webnovel

14. Aromaterapi (1)

Haris membuka sedikit pintu kamar mandi dan melihat keadaan sekitar.

Benar dugaannya, Hasan berdiri dengan wajah tersenyum manis. Dia tampak sangat mencurigakan.

"Saya bawakan handuk," ujarnya singkat.

Ketika Haris menjulurkan tangan, Hasan menjauhkan handuk yang terlipat dari jangkauan wakil direktur itu.

"Biar saya bantu pakaikan."

"Aku bisa pakai sendiri."

"Saya kan sudah janji akan memijit Bapak." Hasan bersikeras dan menarik keluar atasannya yang berwajah kesal. Tapi pemuda itu memakaikan kimono handuk dengan cepat. Dia bahkan menyiapkan handuk kecil untuk rambut Haris yang masih basah.

Handuk yang fluffy, tebal, lembut dan hangat, membuat Haris kembali nyaman. Selain itu, ada aroma berbeda dibanding saat dia masuk tadi. Ada aroma coklat dan lainnya, seperti kayu terbakar.

"Saya menyalakan air diffuser agar Pak Haris rileks. Silahkan berbaring."

Mata Haris menatap curiga ke arah Hasan, lalu ke kain yang dibentangkan di atas kasur.

"Ayo, jangan sungkan," ujar Hasan sambil mendorong punggung atasannya ke arah kasur. Dia kemudian meminta Haris untuk bertelungkup.

Haris memutuskan untuk menuruti Hasan saat ini. Tapi jika ada tanda-tanda pemuda itu bertindak melenceng, dia akan segera kabur.

"Saya akan mulai dari kepala," ujar Hasan seperti pemijat profesional.

Tidak lama kemudian, Haris merasakan jari-jari besar dan panjang milik Hasan mengusap kulit kepalanya perlahan. Ujung jarinya lalu menekan pelan di kening dan tempat lain yang membuat pertahanan Haris langsung runtuh. Sebentar saja, Haris sudah menikmati pijatan dengan mata tertutup.

"Permisi, saya turunkan sedikit handuknya," ujar Hasan yang kini menarik kerah hingga pundaknya terbuka.

"Saya pakai minyak aromaterapi racikan sendiri, kalau terasa panas atau gatal, tolong Pak Haris segera bilang," bisik Hasan dengan suara beratnya tepat di telinga Haris.

Lelaki yang lebih tua itu hanya menganggukkan kepala.

Setelah mendapat persetujuan dari Haris, Hasan berpindah ke daerah tengkuk dan pundak. Gerakannya lambat tapi presisi, melumatkan semua ketegangan otot di pundak Haris yang kaku.

"Kapan Pak Haris terakhir pijat?" tanya Hasan dengan berbisik, agar tidak memecah konsentrasi Haris dalam menikmati kelincahan tangannya.

"Tidak, tidak pernah," jawab Haris disusul helaan nafas pelan saat Hasan menekan di bagian tulang selangka pundaknya.

"Ah! Ah~..." erang Haris ketika jari Hasan berpindah ke bagian belikat. Spontan duda itu menutup mulutnya.

"Hahaha..." Hasan hanya tertawa kecil dengan suara rendahnya. "Tidak usah malu, Pak. Dan tolong luruskan tangan Bapak."

Perlahan, Hasan mengatur tangan Haris agar kembali ke tempatnya semula.

Momen selanjutnya adalah siksaan dan kenikmatan bagi duda beranak satu itu. Bagaimana tidak, tiap Hasan menekan keras tempat yang menurutnya biasa saja, Haris merasa nyeri sesaat. Yang muncul kemudian adalah nikmat yang tidak bisa dia ungkapkan dengan kata-kata.

Dan bukan hanya di lokasi itu saja, aliran itu seperti mengalir ke ubun-ubun dan bagian lain tubuh Haris. Kulitnya juga lebih sensitif, menerka-nerka kemana lagi jari Hasan akan menyentuhnya.

"Bagaimana degan sebelah sini?" tanya Hasan sambil menahan senyum. Kimono yang dipakai wakil direktur itu kini hanya menutupi pantat dan sebagian kecil pahanya. Tangan Hasan dengan telaten, menekan sepanjang tulang punggung pria di bawahnya.

"Mmm..." gumam Haris. Lalu saat tangan Hasan mencapai sekitar rusuknya, Haris tidak bisa lagi menahan desahan panjang yang membuatnya malu.

"Uhm, sudah, Hasan. Aku rasa sudah cukup," ujar Haris sambil berusaha bangun. Tapi pada saat yang sama, kimono yang Haris kenakan tidak bisa menutupi bagian pribadinya yang sudah mengeras.

Haris segera menutupkan tangannya saat mata Hasan terarah ke bawah sana. "Tidak! Ini bukan seperti yang kamu kira. Pijatanmu hanya terlalu enak dan..."

Duda itu kembali menutup mulutnya sebelum dia mengatakan hal yang lebih memalukan lagi. Dia khawatir kalau Hasan akan berpikiran keliru tentangnya.

Namun saat Haris melihat ke wajah pemuda itu, Hasan hanya tersenyum kecil.

"Apa Bapak yakin kalau tidak apa-apa pergi dalam keadaan begitu? Saya bisa membantu dengan senang hati."

"Terimakasih. Aku akan mengurusnya sendiri," sahut Haris sambil kembali merapikan kimononya dan melangkah menjauh.

"Bagaimana kalau Pak Haris gantian membantu saya?"

Pertanyaan Hasan menghentikan langkah Haris. Dia pun berbalik dan melihat kalau Hasan dalam keadaan yang tidak jauh lebih baik darinya. Haris bahkan bisa melihat puncak tenda yang warnanya sedikit gelap, sedikit basah.

Tanpa ragu, Hasan mengusap-usap miliknya yang masih tertutup celana pendek.

Haris tidak bisa mengalihkan pandangan dari sosok Hasan yang tengah bermain sendiri, dengan tatapan mata yang lurus terarah padanya. Seolah menantang Haris melakukan hal yang sama, lepas dari cangkang kesehariannya yang monoton.

Duda itu bisa menahan kalau untuk kepentingannya sendiri. Tapi Hasan bukan hanya sekretaris biasa. Pemuda itu mengulurkan tangan saat Haris membutuhkan bantuan. Dan sudah jadi tanggungan wakil direktur untuk mengurus dengan baik orang-orang yang bekerja dengannya.

Tangan Haris meraih gagang pintu dan memutar kuncinya sebelum berjalan pelan ke arah Hasan. Bagai orang yang terhipnotis. Lalu, duduk di sebelah Hasan dengan tatapan yang panas.

Tanpa menunggu lebih lama, tangan Hasan menarik kerah Haris dan sebentar saja bibir mereka sudah beradu. Masing-masing berusaha mendominasi yang lain. Saling dorong, saling tarik, saling hisap dan menjilat.

.

.

Hi, Kak Pembaca, bantu like, subscribe, kasih power stone atau komentar, ya.

Jujur, Valluca ga yakin ada yang baca sampai sini karena ga ada yang support. Anggap aja absen 🤭

Next chapter