Usia pernikahan Rahma dan Ridwan sudah menginjak angka 10 tahun, tapi mereka belum di karuniai anak. Orang tua Ridwan terus mendesak anaknya untuk menikah lagi, apa jadinya jika Rahma mencarikan calon istri untuk suaminya, sedangkan orang tua Ridwan pun melakukan hal yang sama, siapa yang akan di pilih Ridwan? Mampukah Rahma dan Ridwan mempertahankan rumah tangga mereka?
Malam telah beranjak, perlahan Maya masuk dalam ruangan dengan cat dinding warna merah maroon. Aroma bunga mawar segar menyeruak manis dalam indera penciumannya.
Seprei dengan warna senada membuat kamar hotel bintang lima itu tampak semakin indah.
Ada banyak bunga mawar terhampar di atas ranjang berukuran king itu.
Maya mengulum senyum tatkala mendapati Danu, berdiri di depan kamar mandi dengan gagahnya.
Rambutnya basah terlihat segar.
Sejenak dia terpaku melihat lelaki yang berstatus bukan suaminya itu, berdiri dengan mata menyalang tajam.
Tatapan matanya tak ubah bagai serigala yang siap mengoyak mangsa.
Maya tak tahu apapun lagi, ketika Danu berjalan mendekat, lalu tangannya memegang pucuk kepala Maya, Sebuah kecupan mendarat di kening, kedua mata, dan pipi.
Pelan tangannya terulur merengkuh tubuh Maya dalam pelukannya, dia mengangkat maya ke atas ranjang berukuran king.
Deru napas Danu terdengar jelas.
Maya memejam mata.
Hari ini, dinding kembali bersaksi, terjadinya dosa besar antara dua anak manusia yang berhasil masuk dalam jerat nafsu tak terkendali.
"Terimakasih untuk malam ini! Aku tak tau, bagaimana hidupku tanpamu! Seandainya bisa memilih, maka aku akan memilih mengulang takdir, agar aku bisa bertemu dirimu terlebih dahulu. Bukan Airin!" bisik lembut Danu di telinga Maya.
Maya hanya tersenyum, tenaganya sudah habis. Bahkan untuk bersuara saja dia tak mampu.
Sungguh Danu, lelaki dambaan setiap wanita. Perawakannya yang tinggi, dengan kulit sawo matang, menambah kharismanya sebagai lelaki.
Maya sangat bersyukur bisa bersama Danu, selama bersama dirinya selalu di manja, diperhatikan dan semua kemauannya di turuti
Drrt ... drrt ... drrt!
Belum lagi terpejam, telpon Danu berbunyi.
ISTRIKU memanggil.
Begitulah, teks yang terbaca di layar kaca benda berukuran 6 inci tersebut.
Sekali geser, maka terdengar suara dari sebrang sana. "Halo, Mas ... pulang jam berapa?"
"Sebentar lagi sayang," jawab Danu.
"Kalau bisa, pulang sekarang, Mas! Aku rindu." rengek wanita itu.
"Iya, sedikit lagi. Mas pulang, sudah dulu sayang. Kalau telponan terus, kapan kerjaan selesai." Danu memberi alasan.
"Hati-hati di jalan, Mas," ucap wanita itu penuh perhatian.
Iya, I miss you." balas Danu. Lalu menutup telpon.
Tangannya kembali melingkar di pinggang Maya, dia ingin istirahat sebentar sebelum pulang bertemu istrinya.
Maya yang mendengar percakapan mereka tak bisa berbuat apa-apa, dia sadar dirinya hanya selingan di kala Danu senggang. Bagi Danu, Aira adalah dunianya.
"Pulanglah, pemilikmu sudah menunggu," usir Maya.
Danu pura-pura tak mendengar kata kekasih gelapnya, dia sudah sangat tau karakter gadis berbintang Virgo yang sedang dia dekap.
Bagaimana tidak, mereka adalah teman sejak dari bangku sekolah menengah pertama.
Sempat terpisah saat mereka diterima pada universitas berbeda kota.
Kalau dulu mereka tak pernah bermimpi untuk saling suka, saling menyapa pun tak pernah. Beda saat mereka bertemu kembali.
Kerjasama perusahaan, membuat mereka mau tak mau harus sering bersama.
Merasa tak direspon oleh Danu, Maya melepaskan tangan lelaki itu dari pinggangnya.
Dirinya telah terbakar cemburu, lebih baik dia mandi dulu. Semoga setelah mandi, perasaannya bisa lebih segar.
Danu yang merasa Maya menjauh, segera bangkit dari posisinya.
Memungut pakaian yang terserak di lantai, memakainya dan segera keluar dari kamar itu.
Tak lupa, beberapa lembar uang merah dia simpan di atas bantal.
Samar terdengar bunyi pintu kamar di buka, Maya menghentikan aktivitasnya. Handuk yang menggantung dia tarik lalu memakainya.
Melangkah keluar dari kamar mandi, dia melihat uang merah di atas tempat tidur tambah membuat hatinya marah.
Dia mengambil pakai yang terhambur di lantai, memakai lalu berlalu meninggalkan hotel yang sering mereka gunakan untuk memasuki kasih.
*****
"Bagaimana, apa dia akan pulang?" tanya bu Marni kepada menantunya.
Airin, tak siap dengan pertanyaan sang mertua.
Baginya, hal biasa bila Danu tak pulang. Tapi kali ini berbeda. Dia tak mungkin berbohong kepada wanita berwajah tegas itu.
Ibu mertuanya tiba-tiba saja datang tadi sore, saat Danu masih di kantor.
Beralasan karena di rumahnya sepi, jadi dia akan tinggal di rumah anaknya itu.
"Kok cuma tersenyum, jawab kalau di tanya!" ujar bu Marni lagi.
"I— ya, Bu! Katanya sebentar lagi." Airin menjawab dengan Gagap.
"Apa memang dia suka meninggalkan kamu sendiri?" tanya bu Marni.
Lagi-lagi, Airin hanya bisa mengangguk. Entah kenapa, dia sama sekali tak bisa bohong kepada wanita berkharisma itu.
Bu Marni yang melihat anggukan lemah menantunya merasa marah.
"Kurang ajar! Dasar suami tak bertanggungjawab," maki bu Marni.
"Rin, jawab yang jujur! Apa Danu selingkuh?!" bu Marni merasa ada yang aneh dengan anak lelakinya itu.
Tak ada cara lain, dia harus mendengar semua cerita dari menantunya.
"Ti— dak tau, Bu!" cicit Airin.
"Istri apa kamu?! Suami jarang pulang, kamu bilang tidak tau apa-apa? Jadi, tugas kamu sebagai istri itu apa?!" teriak bu Marni.
Hatinya dongkol, dia seperti ingin menelan orang.
"Bu, sudah yagh marahnya! Nanti darah tinggi ibu kumat." Mira, adik Danu bersuara.
" Tak usah ikut campur, Mira! Ibu tak suka jika punya anak dan menantu pembohong," potong bu Marni.
Baru saja bu Marni menyelesaikan ucapannya, suara mobil Danu telah memasuki pekarangan.
Mengetahui hal itu, bu Marni kemudian duduk di sofa, tepat di samping Airin berada.
Ceklek!
Terdengar bunyi kunci, pintu terbuka dengan pelan.
Suara langkah terdengar mendekat.
Danu tertegun, tak menyangka kalau ibunya ternyata datang.
"Eh, Ibu. Sejak kapan datang? Kok, tidak bilang-bilang," tanya Danu.
"Dari mana kamu?" tanya bu Marni dingin.
"Dari kantor, Bu!" Pelan Danu menjawab.
"Pembohong! Sejak kapan orang berkantor sampai jam dua dini hari?" Bu Marni bertanya.
Matanya menatap sinis anak pertamanya itu.
Danu terdiam, tak menyangka akan di tanya seperti itu.
"Heh, kenapa diam? Jawab!" tuntut bu Marni.
"Besok saja bicaranya, Bu. Aku capek!" Danu berusaha mengelak.
Prang!!
Prang!!