webnovel

1. Awake

Gaius Julius Caesar

Saat aku menatap bayangan wajahku di permukaan air sungai, semuanya sudah jelas, aku kembali ke bentuk mudaku. Seingat ku rupa yang sedang kulihat adalah diriku saat menginjak usia 19 atau 20 tahunan. Untung saja rahang tegas dan hidung sedikit bengkok yang memancarkan aura kejantananku masih tetap di tempatnya.

Dan saat ku benamkan jari telunjukku ke dalam permukaan air, dapat kurasakan sensasi dingin nan menyegarkan yang memberiku cukup alasan untuk segera meminumnya.

Aku menyatukan dua telapak tanganku dan meminum air sungai tersebut, tenggorokan kering yang seolah tak pernah diberi air pun basah kembali. Dengan rangsangan-rangsangan itu, lengkap sudah alasanku untuk percaya bahwa aku masih hidup.

Terimakasih Jupiter.

Setelah meminum beberapa tegukan, ku berdiri dan mengambil sebuah pedang besi yang tergeletak di sampingku. Entah siapa yang meletakkannya di sini, yang jelas saat aku membuka mata, pedang itu sudah berada di tangan beserta armor besi yang terpakai dengan benar di tubuh, serta sehelai kain merah yang terlipat rapi di samping tempatku terbaring.

Terlintas di pikiran perkataan wanita manis tersebut. 'Bebaskan duniaku, dan akan kutawarkan diriku sebagai imbalannya.'. Aku tahu ada yang salah dengan dunia ini, dan aku tahu kalau aku dibangkitkan kembali tidak secara cuma-cuma.

Tapi dibebaskan dari apa?

Kegelapan? Tapi aku tidak bisa mengubah malam menjadi siang.

Peperangan? Tapi aku mencapai kejayaanku melalui itu.

Perbudakan? Itu salah satu sumber kekayaanku.

Entahlah, akan kupikir nanti. Terlalu banyak berpikir mengakibatkan kebotakan, dan aku tak mau kehilangan rambut lebatku yang kharismatik ini.

Maaf nona, sebelum aku membebaskan duniamu, ada perut yang harus dibebaskan dari rasa lapar. Sekarang aku akan berburu.

Karena sang Jupiter tidak memberiku tombak, aku merakit tombakku sendiri. Kuberitahu, berburu dengan tombak akan jauh lebih mudah dibanding dengan pedang. Aku juga tak mau pedangku jadi tumpul.

Aku mendapatkan tongkat dan batu yang cukup tajam, cukup benturkan dengan batu lain untuk menambah ketajamannya, dan kudapatkan batu runcing yang cukup kuat untuk menembus kulit makhluk hidup.

Selang beberapa saat, tombakku jadi, dan aku siap untuk berburu.

Aku melangkahkan kaki menuju pepohonan yang menjulang tinggi, dan bagian yang paling membosankan dalam berburu pun tiba; mencari mangsa.

Untuk saja aku bertemu dengan seekor rusa dalam lima belas menit. Rusa yang malang.

Malamnya aku berteduh di bawah pohon, beratapkan dedaunan dan dihangatkan oleh api unggun dan daging rusa. Daging sisanya akan membusuk dalam satu hari, jadi ku makan sebanyak mungkin dan sedikit sisanya untuk sarapan. Kalau saja ini musim dingin, mungkin dagingnya bisa bertahan lebih lama.

Setetes air menepuk pipiku, aku sadar hujan telah tiba, sungguh malam yang sial. Besok aku harus menemukan sebuah pemukiman agar bisa berteduh, kebanyakan terpapar air hujan bisa membuatmu sakit.

Biarlah apinya menyala, untuk menakut-nakuti hewan buas agat tidak menyerangku. Asapnya naik, mengisi udara yang tadinya bersih tanpa polusi. Karena hujan, api ini mungkin takkan bertahan hingga satu jam, dan sebelum apinya mati, aku harus tidur.

* * *

Kicauan burung membangunkanku, hujan telah reda, dapat ku ketahui tanpa membuka mata dengan merasakan hawa sejuk yang tak sampai menyentuh kata dingin.

Aku berdiri, menyalakan api, memasak sebagian sisa daging rusa kemarin, menyantapnya, membawa barang-barangku, dan pergi dari sini.

Utara, entah mengapa aku punya naluri untuk pergi ke utara. Terakhir kali aku ke sana, aku menemukan daratan baru yang kuberi nama Britannia.

Dan dengan naluri ini aku pergi ke sana.

Arah yang ku tuju ternyata searah dengan aliran sungai, dan kebanyakan pemukiman dibangun dekat sungai untuk memenuhi kebutuhan pangan penduduknya.

Contohnya peradaban mesir, mereka di bangun di pinggiran sungai nil yang agung, salah satu peradaban tertua yang pernah tercatat dalam sejarah. Dan jauh sebelum mereka, peradaban babilonia telah mendirikan rumahnya di pinggiran sungai Tigris dan Eufrat.

Getebuk getebuk getebuk getebuk

Bunyi langkah kaki kuda kutemui, empat ekor sepertinya. Dibarengi dengan suara gemerisik yang terdengar seperti armor baja. Empat orang kavaleri sedang berada di dekat posisiku.

Dan selang beberapa detik aku bertemu dengan mereka.

Empat orang kavaleri, seperti yang telah kuduga. Mereka membawa Armor perak yang menutupi hampir seluruh tubuh mereka. Di pinggang, terlilit pedang yang tersarung pada sarungnya, dan di kepala, terpakai helm yang menutupi seluruh wajah, dengan lubang garis-garis kecil untuk melihat.

Walaupun armor mereka serupa, tapi aku tahu bahwa yang terdepan adalah perempuan. Pinggangnya cukup kecil jika dibandingkan dengan yang prajurit kavaleri yang lain, serta tengoklah tangannya, itu bukan tangan seorang laki-laki, ukurannya terlalu kecil.

"Berhenti di situ!!"

Yang terdepan berteriak sambil mengeluarkan pedang, suaranya lebih baik disebut melengking daripada tegas, terpenuhilah alasanku menganggapnya seorang perempuan.

"Siapa dan darimana dirimu?" tanyanya.

Yang lain ikut mengeluarkan senjatanya masing-masing, mereka memacu kuda dan bergerak mengepungku.

Dengan dagu sedikit terangkat, aku bertanya; "Atas dasar apa kau menanyakan itu?"

"Entah prajurit dari negara manapun dirimu, yang jelas kau sedang berada di wilayah kerajaan Voretamia. Serahkan dirimu secara damai, atau pertumpahan darah tak dapat dihindari!"

Aku menyiapkan pedangku. "Sayang sekali, sepertinya pertumpahan darah akan terjadi."

Aku menghindari sebuah tebasan dari belakang, kuputar tubuh lalu ayunkan pedang melintasi leher kuda yang ditunggangi si penebas tadi.

Tumbangnya penebas itu memberiku celah untuk keluar dari pengepungan itu. Aku berlari melewati tubuh kuda yang tak bernyawa itu, kemudian berbalik dan menyiapkan kuda-kuda. Sekarang posisiku jauh lebih baik.

Yang ku bunuh tadi adalah kuda salah satu kavaleri, bukan orangnya, jadi mereka masih berjumlah empat orang. Mereka tampak hendak menyerang, namun perempuan itu mengangkat tangannya dengan telapak terbuka, mengisyaratkan untuk pada yang lain untuk diam.

Ia sendiri turun dari kudanya dan berkata padaku.

"Aku ingin pertarungan yang adil." ia mengeluarkan pedang dan mengarahkan ujungnya padaku.

"Tapi sebelum salah satu dari kita mati, aku ingin tahu namamu."

"Aku menolak."

"Tak masalah, tapi, Prajurit negara mana dirimu?"

"Roma, kekaisaran Roma, aku tak bisa menyalahkanmu jika kau tak tahu letaknya."

"Armor mu terlihat mewah, apa kau seorang perwira?"

"Apa itu penting? Semua orang sama rata saat sedang bertarung satu sama lain."

Aku tak bisa melihat ekspresinya saat terdiam di balik helm tertutup itu. Ia menguatkan genggamannya pada gagang pedang dan menguatkan pijakan kakinya, ia siap menghadapi sebuah pertarungan.

Ku ayunkan pedangku, dengan sigap ia menangkisnya dan melakukan serangan balik.

Ayunan demi ayunan ia lancarkan, kecepatannya membuatku takjub, tapi aku cukup hebat untuk menangkisnya. Hanya saja, aku tak bisa melihat celah sama sekali. Semua gerakan yang ia lakukan sangat efektif dalam menyerang sekaligus bertahan. Jika aku memaksakan diri untuk menyerang, dia mungkin sudah menebas kepalaku terlebih dahulu.

Terlebih lagi, lihatlah lapisan baja yang menutupi tubuhnya, mustahil bagiku untuk menembus benda itu dalam sekali pukulan.

Tapi sebuah pertarungan tidaklah semata-mata mengayunkan pedang satu sama lain.

Ku tendang kakinya, tanpa pijakan seimbang ia tumbang dan menghantam tanah yang becek. Melihat kesempatan, ku ayunkan pedangku ke pergelangan tangannya.

Tang!

Sial, sarung tangan besinya terlalu tebal. Tapi walaupun tidak bisa memotong tangannya, aku mampu menorehkan luka yang dalam.

"Keparat!" kutuknya.

Darah mengucur dari tempatku menyerangnya, kini ia tak bisa menggunakan pedang dengan tangan itu.

Aku mengambil sebuah batu besar dan menyerang helmnya menggunakan itu, serangan itu cukup kuat hingga menorehkan sedikit penyokan pada permukaannya.

Target selanjutnya adalah paha bagian belakang yang tak terlindung armor, kutusuk dengan pedangku, kupastikan sedalam mungkin agar ia tak bisa berjalan untuk sementara.

"Aaagh!!"

Ia berteriak, teriakannya sedikit berat karena tertutup helm penyoknya, itu pasti cukup memalukan.

"Berhenti di situ!!"

Para bawahannya bertindak, melanggar aturan yang telah ditetapkan.

Tanpa basa-basi, ku cabut pedangku dan ku arahkan ke leher wanita ini.

"Berhenti, atau ku potong lehernya."

Mereka berhenti.

"Apa yang kalian tunggu?! Tangkap dia!! Dia pasti prajurit dari seberang lautan!!"

Mereka tetap tidak bergeming walau pimpinan mereka (sepertinya) yang menyuruhnya.

Ini adalah kesempatan emas untuk bernegosiasi.

"Ayo berunding."

"Berunding?" salah satu Kavaleri membalas.

"Aku tidak bermaksud memusuhi kalian. Aku hanya sedang tersesat di sini."

"Jangan dengarkan dia! Tangkap!!"

"Aku ingin kalian mengantarkan ku ke pemukiman terdekat, dan nyawa orang ini akan ku ampuni."

"Ampuni?? Jangan bercanda, bunuh aku!"

Kavaleri yang terdepan tampak berpikir sejenak, mengkalkulasikan keuntungan dan kerugian yang ada.

"Katakan saja kau darimana, dan kita akan mengantarmu ke sana." kata kavaleri itu.

"Jenderal ku adalah orang yang buruk, dia pasti akan membunuhku karena tersesat selama dua minggu," bohongku.

Kavaleri itu menoleh ke rekannya satu persatu, semua rekannya mengangguk, mengisyaratkan kesetujuan mereka.

"Baiklah."

Ku tarik sedikit ujung bibirku keatas, perjanjian telah disepakati.

"Sekarang ayo berjabat tangan." aku menyodorkan tanganku, menanti balasan hangat dari kavaleri itu.

Dengan ragu-ragu ia mengulurkan tangannya.

Suatu kesalahan fatal.

Slassh

Ku tebas tangannya, kali ini cukup akurat hingga menembus lapisan baja yang ia kenakan.

"Aaaaah!!"

Ia berteriak, reaksi yang cukup normal untuk orang yang kehilangan tangannya. Tanpa buang waktu ku tusukkan pedangku ke helmnya, satu telah tumbang, sisa dua lagi.

Sisanya langsung berteriak sembari mengayunkan pedangnya, aku melangkah mundur dan memenggal kepala yang terdekat dariku. Hal yang sama kulakukan pada yang terakhir.

Ketiganya mati, berakhir sudah pertarungan ini.

Aku menghembuskan napas lega, tadi itu singkat dan menegangkan. Mata kelabu ku kembali menatap kembali wanita tadi, Dapat kudengar sesenggukan diiringi rutukan dari balik helmnya.

Di samping rutukannya yang tak mengenakkan, aku penasaran dengan wajah di balik helm itu. Tak pernah sekalipun kulihat seorang wanita mengangkat pedang.

Secara paksa ku buka helmnya, yang ku lihat membuatku menganga tak percaya. Tak pernah sekalipun kutemui perempuan secantik dirinya, tak pernah sekalipun dalam hidupku. Dari para lacur, Plebia, hingga Patrisia, tiada yang mampu menyainginya.

Cornelia, Cornelia istriku.. Mungkin ia satu-satunya yang pantas berada di atas perempuan ini.

Mata hijaunya sembab, tampak tak tahan dengan rasa sakit yang kuberikan, mungkin yang paling parah adalah luka bocor di kepalanya karena ku hantam dengan batu tadi. Namun wajah rupawannya justru mengisyaratkan bahwa ia sedang tidak ketakutan, melainkan marah.

Rambutnya hitam, dan agak berantakan, kira-kira panjangnya hanya sepangkal leher. Kulitnya putih kemerahan, bibirnya merah muda nan mungil, terdapat bekas luka sayatan di samping mata kirinya.

"Bunuh aku bajingan!"

Sementara aku terpikat oleh kecantikannya, cairan merah kental masih menetes dari luka yang ku tikamkan.

Jika ia mati, akan sulit bagiku untuk menemukan pemukiman secepat mungkin.

"Kau punya perban?" tanyaku sambil mendekati salah satu kuda yang masih berdiri sedari tadi. Di samping perut masing-masing kuda terdapat tas kecil yang berguna untuk menyimpan barang-barang kebutuhan seorang kavaleri, jadi di situ pasti ada barang yang kubutuhkan.

Ku temukan perban dan air minum yang disimpan dalam botol dari kulit binatang, karena mungkin aku memerlukan air nantinya, tanpa pikir panjang aku ambil saja.

Perban yang ada aku pergunakan untuk dililit ke luka perempuan itu. Ia sempat protes saat tengah ku lilit lukanya, namun akhirnya semuanya beres.

"Sekarang sudah ku ampuni nyawamu dan ku rawat lukamu, aku juga tidak memperkosamu dan menjualmu sebagai budak, sekarang tunjukkan pemukiman terdekat sebagai balasannya."

"Aku tidak memintamu, sialan!"

"Menyerahlah, pertarungan kita telah berakhir."

"Pertarungan kita hanya akan berakhir jika kau membunuhku!"

Sejenak, pandanganku terpaku pada seekor kuda. Tampaknya itu adalah kuda milik wanita ini. Kuda putih yang terlihat elegan dan atletik, harganya pasti sangat mahal.

Ku dekati dan ku elus perlahan, walau sempat ada penolakan tapi ia takhluk sesaat kemudian. "Kuda yang bagus."

"Jangan sentuh dia!"

"Kalau kau tak mau tunjukkan jalannya, akan ku ambil kuda ini."

Aku melompat naik ke atasnya. Terjadi pemberontakan kuat dari kuda ini. Aku terombang-ambing di atasnya selama beberapa menit, hingga akhirnya dia takhluk secara absolut.

"Mustahil! Aku butuh dua bulan untuk menjinakkannya!"

"Itu karena kau bodoh."

Aku melompat turun dari tunggangan kuda, dan mengulurkan tanganku.

"Tunjukkan saja jalannya, nona, aku tahu kau menyayangi kudamu, kan?"

Next chapter