Hari ini hanya ada satu mata kuliah. Setelah itu tidak ada kegiatan lagi. Dark Blue juga lagi proses perbaikan, jadi beberapa karyawan diliburkan sementara. Terutama karyawan-karyawan yang memiliki kesibukan lain sebagai Mahasiswa. Seperti Jasmine.
"Dimana mobil lo? Kok jalan kaki?" suara yang sudah tidak asing lagi.
Langkah kaki Jasmine terhenti. Dia melihat ke arah sumber suara. Gino. Sejak kapan laki-laki gondrong itu berjalan di belakangnya.
Tanpa menjawab, Jasmine melanjutkan langkahnya. Dan Gino mempercepat jalannya sampai sejajar.
"Hari ini gue nggak bisa bimbingan. Besok juga. Gue ada acara yang lebih penting."
Jasmine tetap diam. Dia berpikir bahwa itu hanya alasan Gino untuk menghindar dan lebih mementingkan kumpul bareng teman-temannya.
"Heh. Lo budeg ya?!"
"Kamu nggak usah banyak alasan ya."
"Alasan apa maksud lo?"
"Acara penting yang kamu maksud itu, acara kumpul-kumpul sama temen-temen kamu kan?"
Tangan Gino menghadang tepat di depan wajah Jasmine.
"O wait. Lo pikir gue ngibulin lo? Denger ya. Kali ini gue nggak bohong. Gue bener-bener nggak bisa. Dan terserah lo mau ngatain gue atau lo mau marah sama gue. Gue nggak peduli."
Kalau bukan karena alasan teman-temannya, apa lagi yang membuat Gino bolos? Memangnya acara penting apa? Bukannya dia juga sudah berjanji sama Pak Rio yang juga Iparnya sendiri, bahwa dia akan memperbaiki nilainya?
Sementara dari arah yang berbeda, dengan jarak sekitar 100 meter. Ada Serena dan Bian yang melihat kebersamaan mereka berdua. Meskipun bukan yang pertama kalinya, tapi tetap saja mereka berdua sangat tidak suka. Raut wajah Serena terlihat jelas kalau dia ingin marah. Sedangkan Bian hanya diam memendam kekesalan.
Padahal apa yang Serena dan Bian lihat tidak seperti apa yang ada di pikiran mereka. Karena kebersamaan Gino dan Jasmine saat ini hanyalah untuk kepentingan nilai Gino. Bukan untuk hal lain seperti yang ada di pikiran Bian dan Serena.
"Gue rasa mereka semakin akrab," kata Bian.
Serena tersenyum sinis, "Nggak mungkin lah, Bian. Gue tau seperti apa Gino."
"Dan gue juga tau kayak gimana perasaan lo saat ini." Kedua alis Bian terangkat. Senyumnya meledek sekali.
Sorot mata Serena mendadak berubah. Tajam menatap Bian. Alih-alih berniat menghampiri Gino dan Jasmine, Serena malah berputar arah. Meninggalkan Bian sendiri. High heels nya beradu dengan lantai sehingga menimbulkan suara seperti tapak kaki kuda. Semakin lama semakin menghilang suaranya.
Serena tidak suka dengan kebersamaan Gino dan Jasmine, ditambah lagi ucapan Bian. Kekesalannya semakin bertambah. Dia memutuskan untuk pergi ke kantin dan membeli 1 Box donat berisi 6 biji. Seperti biasa, dia akan langsung menghabiskan semua donat itu tapi dengan syarat, tidak boleh ada satu orang pun yang tahu. Dan selama ini, menurutnya tempat yang paling aman adalah di toilet.
Serena menyembunyikan Box donat di balik kemeja oversize nya. Berjalan Celingak-celinguk seperti pencuri. Memastikan tidak ada yang tahu. Lalu dia makan satu persatu donatnya itu di dalam toilet. Cara makannya pun seperti orang yang tidak makan satu minggu. Tapi setelah habis, dia paksa apa yang sudah dimakan itu untuk keluar lagi.
Setelah Serena memuntahkan kembali makanannya. Dia menutup closet, lalu duduk dan menangis. Tapi tidak berani mengeluarkan suara. Takut menimbulkan curiga mahasiswa lain. Dia menjerit tanpa suara. Tangisnya tertahan.
Dibalik sikapnya selama ini yang sangat tidak peduli dengan sekitar, sebenarnya dia membutuhkan seseorang yang peduli dengannya. Ada rahasia besar yang dia simpan rapat-rapat.
***
Janji adalah janji. Jangan berjanji kalau tidak bisa menepati. Even kepada anak kecil sekali pun. Janji Gino untuk membawa Prince jalan-jalan sudah ditagih sejak dia bangun tidur. Setiap saat, Prince mengingatkan Uncle nya agar jangan sampai lupa dengan janjinya.
Prince dan Gino memang sangat dekat. Mungkin, orang-orang yang tidak tahu akan mengira mereka berdua adalah Ayah dan Anak. Prince suka sekali mengikuti gaya Gino. Baik dari style baju, sepatu, maupun rambut. Dan hari ini, mereka kompak memakai jeans hitam, sepatu putih, kemeja putih dengan kancing dibiarkan terbuka dan kaos hitam. Pakai kaca mata hitam dan rambut keriting yang dibiarkan terurai. Fix, Gino dan Prince seperti anak kembar berbeda jaman. Bukan Rio, Prince benar-benar menjadikan Gino sebagai idolanya. Mungkin karena Rio setiap hari selalu pakai jas, atau pakaian formal, selain itu juga Rio lebih sering keluar kota bahkan keluar negeri. Jadi Prince tidak begitu dekat dengan Papinya. Jika dibanding dengan Rio, Prince lebih dekat kepada Gita. Tapi kalau sudah ada Gino, Uncle G lah Pemenangnya.
Prince hadir dalam keluarga yang para penghuninya super sibuk. Maminya bukan hanya seorang ibu rumah tangga saja. Tetapi juga aktivis sosial dan bisnis woman. Gita memiliki yayasan bernama Nusaibah Foundation, yang konsen dalam pemberdayaan perempuan-perempuan di Indonesia.
Jadi kalau selama ini banyak yang bertanya-tanya kenapa Prince lebih nempel sama Gino? Padahal dia memiliki orang tua yang masih lengkap. Sudah ada jawabannya. Karena Mami dan Papi Prince mendedikasikan hidupnya bukan hanya untuk Prince, tetapi juga untuk orang banyak. Dan bisa jadi juga karena Prince adalah anak tunggal yang selama ini selalu sendiri, jadi saat memiliki Uncle yang sefrekuensi, meski beda generasi, Prince seperti menemukan sosok yang bukan hanya menjadi Uncle tapi juga kakak, teman dan sahabat.
"Prince, Are you ready?"
"Ready, Uncle," jawabnya penuh semangat.
Detik berikutnya Ferrari hitam itu melaju dengan kecepatan tinggi. Prince yang ada di dalam pun berteriak dan tertawa kegirangan.
"Uuhuhuuu... Uncle..."
Gino menengok sebentar. Tawa Prince tak henti terukir. Entah sepenuhnya karena bahagia atau bercampur takut. Tapi yang jelas, Prince menyukai adrenalin itu.
"You oke, Prince?"
"Ya, Uncle. Uuuuu hahaha."
Berada di tol dan bersama dengan Gino adalah sesuatu yang sangat disukai Prince. Hobi Gino pada mobil sport rupanya menular kepada Prince. Sejak kecil, dia suka diajak Gino jalan-jalan dengan berbagai mobil mewahnya.
Tak terasa 5 menit lagi sudah turun dari Tol. Kecepatan mobil akan kembali normal. Dan bisa dipastikan Prince akan protes, "Yah kok pelan sih, Uncle?"
"Udah nggak bisa, Prince. Lihat itu depan. Kamu mau terbang?"
Prince tertawa. Senyumnya manis sekali. Sekilas mirip seperti Gino. Tapi versi mini dan tanpa brewok.
Pondok Indah Mall 2. Tempat dimana Gino dan Prince akan menghabiskan waktu bersama. Sesuai dengan janji.
Gino turun dari mobil dan membukakan pintu untuk Prince. Dua laki-laki tampan dengan style seperti anak kembar beda generasi.
"Uncle, topinya mana?"
"Oh iya, Uncle lupa."
Gino kembali ke mobil untuk mengambil topi putih milik Prince.
Sekarang mereka berjalan bergandeng tangan memasuki Mall. Hari ini Gino mode Ayah able. Atau bahkan suami able. Seandainya para penggemarnya mengetahui sifat Gino yang satu ini. Pasti mereka akan semakin tergila-gila. Sangat jauh berbeda dengan Gino yang biasanya ditampilkan di depan orang-orang. Satu orang dengan dua karakter. Pertama Gino yang super menyebalkan. Dan yang kedua, Gino yang super sweet. Sweet yang hanya ditunjukkan dihadapan orang-orang tertentu saja.
Tujuan pertama adalah toko mainan. Tentu saja. Memangnya apa lagi yang dicari anak-anak saat ke Mall kalau bukan mainan? Dan kali ini, karena bersama Uncle G, Prince boleh beli mainan sesuka hati. Boleh beli lebih dari satu. Pokoknya apa pun yang disukai Prince boleh dibeli.
"Uncle mau ini." Prince mengambil lego seri Marvel Spider Man Daily Bugle.
"Iya boleh."
Dia lompat-lompat kegirangan. Setelah itu dia berjalan lagi. Matanya melihat-lihat ke kanan dan ke kiri. Mengamati setiap mainan mana yang kira-kira dia belum punya. Tapi sayangnya, mainan yang dia sukai di toko itu, hampir semua sudah punya. Cukup lama Prince berkeliling, tetap saja tidak ada lagi yang menarik perhatiannya. Sampai-sampai dia kehausan dan lapar.
"Udah Uncle."
"Udah? Cuma satu?"
"Iya Uncle G. Kata Mami kalau beli mainan banyak, mainan Prince yang di rumah harus ada yang dikasih ke temen-temen, Uncle," terang Prince.
"Oh ya? Tapi kalau sama Uncle boleh beli mainan banyak. Ayo pilih lagi."
"Nggak mau Uncle. Aku udah punya semua." Prince menarik-narik tangan Gino.
"Yakin?"
"Iya, Uncle G."
"Ok, kalau gitu kita bayar dulu ya."
Saat berjalan ke kasir, Prince sudah ada di gendongan Gino. Membawa satu mainan dan di serahkan ke kasir.
"Thank you, Mbak," ucap Prince.
"Sama-sama," jawab Mbak kasir seraya menyatukan kedua tangannya.
Melihat keponakannya mengucapkan terima kasih tanpa harus diminta, Gino bangga. Spontan dia mencium kening Prince. Dia bahagia, Prince bisa lebih baik dari dirinya. Terutama di masa kecilnya. Gino menyadari betul bahwa ada kesalahan di masa kecilnya, yang berdampak pada dirinya di masa sekarang. Tapi dia menanggapinya cenderung tidak mau peduli. Menganggap semua masalah yang bersarang dalam dirinya itu hanya angin lalu. Seiring berjalannya waktu, semua akan kembali normal. Padahal itu salah. Kalau tidak ada kemauan yang kuat dari yang bersangkutan, semua akan sama saja. Tidak ada yang berubah. Dia hanya berpindah masa, tetapi dengan luka yang masih sama. Masalah beserta luka itu seolah tertidur lelap di alam bawah sadar yang sewaktu-waktu bisa terbangun dan bereaksi lebih buruk dari sebelumnya.
Sudah seharusnya Prince lebih baik dari dirinya. Bahkan dia selalu bilang, kalau keponakannya itu tidak boleh seperti dia. Meskipun secara kasat mata, Prince adalah foto kopiannya.
Baru beberapa langkah keluar dari toko mainan, tiba-tiba perut Prince berbunyi. Mendengar suara itu, mereka saling berpandangan. Lalu tanpa dikomando tertawa berbarengan.
"Apa itu?"
"Hehehehe."
"Mau makan?"
"Iya, Uncle. sepertinya cacing-cacing di perutku sudah lapar. Mereka minta makan."
"Oh jadi cacing yang lapar? Prince nya enggak?"
"Prince juga, Uncle G. Kan cacingnya ada di perut Prince."
"Jadi?"
"Kita harus makan..." teriaknya.
Setelah berputar-putar, akhirnya Gino membawa Prince ke UNION. Ada spaghetti oglio olio favorit Prince. Untuk selera makan, Prince tidak bisa mengikuti Uncle nya. Prince penggemar western food. Sedangkan Gino lebih suka makanan Indonesia.
Boys Will Be Boys. Siapa sangka, ternyata Gino membawa Jenga di tas selempangnya. Dia beli beberapa waktu yang lalu dan lupa belum dia keluarkan dari tasnya. Ide Gino memang selalu out of the box. Dia mengajak Prince memainkan permainan itu sembari menunggu makanan datang.
"Prince nggak boleh curang ya."
Prince mengangguk. Dia terlihat sangat excited.
Dua laki-laki berambut gondrong itu duduk saling berhadapan dengan raut wajah serius. Fokus dengan balok-balok yang tersusun di atas meja. Tapi baru setengah mainan, tiba-tiba Prince teriak,
"Aunty Disney..."
Spontan Gino kaget. Dia yang sebelumnya fokus akan menarik satu balok, beralih pandang ke Prince. Dia bingung, kenapa tiba-tiba Prince memanggil nama itu? Awalnya Gino mengira itu hanyalah trik Prince untuk mengecoh konsentrasinya. Tapi, ternyata Prince memanggil nama itu lagi.
"Aunty Disney," teriaknya sekali lagi. Kali ini dia sedikit mengangkat badannya dan melambaikan tangan.
Lambaian tangan Prince membuat Gino memutar badannya ke belakang. Ternyata benar, ada Jasmine.
Sial. Kenapa harus ada dia? Batinnya.
Dalam hati Gino, dia berharap agar Jasmine tidak menghampirinya. Tapi justru Prince malah mengajak untuk bergabung bersama, dalam satu meja.
"Hai, Prince," sapanya. Kemudian dia melihat Gino.
"Hai, juga Aunty Disney. Aku sama Uncle lagi nungguin makanan dateng." Prince turun dari kursi dan menarik tangan Jasmine, "Aunty makan bareng sama kita aja. Boleh kan, Uncle?"
Senyum keterpaksaan dan anggukan yang sejujurnya bermakna, jangan. Jangan sampai kita makan satu meja.
Seperti bisa memenuhi pikiran Gino, Jasmine menolak ajakan Prince. Karena memang niat awalnya hanyalah beli Red velved Doughnuts dan S'Mores Doughnuts kesukaan Mamanya.
"Emm, kayaknya nggak bisa deh, Prince. Soalnya Aunty lagi buru-buru."
"Yaahh, Aunty Disney nggak seru. Padahal aku baru aja mau ngajakin Aunty main ini sama Uncle." Dia memperlihatkan Jenga yang sudah berantakan.
"Oke, lain kali kalau ketemu lagi, kita main bareng ya."
"Gimana caranya?"
Benar. Bagaimana caranya? Selalu mengandalkan kebetulan? Yang tentu saja itu belum pasti ketemu lagi. Atau sengaja mengatur jadwal agar bisa bertemu. Dan ternyata Prince memilih yang kedua. Dia meminta Handphone Jasmine dan berniat memanggil nomor telepon Gino. Betapa terkejutnya dia saat melihat nomer Gino sudah tersimpan di handphone Jasmine.
"Magic. Ternyata nomer Uncle G sudah ada di Hp nya Aunty Disney." Wajahnya sumringah. Prince seperti mendapatkan ide, bagaimana caranya bertemu lagi dengan Jasmine.
Mereka bertiga pun berpisah setelah Jasmine mendapatkan pesanannya dan makanan Prince juga sudah datang.
Oh, ternyata ini acara penting yang dia maksud. Kenapa nggak bilang jujur aja? toh aku kan udah tau Prince. Dasar cowok aneh. Dia hobi banget bikin orang lain kesel. Kayaknya dia nggak mau orang lain tau kalau sebenernya dia nggak seburuk itu.
Jasmine berjalan meninggalkan Union dengan isi kepala yang dipenuhi dengan rasa penasaran akan sosok Gino yang sesungguhnya. Dari kejadian di taman pada waktu itu, dan di tambah lagi sekarang. Sepertinya Jasmine mulai tertarik untuk mengetahui seperti apa sih kehidupan Gino sebenarnya.
Ini adalah definisi kebetulan yang membawa jawaban. Pertemuan tidak disengaja itu membuat Jasmine tahu alasan kenapa Gino tidak mau bimbingan hari ini. Acara penting yang dimaksud adalah quality time bersama Prince. Jujur, ada rasa kagum dari Jasmine melihat Gino hari ini. Begitu penting Prince dalam hidup seorang Gino, sampai nilai kuliahnya pun ia kesampingkan.
Bukan hanya Jasmine, Gino pun tak kalah penasaran dengan kehidupan tutornya itu. Kemarin San Diego Hills, sekarang Union. Besok-besok apalagi? Gino sampai berpikir bahwa Jasmine sebenarnya orang kaya yang pura-pura hidup susah karena ingin menemukan sosok pendamping yang tulus menyayanginya. Bukan karena hartanya. Atau bisa juga dia sedang dihukum oleh keluarganya karena sudah melakukan kesalahan. Seperti yang selama ini ada di sinetron-sinetron. Ada banyak yang perlu diketahui lebih dalam lagi tentang sosok perempuan berlesung pipi itu.
Ternyata benar apa yang selama ini Bian bilang. Jasmine beda dari yang lain.