webnovel

Chapter 42

Riveria melangkah keluar dari perpustakaan, pikirannya masih dipenuhi oleh bayangan Aiz dan Shirou yang berdansa bersama. Suasana yang ia rasakan ketika mengamati mereka sangatlah aneh—campuran antara kebahagiaan melihat muridnya, Aiz, bahagia, dan kecemburuan yang tak bisa ia hilangkan. Riveria jarang sekali merasakan perasaan seperti ini, dan itu membuatnya gelisah.

Sebagai salah satu pemimpin Loki Familia, Riveria selalu merasa tanggung jawab besar di pundaknya. Ia adalah sosok yang dihormati, mentor bagi banyak anggota Familia, dan pemimpin yang bijaksana. Namun, ketika menyangkut Shirou, perasaan yang ia miliki sulit ia kendalikan. Terkadang ia merasa, statusnya sebagai mentor dan pemimpin menghalanginya untuk bisa dekat dengan Shirou lebih dari sekadar rekan atau guru. Bagaimana mungkin seseorang seperti dirinya, yang selalu menempatkan kewajiban di atas segalanya, bisa membiarkan perasaan pribadi mengintervensi tugasnya?

Dengan langkah tenang, Riveria berjalan melewati lorong-lorong Twilight Manor. Di tengah perjalanan, dia bertemu dengan Loki, yang sedang dalam suasana ceria, seperti biasanya.

"Hei, Riveria! Sedang apa kamu di sini? Mengintip murid-muridmu berdansa, ya?" goda Loki, mengedipkan mata nakal sambil tersenyum lebar.

Riveria menghela napas kecil, menyingkirkan kecanggungannya. "Aku hanya memastikan mereka mempersiapkan diri dengan baik," jawabnya datar, meski di dalam hati ia tahu bahwa Loki bisa saja merasakan kegelisahannya.

Loki tertawa kecil, tapi kemudian ekspresinya berubah lebih serius. "Ngomong-ngomong soal pesta nanti malam... Kamu tahu kalau Shirou nggak ikut, kan? Cuma Aiz yang bakal pergi bersamaku. Shirou sendiri yang memutuskan untuk tetap tinggal di manor," jelas Loki.

Riveria merasa sedikit terkejut mendengar hal itu, meskipun dia berusaha menyembunyikan reaksi emosionalnya di depan Loki. Shirou tidak jadi ikut pesta? Mengapa dia tidak pergi? Riveria mulai merasa perasaan campur aduk kembali muncul. Di satu sisi, dia merasa lega karena Shirou tidak akan berada di sana, sehingga dia tidak perlu menyaksikan Shirou menarik perhatian para dewi lain. Namun, di sisi lain, dia juga merasa cemas. Apa alasan Shirou tidak mau ikut?

"Oh, begitu," jawab Riveria singkat, berusaha untuk tidak terlalu menunjukkan perasaannya.

Loki, yang terkenal dengan kepekaannya terhadap emosi orang lain, hanya tersenyum licik. "Jangan terlalu dipikirin, Riveria. Dia pasti punya alasannya sendiri. Lagipula, ini mungkin kesempatan bagus buat Aiz. Biarkan dia menikmati malamnya," tambah Loki dengan nada menggoda sebelum melanjutkan langkahnya.

Riveria menatap punggung Loki yang semakin menjauh, pikirannya kembali melayang ke Shirou. Rasa campur aduk yang ia rasakan semakin membuatnya bingung. Dia merasa seolah ada tembok yang menghalangi dirinya untuk lebih dekat dengan Shirou, tembok yang ia ciptakan sendiri—tanggung jawabnya sebagai mentor dan pemimpin. Tapi, di dalam hatinya, Riveria tahu bahwa perasaan itu semakin sulit ia abaikan.

Dengan langkah yang lebih berat, Riveria melanjutkan perjalanannya, berharap bisa meredakan gejolak yang ada di dalam hatinya.

Riveria melangkah perlahan menuju kamarnya, pikirannya dipenuhi berbagai perasaan yang bercampur aduk. Begitu pintu kamarnya tertutup, ia langsung menuju meja tempat papan latihan yang pernah Shirou berikan padanya. Riveria memegang papan itu dengan lembut, jemarinya menyentuh ukiran kata-kata yang Shirou tuliskan: "Aku bersyukur telah bertemu denganmu."

Kata-kata itu selalu membuat hatinya menghangat. Shirou bukan hanya seorang yang membimbingnya—ada sesuatu yang lebih dalam yang kini ia rasakan. Setiap kali Shirou mengajarkannya Magecraft, ada kedekatan yang tak pernah ia rasakan sebelumnya, sebuah kenyamanan yang sulit dijelaskan. Di setiap momen bersama Shirou, Riveria merasakan dirinya bisa kembali menjadi seorang gadis muda, jauh dari beban tanggung jawabnya sebagai salah satu pemimpin Loki Familia.

Sambil tersenyum lembut, Riveria membiarkan pikirannya melayang pada semua kenangan indah bersama Shirou. Bagaimana Shirou dengan sabar menunjukkan cara-cara Magecraft, selalu mendukungnya saat ia merasa kesulitan, dan betapa Shirou membuatnya merasa istimewa, meskipun Riveria tahu bahwa ia sering menyembunyikan perasaannya.

Riveria menghela napas panjang, dan dalam hati ia akhirnya memutuskan sesuatu. Selama ini, ia selalu menjaga jarak. Di depan umum, ia harus mempertahankan citranya sebagai pemimpin yang tegas dan tidak boleh membiarkan perasaannya mengganggu tugasnya. Tapi di gudang itu, di tempat di mana hanya ada dia dan Shirou, dia bisa membiarkan dirinya menjadi seseorang yang lebih bebas. Di sana, ia tidak perlu memikirkan statusnya sebagai mentor atau pemimpin. Ia bisa menjadi dirinya sendiri, seorang gadis yang menikmati kebersamaannya dengan Shirou.

Dengan tekad yang sudah bulat, Riveria duduk di meja kerjanya, mengambil selembar kertas, dan mulai menuliskan pesan singkat. Pesan itu sederhana, tetapi jelas: "Temui aku di gudang malam ini." Ia tahu bahwa Shirou akan mengerti maksudnya. Di gudang itu, mereka bisa melanjutkan pelajaran Magecraft, tetapi yang lebih penting, Riveria tahu bahwa di tempat itu, ia bisa merasakan kebebasan tanpa batasan formalitas.

Setelah menulis surat itu, Riveria melipatnya dengan hati-hati dan menyelipkannya ke dalam amplop. Dengan langkah tenang, dia keluar dari kamarnya dan berjalan menuju kamar Shirou. Saat sampai di depan pintu, Riveria dengan hati-hati menyelipkan surat itu di bawah pintu, berharap Shirou akan menemukannya.

Riveria berdiri sejenak di depan pintu, merasakan debaran kecil di dadanya. Meski ia adalah seorang pemimpin yang bijaksana dan kuat, di saat-saat seperti ini, dia merasa seperti seorang gadis biasa yang menunggu respons dari seseorang yang ia sukai. Setelah beberapa detik, Riveria tersenyum kecil, lalu berbalik dan kembali ke kamarnya, menanti pertemuan mereka nanti malam di gudang.

Riveria berdiri di depan cermin, tangannya dengan lembut merapikan rambut panjang hijaunya yang terurai. Pikirannya tak bisa lepas dari bayangan Aiz dan Shirou yang berdansa bersama di perpustakaan tadi. Aiz dengan gaun hijau muda dan kalung emerald tampak serasi dengan Shirou yang mengenakan tuksedo hitam. Meskipun Riveria berusaha menekan perasaan cemburunya, itu tetap muncul di dalam hatinya.

"Aiz memang selalu tampak cantik," gumamnya pelan, menatap bayangannya di cermin.

Namun, ada perasaan dalam dirinya yang tak bisa diabaikan. Riveria tahu bahwa ia juga bisa tampil cantik dan anggun, meski biasanya ia lebih memilih untuk tampil sederhana dan formal. Kali ini, dia tidak ingin hanya menjadi pemimpin yang dihormati atau murid yang sedang diajari. Malam ini, di gudang yang mereka rahasiakan, dia ingin Shirou melihatnya sebagai seorang wanita.

Tak mau kalah dengan Aiz, Riveria membuka lemari dan memilih gaun terbaiknya. Gaun hijau zamrud yang serasi dengan warna rambut dan matanya tampak sempurna. Potongannya anggun namun sederhana, menonjolkan keanggunan alaminya tanpa berlebihan. Dia menyematkan beberapa aksesori berkilauan, kalung sederhana yang mempertegas kemurnian penampilannya, dan anting-anting perak yang menjuntai dengan elegan.

Ketika dia selesai berdandan, Riveria menatap cermin sekali lagi, memastikan bahwa semuanya sempurna. Wajahnya yang biasanya tegas kini tampak lebih lembut, dengan sedikit sentuhan makeup yang membuat kecantikannya semakin bersinar. Gaun itu menempel dengan sempurna di tubuhnya yang ramping, memberikan kesan anggun dan kuat pada saat yang bersamaan.

Riveria tersenyum kecil pada dirinya sendiri. Dia bisa membayangkan ekspresi terkejut Shirou saat nanti menemuinya di gudang. Shirou mungkin tidak menyangka bahwa wanita yang biasanya ia ajari Magecraft bisa tampil berbeda seperti ini.

Di dalam hatinya, Riveria berharap malam ini bisa menjadi sesuatu yang lebih dari sekadar pelajaran Magecraft. Meskipun ia tidak akan mengungkapkan perasaannya secara langsung, dia ingin Shirou mulai melihatnya dari sudut pandang yang berbeda—bukan hanya sebagai pemimpin yang dihormati, atau sebagai murid yang diajarkan, tetapi sebagai seorang wanita yang berusaha menarik perhatiannya.

Dengan napas dalam, Riveria merasa siap. Dia mengambil mantel tipis untuk dikenakan di luar gaunnya dan dengan tenang melangkah keluar dari kamarnya. Malam ini, dia akan membiarkan Shirou melihat sisi dirinya yang selama ini tersembunyi—sisi yang hanya ia perlihatkan untuk seseorang yang spesial.

Riveria tiba di gudang dengan langkah ringan, jauh lebih awal dari waktu yang ia janjikan kepada Shirou. Hati-hatinya melirik sekeliling, memastikan tidak ada yang melihatnya. Gudang itu adalah tempat biasa mereka berlatih Magecraft, namun malam ini, ia ingin suasananya terasa berbeda. Di sini, dia tidak hanya akan menjadi murid yang diajari, tapi juga seorang wanita yang ingin menarik perhatian pria yang ia sukai.

Begitu masuk, Riveria mulai merapikan ruangan. Dia menggeser beberapa peralatan ke sudut-sudut ruangan agar ruangnya lebih luas dan terasa nyaman. Sinar bulan yang masuk dari jendela kecil di atas menambah cahaya alami yang lembut, tetapi itu belum cukup. Dia meraih beberapa lilin dari rak dekat pintu dan menyalakannya, meletakkannya di sudut-sudut ruangan untuk menciptakan atmosfer yang lebih hangat dan romantis. Wewangian lembut dari parfum bunga yang ia bawa juga memenuhi ruangan, menciptakan suasana yang tenang namun penuh kehangatan.

Setelah semua persiapan selesai, Riveria berdiri sejenak, menatap sekeliling. Gudang yang biasanya dipenuhi dengan peralatan dan buku-buku kini terasa lebih intim. Udara yang dipenuhi aroma bunga dan cahaya lilin yang redup memberikan kesan romantis yang ia inginkan. Namun, saat semuanya telah siap, tekad yang awalnya begitu kuat dalam dirinya mulai goyah.

Riveria menghela napas dalam-dalam. Kegugupan tiba-tiba menyergapnya. "Apa yang sedang aku lakukan?" pikirnya. "Aku bukan gadis muda lagi. Kenapa aku melakukan ini?" Meskipun ia adalah seorang Elf yang berumur panjang, cinta dan perasaan romantis bukanlah sesuatu yang sering ia rasakan. Ini kali pertama ia benar-benar jatuh cinta, dan ia tak bisa menghindari rasa gugup yang menyertainya.

Berbagai pikiran mulai berputar dalam benaknya. Bagaimana jika Shirou tidak melihatnya seperti yang ia harapkan? Bagaimana jika Shirou hanya menganggapnya sebagai pemimpin, mentor yang dihormati, tetapi tidak lebih dari itu? Bagaimana jika Shirou masih merasa terikat dengan orang-orang di masa lalunya?

Riveria menggigit bibir bawahnya, mulai overthinking. "Aku tidak pernah melakukan hal seperti ini sebelumnya," bisiknya pelan. "Apa yang akan Shirou pikirkan saat melihatku seperti ini? Apa aku terlalu memaksakan diri?" Wajahnya sedikit memerah saat memikirkan kemungkinan-kemungkinan itu. Dia adalah sosok yang selalu tenang dan penuh kendali di setiap situasi, tetapi malam ini, semua terasa berbeda.

Namun, di tengah kegugupannya, Riveria mencoba menenangkan dirinya. Shirou adalah orang yang selalu sabar dan baik hati, seseorang yang tak pernah memperlakukannya dengan kurang hormat. Dia yakin bahwa apapun yang terjadi malam ini, Shirou akan tetap menghargai perasaannya. Meski begitu, perasaan jatuh cinta yang baru ia rasakan ini membuatnya merasakan ketidakpastian yang aneh—sebuah hal yang sangat jarang ia alami sepanjang hidupnya.

Sambil menunggu Shirou tiba, Riveria duduk di sudut ruangan, mencoba mengatur napasnya dan meredakan kegugupan yang terus menggelayut di pikirannya. Malam ini, meskipun hatinya penuh dengan keraguan dan rasa gugup, dia bertekad untuk menunjukkan sisi dirinya yang selama ini ia sembunyikan. Dan meskipun cinta ini baru, Riveria tahu bahwa ini adalah kesempatan untuk membuka hatinya kepada Shirou.

Shirou melangkah masuk ke dalam gudang, matanya segera tertuju pada Riveria yang berdiri anggun di tengah ruangan. Cahaya lilin yang redup memantulkan kilau lembut dari gaun hijau zamrud yang membalut tubuhnya dengan sempurna, sementara aroma parfum bunga yang menyelimuti ruangan menambah pesona dewasanya. Untuk beberapa detik, Shirou hanya bisa terdiam, terpesona oleh keanggunan Riveria yang begitu berbeda dari biasanya.

"Riveria...?" suaranya terdengar pelan, matanya masih tidak bisa lepas dari sosok di depannya. "Kenapa kau berpakaian secantik ini?"

Riveria yang awalnya tersenyum senang melihat reaksi Shirou, tiba-tiba merasakan jantungnya berdegup lebih cepat. Di dalam hatinya, dia panik. Shirou terlihat begitu terkejut, dan dia tidak ingin pria itu tahu alasan sebenarnya mengapa dia berpakaian seperti ini. Riveria tidak ingin Shirou tahu kalau dia sebenarnya cemburu melihat Aiz berpakaian indah, menarik perhatian Shirou sebelumnya. Dia juga tidak ingin terlihat lemah di depan Shirou—sosok yang selama ini dia pandang dengan hormat dan kagumi.

Shirou, yang kebingungan dengan reaksi Riveria, mencoba mencari petunjuk dari ekspresinya. Riveria biasanya begitu tenang dan tegas, namun kali ini, ada sesuatu yang berbeda. Dia tampak terdiam sejenak, seolah-olah sedang memikirkan apa yang harus dikatakan.

Dengan cepat, Riveria berdehem pelan untuk menenangkan dirinya. Sebuah ide tiba-tiba melintas di pikirannya, dan dengan senyum lembut di wajahnya, dia berkata, "Aku merasa kasihan melihatmu tidak jadi pergi ke pesta. Jadi, kupikir... kenapa tidak kita adakan pesta kecil di sini? Hanya kita berdua."

Shirou tersenyum mendengar jawaban Riveria, merasa terhibur oleh usahanya untuk menggantikan pesta yang ia lewatkan. Namun, ketika dia menyadari bahwa dirinya hanya mengenakan pakaian santai, dia merasa sedikit tak enak. Berdiri di depan Riveria yang begitu anggun dan cantik, dia tampak tidak serasi. Namun, dengan cepat, sebuah ide muncul di benaknya.

"Tunggu sebentar," kata Shirou sambil tersenyum. Dalam sekejap, dengan magecraft-nya, Shirou memprojeksi tuksedo yang pernah dia coba di ruang Loki tadi. Pakaian itu muncul di tubuhnya dengan sempurna, membuatnya terlihat jauh lebih cocok berdampingan dengan Riveria.

Riveria menatap Shirou dengan kagum. Bagaimana bisa seorang pria yang biasanya bersikap rendah hati dan sederhana, tiba-tiba berubah menjadi sosok yang begitu elegan dengan tuksedo yang pas di tubuhnya? Meskipun di dalam hatinya masih ada rasa gugup, Riveria tidak bisa menahan senyumnya. Kini, mereka tampak serasi, seperti pasangan yang siap menghadiri pesta besar bersama.

Shirou melangkah mendekati Riveria dan berkata dengan nada lembut, "Jika ini adalah pesta kita, maka aku merasa terhormat bisa berdansa denganmu, Lady Riveria."

Riveria tersenyum, sedikit tersipu mendengar panggilan itu. Malam ini, meski hanya di sebuah gudang sederhana, terasa istimewa. Dan untuk pertama kalinya, Riveria merasa bahwa ini bukan hanya tentang pelajaran atau statusnya sebagai pemimpin dan murid, tetapi tentang dua hati yang saling berbagi momen indah bersama.

Shirou tersenyum, lalu dengan sebuah gerakan tangan sederhana, ia memprojeksi sebuah gramofon tua di hadapan mereka. Alat musik klasik itu tampak antik namun sempurna dalam detail, dan dalam sekejap, alunan musik lembut mulai memenuhi ruangan. Riveria, yang sudah terbiasa dengan dunia sihir, terkejut dan bertanya sambil mendekati gramofon itu, "Apakah ini alat sihir?"

Shirou menggeleng pelan, masih tersenyum, "Bukan, ini bukan alat sihir. Meskipun aku memprojeksinya dengan Magecraft, gramofon ini hanyalah teknologi dari dunia tempatku berasal." Dia melangkah lebih dekat ke gramofon, menunjukkan bagaimana jarum piringan berputar di atasnya, menciptakan musik dari lempengan piringan hitam yang tertancap di alat tersebut.

Riveria menatap dengan mata penuh kagum, mencoba memahami bagaimana alat semacam itu bisa menghasilkan musik tanpa adanya sihir. Baginya, itu seperti sihir yang berbeda dari yang pernah ia ketahui, namun masih mengandung keajaiban tersendiri. "Dunia yang kau tinggali dulu... benar-benar luar biasa. Teknologi seperti ini, tanpa sihir, terasa seperti sesuatu yang ajaib bagiku."

Shirou hanya tersenyum mendengar komentar itu. Bagi Riveria, dunia tanpa sihir mungkin aneh dan tak terbayangkan, tapi bagi Shirou, teknologi adalah cara manusia menghadapi dunia mereka tanpa bantuan kekuatan mistis. "Aku senang kau menyukainya," katanya pelan.

Alunan musik lembut terus mengalir dari gramofon, mengisi ruangan dengan suasana romantis yang tenang. Melihat Riveria yang terkesima dengan musik itu, Shirou kemudian menatapnya dengan lebih serius dan mengulurkan tangannya ke arahnya, "Kalau begitu, bolehkah aku mengajakmu berdansa sekali lagi?"

Riveria mendongak dari gramofon, dan untuk sekejap, hati kecilnya bergetar. Melihat Shirou dengan tangan terulur ke arahnya, dengan tuksedo yang ia pakai, membuat sosok pria itu tampak lebih dewasa dan penuh kharisma. Tanpa ragu, Riveria meletakkan tangannya di tangan Shirou, lalu tersenyum halus, "Tentu saja. Aku akan sangat senang."

Mereka mulai berdansa dengan alunan musik yang mengalir dari gramofon. Langkah mereka kali ini jauh lebih mulus dari sebelumnya, berkat bantuan Riveria yang sudah mengajarkan mereka teknik yang benar. Tetapi di sini, suasananya berbeda. Tidak ada Aiz yang menemani, tidak ada tekanan atau keperluan untuk tampil sempurna di depan orang lain. Hanya ada mereka berdua, berdansa dalam keheningan yang lembut, dengan musik sebagai satu-satunya saksi momen itu.

Shirou merasakan bagaimana Riveria bergerak dengan anggun dalam pelukannya. Meskipun dia lebih tinggi dan berwibawa, Riveria terlihat begitu lembut dan rapuh dalam momen ini. Setiap gerakan mereka seolah-olah dipandu oleh angin, dengan alunan musik klasik yang menenangkan.

Di dalam hati, Riveria merasa malam ini sangat istimewa. Tak pernah dia membayangkan bahwa dia, seorang putri High Elf yang agung dan salah satu pemimpin Loki Familia, akan mengalami momen seperti ini dengan seorang pemuda yang datang dari dunia lain. Namun di saat yang sama, dia merasa beruntung telah membuka hatinya untuk pria ini. Dengan Shirou, dia merasa bisa melepaskan semua beban, semua ekspektasi, dan hanya menjadi seorang wanita.

Sambil terus berdansa, Shirou dan Riveria membiarkan diri mereka terbawa oleh suasana. Setiap langkah yang mereka buat, setiap sentuhan tangan, semakin mempererat kedekatan yang telah tumbuh di antara mereka.

Riveria terus menikmati kedekatannya dengan Shirou saat mereka berdansa, matanya tak lepas dari wajah pria yang bergerak lembut bersamanya. Di dalam hatinya, perasaan hangat bercampur suka bergejolak, sesuatu yang jarang ia rasakan. Tatapan mata hijaunya sesekali bertemu dengan mata Shirou, dan setiap kali itu terjadi, jantungnya berdegup semakin cepat.

Dengan hatinya yang tak bisa diam, Riveria akhirnya memberanikan diri untuk bertanya, meskipun ia ragu, "Shirou, apakah kamu lebih menikmati berdansa denganku… atau dengan Aiz?" Suaranya lembut, tetapi ketegangan halus dalam nada bicaranya tak bisa disembunyikan.

Mendengar pertanyaan itu, Shirou terdiam sesaat, gerakannya saat berdansa tampak sedikit kaku. Pertanyaan tersebut membuatnya bingung, dan dia tidak tahu harus menjawab bagaimana. Dia memikirkan jawabannya, tetapi dalam sekejap itu, Riveria bisa merasakan kekakuan yang muncul dari tubuh Shirou. Reaksi itu saja cukup untuk membuat hatinya tersayat.

Riveria menahan napas. Di dalam hatinya, dia tahu bahwa mungkin Shirou belum tentu memilihnya. Bagaimanapun, Aiz adalah gadis muda yang cantik, penuh energi, dan tanpa sadar, Riveria mulai merasa inferior. Keinginannya untuk mendengar jawaban yang meyakinkan kini berubah menjadi rasa takut bahwa jawabannya bukan dirinya.

Sebelum Shirou bisa membuka mulut untuk menjawab, Riveria dengan cepat memaksa dirinya tertawa kecil, meskipun hati kecilnya terluka. "Ah, aku hanya bercanda," katanya cepat, seolah-olah menepis pertanyaannya sendiri. "Tidak perlu menjawab. Kamu bisa menikmati berdansa dengan siapa pun, tak perlu ada perbandingan." Senyum lembut yang menghiasi wajahnya tampak tenang, tetapi di balik senyum itu, ada rasa sesal yang perlahan-lahan merayapi hatinya.

Shirou, yang tidak menyadari pergulatan batin Riveria, hanya mengira bahwa wanita di hadapannya sedang mencandainya dengan pesona dewasa yang biasa ia tunjukkan. Shirou tersenyum kecil, merasa tak perlu terlalu memikirkan pertanyaan itu lebih lanjut. "Tentu saja, berdansa denganmu juga sangat menyenangkan," jawabnya akhirnya, tanpa menyadari bahwa Riveria berharap lebih dari sekadar kata-kata ramah.

Mereka melanjutkan dansa dalam keheningan. Meski langkah mereka tetap anggun, Riveria kini merasa sedikit canggung di dalam hatinya. Dia tidak ingin terlihat lemah, apalagi di depan Shirou, tetapi perasaan yang selama ini ia pendam begitu kuat kini mulai menguasai pikirannya. Namun, dia memutuskan untuk menyembunyikan semua itu, tetap mempertahankan sikap dewasa dan anggun di depan Shirou.

Meskipun Shirou tidak menyadari perubahan halus dalam suasana hati Riveria, momen itu terasa lebih berat bagi Riveria. Di satu sisi, Riveria berharap bisa lebih dekat dengan Shirou, tetapi di sisi lain, ia merasa tidak bisa bersaing dengan perasaan yang Shirou mungkin miliki untuk Aiz.

Namun, dalam sekejap itu, Riveria menyadari bahwa meskipun sulit, ia akan terus menjaga hubungannya dengan Shirou tanpa memaksakan apa pun. Karena, di balik semuanya, Riveria lebih memilih menjaga Shirou tetap dekat di sisinya, meski hanya sebagai teman dan murid, daripada merusak segalanya dengan perasaannya yang ia sendiri belum sepenuhnya yakin akan dibalas.

Selesai berdansa, Riveria tampaknya tidak ingin momen kebersamaannya dengan Shirou cepat berakhir. Dengan gerakan lembut, ia membentangkan karpet di tengah ruangan, menciptakan suasana yang lebih intim dan nyaman. Shirou memperhatikannya dengan bingung sejenak, tetapi tanpa banyak berpikir, dia mengikuti isyarat Riveria dan duduk di atas karpet.

Saat Riveria duduk dekat di depannya, Shirou merasakan sesuatu yang berbeda. Biasanya, Riveria menampilkan aura yang anggun dan penuh wibawa, tetapi kali ini dia terasa lebih hangat, lebih akrab. Sikapnya lebih santai dan terasa ada kehangatan terselubung yang belum pernah Shirou rasakan sebelumnya. Perasaan itu membuat Shirou sedikit canggung, namun dia tetap tersenyum, menghargai momen kedekatan mereka.

Di dalam hati, Riveria sudah memutuskan sesuatu. Dia menyadari bahwa perasaannya terhadap Shirou mungkin belum sepenuhnya berbalas, tetapi dia tak ingin menyerah begitu saja. Baginya, jika dia tak bisa meraih hati Shirou melalui status atau kekuatan, maka dia akan mencobanya dengan menjadi lebih dekat, lebih intim. Dia tidak ingin kehilangan kesempatan ini, terutama setelah melihat bagaimana Aiz dan Shirou semakin akrab. Dalam benaknya, Riveria harus lebih mendekatkan diri, sebelum perasaannya terlalu jauh untuk diraih.

Riveria menatap Shirou dengan lembut, dan setelah keheningan yang nyaman, dia mulai berbicara dengan suara halus. "Shirou, aku ingin tahu lebih banyak tentangmu," katanya. "Kau pernah bercerita tentang dunia tempatmu berasal, tapi... aku ingin tahu lebih dalam. Tentang masa lalumu, tentang apa yang kau alami sebelum datang ke sini."

Pertanyaan itu membuat Shirou terkejut sejenak. Jarang sekali seseorang menanyakan masa lalunya dengan begitu dalam. Wajah Riveria menunjukkan ketulusan, dan Shirou tahu bahwa dia tidak sekadar ingin mendengar cerita biasa. Ada sesuatu yang lebih dalam di balik permintaannya—keinginan untuk lebih memahami dirinya.

"Yah, aku bukan siapa-siapa di dunia asalku," kata Shirou dengan nada rendah hati. "Aku hanya seorang anak yatim piatu yang diselamatkan oleh seseorang bernama Kiritsugu Emiya setelah sebuah tragedi besar. Dia mengajarkanku banyak hal, dan itulah awal dari perjalananku."

Riveria mendengarkan dengan penuh perhatian. Setiap kata yang diucapkan Shirou dia resapi, seolah-olah ia mencoba memahami seluruh hidupnya dari cerita itu. "Kiritsugu?" ulang Riveria. "Apa dia yang mengajarkanmu cara bertarung?"

Shirou tersenyum kecil, mengingat masa kecilnya. "Bukan bertarung. Kiritsugu mengajarkanku tentang kehidupan, tentang cita-cita, tentang bagaimana menjadi 'pahlawan'. Tapi, dia sendiri menanggung beban yang sangat besar dalam hidupnya. Aku ingin meneruskan cita-citanya, meskipun aku tahu... itu tidak mudah."

Riveria menatap Shirou dengan lebih mendalam, kini perasaannya makin dalam pada lelaki di depannya. "Pahlawan, ya?" gumamnya, meresapi setiap kata Shirou. "Sepertinya kau sudah menjadi pahlawan di sini juga, Shirou. Banyak dari kami yang bergantung padamu."

"Ah, aku rasa aku belum pantas disebut seperti itu," jawab Shirou merendah. "Tapi aku akan terus berusaha melakukan yang terbaik."

Melihat Shirou yang tulus dan rendah hati, Riveria merasa semakin dekat dengannya. Di tengah-tengah percakapan mereka, dia semakin yakin bahwa hatinya telah jatuh pada Shirou. Namun, Riveria tetap menjaga ketenangannya, menyembunyikan perasaan yang membuncah di dalam hatinya.

"Meski begitu," lanjut Riveria dengan suara lembut, "Kau telah melakukan banyak hal yang luar biasa, bahkan dalam waktu singkat di sini. Semua orang melihatmu sebagai sosok yang bisa diandalkan."

Shirou hanya bisa tersenyum canggung mendengar pujian itu, namun hatinya tersentuh. Dia tahu bahwa Riveria tidak sering mengungkapkan perasaannya, dan mendengar kata-kata itu darinya sangat berarti.

"Mungkin kau bisa menjadi seperti pahlawan yang kau bicarakan," Riveria menambahkan dengan sedikit senyuman yang tenang. "Tapi aku tahu bahwa bahkan seorang pahlawan pun membutuhkan orang di sisinya. Kau tidak harus menjalani semuanya sendirian, Shirou."

Kata-kata Riveria membuat Shirou tertegun sejenak. Dia tahu, di balik kata-kata lembut itu, ada perasaan yang lebih dalam. Perasaan yang Riveria coba sampaikan, meskipun ia tak mengatakannya langsung.

"Aku mengerti, Riveria," balas Shirou dengan suara lembut. "Terima kasih, aku menghargai semua yang kau katakan. Aku memang terkadang merasa sendirian dengan semua beban ini, tapi mengetahui bahwa ada orang-orang sepertimu yang bisa kuandalkan... itu membuatku lebih kuat."

Riveria tersenyum tipis, puas dengan jawabannya, meskipun dalam hati ia berharap bisa menjadi lebih dari sekadar teman. Tapi untuk saat ini, berada di dekat Shirou, berbagi momen-momen seperti ini, sudah lebih dari cukup baginya.

Percakapan mereka mengalir dengan tenang, dan malam itu, di atas karpet yang sederhana di tengah ruangan gudang yang sunyi, dua hati yang terhubung perlahan-lahan semakin dekat. Meski Riveria belum mengungkapkan sepenuhnya perasaannya, dia merasa bahwa langkah ini adalah awal dari sesuatu yang lebih besar. Dan dia siap menempuh perjalanan itu bersama Shirou, meski perlahan.

Next chapter