webnovel

48. Hari Pernikahan

3 hari kemudian...

Rino duduk termenung di depan kaca lemarinya. Ditubuhnya telah terpasang setelan baju pengantin berwarna hitam tak lupa peci hitam dikepala.

Hela nafas, Rino mendongakkan wajahnya, "Ya Allah, Semoga ini jalan terbaik bagiku" Gumanya.

Jas pengantin ia singkap sebatas dada, Perut yang dulu datar serta tidak lupa otot itu kini agak mengembang. Rino tidak tahu terbuat dari apa bahan pakaian dan celananya ini, Yang pasti rasanya sangat nyaman juga lembut di kulitnya.

Kemarin malam calon mama mertuanya datang ke rumahnya. Wanita itu kekeuh ingin mengantarkan baju pengantin pilihannya sendiri untuk calon menantunya. Dia juga sudah mengatakan bahwa sekitar jam 9 keluarga Rino akan dijemput mobil oleh Ardi.

Dari seminggu sebelumnya Bundanya juga sudah mengurus surat pengantar dari RT/RW, Pak Salam dan pak Abdul. Dua orang penting tersebut diundang ke rumah mengingat bahwa ini merupakan rahasia yang harus dijaga. Rino masih ingat jika saat itu Pak salam nyaris tersedak kopi panas setelah mendengar penjelasan Bundanya.

Pada awalnya mereka tertawa dan mengira Bundanya sedang bermain-main dengan mereka, Tetapi setelah Rino menunjukkan perutnya yang sedikit mengembang juga surat dan tes pack dari Dokter Habsah, Dua pria paruh baya itu menganga tidak percaya.

Dan akhirnya dengan sedikit ragu mereka menyetujui untuk membuat surat pengantar.

Sekali lagi ia hembuskan nafas panjangnya. Impiannya untuk lulus sekolah dengan nilai yang memuaskan serta membanggakan keluarganya sirna begitu saja. Hendak menitikkan air mata saat Rino teringat akan pesan almarhum ayahnya.

"Jangan kecewakan Ayah, Bunda, Randa sama calon adikmu di perut oke? Jika nanti ayah sudah tidak ada lagi kamulah yang akan menggantikan posisi ayah sebagai penanggung jawab" Itulah yang dikatakan oleh mendiang Ayahnya. Masih jelas diingatanya meski 5 tahun telah terlewati.

Waktu itu dia yang masih berusia 11 tahun hanya menganggapi kata-kata ayahnya dengan anggukan kepala. Akan tetapi sesudah diperkosa dan ketahuan hamil, Rino pun mengerti maksud sang ayah.

Ceklek...

Rani, "Sayang? Mobil sudah datang, Kamu sudah siap?" Dia menelusupkan kepalanya mengintip dan malah mendapati si sulungnya tengah melamun dengan mata berembun.

Mengatupkan bibir disertai helaan nafas, Rani mendekati tempat dimana sang anak duduk kemudian menepuk pundaknya pelan, "Kenapa?"

Terkesiap, Berdiri lantas Rino menoleh, "Bu-bukan apa-apa Bun" Jawabnya tergagap.

Rani, "Jangan bohong sama Bunda" Ucapan sang Bunda membuat Rino diam.

Rino, "Apa ini takdir Allah untuk Rino, Bun? Kenapa rasanya berat sekali untuk Rino menerimanya?" Ujarnya seketika dalam suara gemetar.

Wanita itu mengelus kepala anaknya penuh kasih sambil mengusap lelehan cairan bening yang hampir menetes dari manik coklat wajah duplikat suami yang tak lain adalah anaknya sendiri, "Jangan bicara seperti itu, Ingat bahwa Allah tidak tuli, Dia pasti akan mendengar semua perkataanmu walaupun kamu berbicara dalam hati sekalipun" Peringatnya.

Remaja itu menunduk lalu mendekap erat wanita didepannya, "Maafin Rino ya Bun, Sudah mengecewakan kalian"

Rani, "Bunda telah memaafkanmu sayang, begitupun Randa dan Dani, Sudah jangan menangis begitu, Pamali namanya. Kamu kan sebentar lagi mau nikah, Harusnya itu Bunda yang sedih karena mulai besok tidak ada lagi anak bunda yang perhatian, Abang yang paling ditakutin Randa, Sholeh, Pintar, Dan bikin bangga kami sekeluarga sepertimu" Dia mendongak sembari mengeluarkan nafas agar dapat menggantikan rasa perih di mata serta hatinya.

Tak sanggup lagi Rino menahan kesedihannya, Tangisnya pun pecah di bahu sang Bunda, "Hnnnn.. Bu-bunda jangan bicara seperti itu hiks... Rino masih tetap anak bunda dan itu akan berlaku sampai selamanya" Ungkapnya disela tangisan.

***

Arwin benar-benar gerah dengan pakaian pengantin di badannya. Sesekali dia akan melonggarkan dasinya meski Mamanya telah berkali-kali memperbaiki.

Jasmine, "Ini anak! Jangan dilonggarin lagi dasinya! Bentar lagi calon suamimu kesini bareng keluarganya!" Omel wanita itu gregetan.

Arwin berdecak, "Gerah Ma!" Keluhnya dengan muka kesal.

Jasmine, "Kan ada AC!"

Ruangan tempat mereka berada kini berbeda jauh dengan bentuk aslinya. Banyak terdapat dekorasi mewah di setiap sisi ruangan dan ini semua adalah hasil desain Jasmine sendiri. Wanita itu ingin pernikahan anak ketiganya tersebut lebih istimewa. Terlebih lagi calon menantunya kali ini adalah seorang pria juga, Dan yang paling membuatnya antusias adalah kehamilan Rino.

Semua orang terlihat bahagia, Terkecuali Lintang. Remaja itu nampak dongkol duduk di sofa. Pernikahan sang kakak terasa seperti neraka jahanam baginya. Untuk melampiaskan kekesalan ia meneguk jus apel di meja hingga tandas lalu menuang lagi setelah itu. Hal itu dilakukannya berulang-ulang sampai menyita perhatian beberapa orang yang duduk di sekitarnya.

Habsah, "Tidak baik mengkonsumsi sesuatu secara berlebihan"

Lintang berdengus acuh, "Lintang haus" Habsah tersenyum kecil diiringi gelengan kepala.

Yudi, "Dinasihati orang tua itu didengar Lin" Tegurnya pada si bungsu, Walaupun dia sangat tahu penyebab anaknya menjadi seperti itu. Seakan tuli, Lintang tidak mengindahkan kata-kata ayahnya dan terus melanjutkan kegiatannya minum jus apel.

Dalam pernikahan rahasia ini, Jasmine maupun Yudi tidak mengundang satupun kerabat mereka, termasuk keluarga Alamsyah. Bukannya apa, Mereka cuma ingin anak mereka sendiri yang bercerita langsung nantinya saat dua remaja itu telah memantapkan hati. Selain mengatur pernikahan, Yudi dan Jasmine enggan terlibat jauh dalam masalah anak-anak mereka.

Untuk Habsah, Tanpa diundang pun dia akan datang karena pria itu sudah tahu semuanya.

Arwin, "Ma, Buah kering yang Arwin suruh beli kemarin mama kemanain? Kok gak ada di kamarnya Arwin?" Ucapnya seketika.

Jasmine mengerutkan dahi, "Loh kan mama simpanya di kamarmu!" Sanggah Jasmine.

Arwin, "Mana? Gak ada kok!"

Lintang menyela tiba-tiba, "Gak usah dicari, Gue yang makan" Ujarnya tanpa rasa bersalah.

Akibatnya yang lebih tua setahun darinya menggertakkan gigi, "Njing Lo! Napa main makan cemilan gue hah?!"

Si bungsu menaikkan bahunya cuek, "Pengen aja"

Arwin, "Lo!"

Jasmine menengahi keduanya, "Jangan berisik ya ampun! Lintang, Kamu kok main makan cemilannya Kakakmu? Dia itu kan lagi ngidam buat anaknya yang diperut Nak ganteng! Nanti kalau keponakanmu ileran gimana!" Maki wanita disertai gemas. Aneh saja karena Ridwan dan Ardi saat masih kecil sampai sekarang pun akur-akur saja, Tetapi kenapa tidak demikian dengan dua adik mereka?

Lintang mencibir, "Biarin, Kan bukan anaknya Lintang" Arwin kebakaran jenggot dan berniat memberi si bungsu pelajaran jika saja Yudi tidak memberinya gestur berupa gelengan jari.

Jasmine meremas pipi anak bungsunya kesal, "Kenapa ngomong begitu hmmm?"

Dengan wajah lebar akibat pipinya tertarik Lintang menjawab, "Bwiar Rwino gak swuka lwagi sama Arwin twerus milih Lintang bwuat jadi suaminya!"

Arwin melotot, "Enak aja Lo!" Sanggah remaja sambil berdiri.

Tak mau kalah, Lintang pun turut bangkit, "Emangnya kenapa!"

Ridwan, "Berhenti gak kalian!?" Bentaknya penuh emosi, Hari pernikahan saja mereka masih ribut.

Entah bagaimana caranya agar keduanya dapat akur. Yudi dan Jasmine pusing tujuh keliling, Habsah terkekeh geli. Kakak ipar mereka, Ranti menghela nafas bersamaan mengelus-elus perutnya terus melihat kedua anaknya yang tengah berlarian diantara sibuknya lalu lalang pembantu, Dia berharap semoga anak-anaknya tidak seperti kedua paman mereka.

Suara mobil berhenti di halaman rumah membuat mereka semua mengalihkan atensi ke pintu depan yang terbuka lebar.

Jasmine memekik, "Mereka udah dateng! Arwin, Bajunya jangan di rusakin lagi! Mama mau jemput mereka di depan!" Ucap wanita lalu berjalan cepat.

Arwin berdecih lanjut kembali duduk di sofa dengan wajah memberenggut. Lintang? Kini remaja itu nampak gelisah sendiri, Boleh tidak dia membawa Rino kabur saja kemudian mereka membangun rumah tangga yang indah hanya berdua?

Melihat mimik jelek si bungsu, Arwin menyeringai, "Makanya buruan cari pacar, Aah... Gak sabar pengen nyicipin badannya lagi, Dulu katanya haram, kalau sekarang kan halal" ujarnya antusias.

Bertambah lagi ekspresi jelek Lintang, "Cih!"

Next chapter