari-nari penuh rasa senang dan bahagia diiringi musik tradisional Parseia yang dimainkan oleh orkes musik jalanan. 

Di satu sudut alun-alun, terdapat sebuah kedai bir yang terlihat cukup ramai dikunjungi oleh para konsumen yang menikmati bir, atau arak yang memiliki kadar alkohol yang cukup tinggi. Selain hidangan bir dan arak, pemilik kedai juga mendatangkan gadis-gadis penari untuk menghibur para konsumen, para gadis-gadis penari ini rata-rata cukup cantik dan semuanya memiliki tubuh yang langsing, mereka menari dengan gemulai diringi musik.

Diantara para konsumen yang duduk di deretan bangku Kedai bir, terdapat seorang perwira tentara Kekaisaran Parseia yang juga sedang menikmati hidangan bir langganannya ini, di sebelah dan di depannya duduk dua prajurit yang berpangkat rendah, menemani sang perwira minum.

"Satu gelas lagi!" Seru Delger Altan pada seorang pelayan yang sedang berdiri di meja pelayan. Delger adalah seorang perwira berpangkat kapten didalam tentara Kekaisaran Parseia, Malam ini Delger bersama anak buahnya yang ia kenal baik ; Chimeg, Dan Arman, turut memeriahkan pesta koronasi Shahanshah baru mereka dan juga merayakan kemenangan mereka dalam pertempuran di Dahuk.

Empat gelas bir gandum fermentasi yang terisi penuh, langsung didatangkan oleh si pelayan, seolah-olah si pelayan sudah mengantisipasi pesanan si pelanggan setia sebelumnya. Dengan cepat, Delger menyambar salahsatu gelas bir itu dan meneguk bir dalam gelas itu, Arman hanya geleng-geleng kepala saja melihat kelakuan sang kapten, Jenggot hitam nan lebat Delger tampak basah oleh bir yang tidak dapat masuk ke mulutnya. 

Lengan Delger yang besar dan kekar menyikut rusuk kanan Arman. "Minum, dasar pengecut!" Pekik Delger dengan keras pada Arman. Hanya Arman saja yang belum minum banyak sedari tadi, sementara sang kapten sudah minum bergelas-gelas bir dari tadi, nampaknya pengaruh bir sudah memengaruhi otaknya.

Akhirnya Arman menggengam gelas bir yang masih terisi penuh. Arman menyeruput bir tersebut, rasa panas, pedas dan gurih terasa di tenggorokan dan rongga dada, membuat Arman meringis dan serasa ingin muntah, sementara Delger tertawa terbahak-bahak melihat Arman yang menderita karena tidak terbiasa meminum bir.

Delger adalah tipikal seorang perwira petarung keras, yang menganggap jalan hidup seorang pria ditempa melalui pertarungan dan pertempuran ; Perawakannya tinggi besar karena otot-otot tubuh hasil dari latihan fisik yang keras, kepala yang dicukur plontos, bola mata hitam dan tatapan mata yang tajam, matanya seolah seperti menjorok ke dalam pelupuk, alis hitam yang tebal, dan jenggot hitam yang tebal, namun yang membuat citra diri Delger lebih mengerikan adalah bekas-bekas goresan dan luka parut yang dapat ditemui di pipi kanan, dagu, dan kedua lengan sang kapten. Delger sudah lebih dari dua puluh tahun mengabdi dalam ketentaraan, jauh sebelum Kekaisaran Parseia terbentuk yang ketika itu masih bernama Kerajaan Syapuristan, Arman sendiri pernah mendengar kisah sang kapten ketika ia berjuang bersama Shahanshah yang pertama dalam mendirikan Kekaisaran Parseia, atau ketika sang kapten menghabisi dua puluh orang prajurit Torkiye sendirian dalam suatu pertempuran. Karena itulah, Arman menaruh rasa hormat begitu besar, sekaligus rasa segan, pada sang kapten yang sedang fokus menikmati birnya.

Sedangkan Arman baru setahun yang lalu direkrut ke dalam dinas ketentaraan. Usianya baru tujuh belas tahun. Berbeda dengan perawakan para prajurit kekaisaran pada umumnya, bangun tubuh Arman sedang dan boleh dikata kurus, rambutnya yang hitam dicukur pendek, sementara kedua bola matanya yang berwarna coklat madu terlihat teduh dan tidak mengancam. Arman lebih terlihat sebagai seorang sarjana, ketimbang seorang tentara.

Sebagai seorang putra kedua seorang pegawai tingkat satu Istana, Arman telah memperoleh banyak keistimewaan ; ia dan keluarganya dapat tinggal di dalam lingkungan Istana, menikmati fasilitas di dalam istana, dan mengenyam pendidikan yang lebih baik, Kelebihan inilah yang membuat sang kakak menjadi teman dekat Shahanshah yang baru, dan mendapat kedudukan sebagai pustakawan Istana. Ketika usia Arman mencapai enam belas tahun, Arman meminta izin pada sang ayah untuk bergabung ke dalam dinas ketentaraan, mula-mula sang ayah menolak, namun akhirnya mengiyakan keinginan sang putra bungsu. Arman tidak ingin seumur hidupnya dihabiskan dalam,lingkungan Istana, ia ingin merasakan sesuatu yang baru dalam hidup, dan dunia ketentaraan terlihat menarik baginya.

"Oh ya, apa kau sudah bertemu dengan orangtua dan kakakmu?" tanya Chimeg pada Arman. Bola matanya yang hitam menatap wajah Arman. Chimeg berasal dari etnis Golmon sama seperti sang kapten. Ciri-ciri fisik etnis Golmon adalah bola matanya yang hitam, warna rambut hitam, dan warna kulit yang cerah. Etnis Golmon hidup di kawasan ujung tenggara Kekaisaran.

Arman menggelengkan kepalanya, "Aku belum sempat bertemu keluargaku, mungkin sepulang dari sini baru aku akan dapat menemui keluargaku." Jawab Arman.

Chimeg mengangguk mengerti, "Aku mengerti, tenanglah sebentar lagi juga acara ini akan selesai kok." Ucap Chimeg, kedua mata Chimeg mendelik pada kapten Delger yang sudah menyambar gelas berikutnya. Arman hanya bisa tersenyum maklum melihat kelakuan kaptennya ini.

Setelah mereguk seisi gelas bir barusan, mata Delger yang sudah kelihatan pengar memandang para gadis penari yang sedang duduk bersila di atas panggung.

"Oke, Karena selama di Dahuk tidak ada gadis-gadis yang bisa kucumbui. Maka aku ingin mencumbui gadis-gadis cantik malam ini, kalian berdua kemarilah!" Ujar Delger sambil berseru pada dua gadis penari. Kedua gadis penari itu dengan patuh berjalan kearah bangku tempat Delger duduk, lalu masing-masing gadis itu duduk di atas paha sang kapten. Delger menyampirkan kedua tangannya di sekitar pinggul para gadis penari itu, dan dengan liar tangannya meremas bokong mereka ; membuat kedua gadis itu terkesiap karena terkejut.

"Hai manis, kalian berdua akan menjadi lawan mainku malam ini. Bersiaplah." Ucap Delger pada kedua gadis itu. Sebagai seorang petarung yag keras, Delger mempercayai motto ; 'bekerja dengan keras, bermain dengan keras'. Entah sudah berapa ratus atau berapa ribu orang yang telah ia bunuh di medan laga, dan juga entah sudah berapa banyak gelas bir yang ia minum...Dan perempuan yang ia tiduri. Arman pernah mendengar gosip yang beredar di dalam unitnya, jika sang kapten memiliki anak haram berjumlah lebih dari enam ratus anak, dengan jumlah sebanyak itu, sepertinya sang kapten dapat membentuk satu batalyon sendiri yang terdiri dari anak-anak haramnya, pikir Arman.

"Aku mau menghabiskan malamku di kedai ini, apa kalian berdua mau ikut?, aku tidak masalah berbagi gadis-gadis ini dengan kalian...bukankah kita sudah saling berbagi kesulitan di medan perang, tak enak rasanya kalau tidak berbagi kesenangan juga." Kata Delger pada kedua anak buahnya.

Chimeg menyilangkan tangannya, menolak tawaran sang kapten.

"Tidak, terimakasih pak kapten, tapi saya ada kekasih yang menunggu saya. Tidak baik apabila saya mengkhianati cinta kekasih saya." Jawab Arman, menolak halus ajakan kapten Delger.

Delger tertawa terbahak-bahak mendengar ucapan Arman. "Hahahaha, kesetiaan seorang kekasih ya. Yah...Baiklah aku hormati kesetiaanmu itu." Ucap delger. Ia bangkit dari bangku sambil kedua tangannya disampirkan dengan erat pada tubuh kedua gadis penari itu. Delger lalu menuntun kedua gadis itu ke kamar peraduan di lantai atas.

Chimeg dan Arman memperhatikan sang kapten bersama kedua gadis penari itu sampai menghilang dalam pandangan mereka. Chimeg lalu menatap sahabatnya, sambil menaik turunkan alisnya berkali-kali.

"Malangnya kedua gadis itu, harus menghadapi pedang kapten kita." Kata Chimeg.

"Kuharap perisai kedua gadis itu cukup kuat menghadapi tajamnya pedang kapten kita." Celetuk Arman.

Keduanya kemudian tertawa dengan terbahak-bahak menjadikan kapten mereka sebagai lelucon. Mereka berdua kemudian bangkit berdiri dan berjalan keluar.

"Baiklah, kita berpisah di sini. Sampaikan salamku pada keluargamu dan juga kekasihmu ya." Kata Chimeg.

"Ya, akan kusampaikan, sampai nanti, Chimeg." Jawab Arman.

Keduanya saling berjabat tangan lalu berpisah. Arman berjalan menuju gerbang kedua istana Kekaisran, yang merupakan gerbang masuk kompleks perumahan eselon satu pegawai istana. 

Sudah setahun berlalu sejak ia meninggalkan rumah. Arman merindukan keluarganya, dan juga sang kekasih.

Next chapter