Wardana's House
Rangga POV
Aku sudah duduk terdiam di tempat tidur itu sejak setengah jam yang lalu. Mataku menatap darah kering yang menempel di seprei. Aku meremas rambut berulang kali dengan umpatan tertahan.
Gwen masih perawan dan aku merampasnya begitu saja dengan kasar. Aku memperkosa wanita itu secara brutal dan kejam, menyakitinya dengan begitu mendalam.
Dan kini, aku tidak punya keberanian untuk menatap wajah itu. Apa Gwen masih berada di rumah ini?
Saat itulah ketakutan tiba-tiba menusukku begitu kejam.
Aku memakai pakaian asal-asalan dan berlari menuruni tangga dengan bertelanjang kaki, aku langsung menuju kamar Gwen yang pintunya terbuka. Aku masuk dan mendapati ruangan itu kosong. Tubuhku gemetar takut. Mataku menatap lemari dan langsung membukannya.
Pakaiannya masih berada disana, buku-bukunya masih berada di tempatnya. Kemana Gwen?
Aku keluar dari kamarnya dan menuju dapur. Saat menatap Bi Yuni terkesiap takut dan segera menundukkan kepala.
"Dimana Gwen?" Aku bertanya serak.
"Nyonya muda pergi pagi-pagi sekali." Bi Yuni menjawab pelan.
"Kemana?" Desakku tidak sabar.
Bi Yuni menggeleng. "Saya tidak tahu, Tuan Muda. Saat saya bertanya, Nyonya Muda tidak menjawab."
Aku meremas rambut kuat-kuat. Sialan. Seharusnya aku menikam jantungku sendiri setelah ini.
"Apa dia membawa koper?"
"Tidak. Hanya membawa tas kecil seperti biasanya."
"Dia ke kampus?"
Bi Yuni mengangkat wajah, menatapku takut sambil melangkah mondar mandir karena panik. "Nyonya muda hanya memakai pakaian rumah. Sepertinya Nyonya muda tidak ke kampus."
"Telepon." ujarku cemas. "Cepat hubungi dia!" perintahku kasar.
Bi Yuni hanya menggeleng. "Saya sudah mencobanya, tapi ponselnya sepertinya tidak aktif."
"Ponselmu. Berikan padaku."
Bi Yuni menyerahkan ponselnya dan segera mencari daftar panggilan terakhir. Aku buru-buru menghubunginya. Tapi hanya terhubung ke kotak suara.
Aku menghempaskan ponsel ke atas meja setelah beberapa kali mencoba menghubunginya. Terus hubungi dia." pesanku sebelum berlari ke lantai dua menuju kamar.
Gwen tidak pergi ke kampus atau ke tokonya. Sudah berulang kali aku menghubungi Lukas di kampus dan Ruby di tokonya, tapi mereka mengatakan Gwen hari ini dia tidak ada di kampus ataupun di toko.
Aku sedang mondar mandir di dalam ruangan melukisku saat pintu itu terbuka dan Satya menyerbu masuk dengan wajah marah setelah membanting pintu kuat-kuat.
"Apa yang kamu lakukan pada Gwen?" Satya bertanya dengan suara tajam, menatapku lekat-lekat.
"Kamu bertemu dia? Dimana?" aku bertanya dengan tidak sabar.
"Aku tidak akan memberitahumu sebelum kamu memberitahuku apa yang telah terjadi padanya?"
"Dimana dia?" Aku mendesak.
"Kubilang aku tidak akan memberitahumu!" Satya membentak berang. "Apa yang sudah kamu lakukan padanya, hah?!"
Aku hanya bungkam dengan kepala tertunduk.
"Apa yang terjadi, Rangga?" Satya mengguncang bahuku berulang kali. "Aku melihat dia keluar dari kamar Anika sambil menangis, karena penasaran aku mengikutinya keluar rumah dia memesan taksi dan sampai di rumah sakit, saat aku menyapanya, ia begitu ketakutan dan berlari menjauh, aku mengejarnya tapi ia menjauh seolah tengah menatap siluman. Jadi katakan padaku, kenapa Gwen menjadi seperti itu?!"
"Aku memperkosanya."
Dan jawabanku berhasil membuat Satya membeku. Pria itu melangkah mundur dengan wajah tidak percaya.
"Katakan kalau itu semua bohong." ujarnya dengan suara gemetar.
Aku menggeleng, mengangkat wajah dan menatap Satya sungguh-sungguh. "Aku memperkosanya. Merampas keperawanan dan harga dirinya..." belum sempat aku melanjutkan kalimat, Satya menamparku kuat-kuat, bukan hanya sekali, tapi dua kali.
Satya berjalan dengan tangan gemetar. "Apa yang sudah kamu lakukan, Rangga?" desahnya tertahan sambil memejamkan mata. "Kenapa kamu melakukan itu?!" Satya berteriak berang saat ia mengangkat wajahnya.
"Aku tidak tahu." Aku menggeleng lemah, duduk di kursi dengan wajah pucat. "Aku tidak tahu, Sat. Aku bahkan tidak tahu kenapa aku..." bibirku gemetar. "Aku mencambuknya dengan ikat pinggang."
Satya berjalan marah. Pria itu meraih gelas yang berisi air di tengah-tengah meja dan melemparnya ke arahku. Air mengenai wajah dan dadaku sedangkan gelas jatuh berkeping-keping di lantai.
"Aku akan membunuhmu." ujar pria itu dengan nada marah tertahan. "Aku benar-benar akan membunuhmu."
Bahkan sejak aku terbangun, Aku sudah berniat membunuh diriku sendiri.
"Aku..." Satya kehilangan kata-kata. Ia mengusap wajahnya yang basah. "Aku kecewa padamu." ujarnya pelan, menatapku lekat-lekat.
Aku bukan hanya kecewa pada diriku sendiri. Tapi aku membenci diriku melebihi aku membenci siapapun di dunia ini.
Dan tatapan kecewa dari Satya membuatku merasa semakin pantas untuk dibunuh.
"Apa yang kamu pikirkan sampai memperkosanya seperti itu?" Satya mendekatiku dan duduk di atas meja.
Aku diam sejenak, lalu mengangkat wajah dan menatanya. Kemudian aku menceritakan semuanya. Semua hal yang pernah aku lakukan pada Gwen. Dimulai saat aku melihat Gwen memasuki hotel dengan Kevin dalam keadaan mabuk, tepat di malam sebelum ucapara pernikahan kamu, lalu semua pelecehan-pelecehan setelah pernikahan, kalimat-kalimat menyakitkan dan kejadian tadi malam. Aku ceritakan tanpa ada yang aku tutupi.
Satya tidak mampu berkata-kata. Ia menjauhiku dan duduk di kursi.
"Apa kamu pernah mencari kebenarannya terlebih dahulu? Jika kamu tidak memperkosa dan menyadari Gwen masih perawan selama ini, apa kamu masih akan menyakitinya seperti itu?"
Aku tidak tahu apa jawabannya.
"Apa kebenaran ini harus di bayar mahal oleh Gwen?"
"Aku tidak tahu." Erangku tertahan.
"Sekarang bagaimana kita harus menghadapinya, Rangga?" Satya bertanya putus asa.
"Aku tidak tahu jawabannya." Aku tertunduk dalam-dalam. Setiap kali aku memejamkan mata, kenangan itu merobek benakku, memaksaku mengingat semua hal pahit yang aku lakukan pada Gwen. Tangisannya, permohonannya, tatapannya, semuanya menghantuiku.
"Aku butuh waktu." ujar Satya berdiri dan meninggalkanku sendirian. Tapi sebelum mencapai ambang pintu, Satya menatapku. "Aku kecewa padamu." ujarnya pelan. "Tapi aku juga berharap kamu akan memperbaiki semua ini. Berapa lamapun waktunya, perbaiki ini, Rangga. Meski tidak akan kembali utuh seperti sebelumnya, tapi tekatkan kembali pecahan-pecahan yang sudah kamu hancurkan. Hal itu tidak akan mudah. Tapi berjuanglah." lalu Satya menutup pintu dengan pelan.
Apa itu mungkin? Apa aku bisa merekatkan kembali semua kepingan yang telah aku hancurkan itu?
To Be Continued