"Porshe! Porsche! Ada yang mencarimu!" jerit Yok lebay. Wanita berparas menor itu lari terbirit-birit bagai dikejar anjing demi menemui Porche yang masih mengocok whisky. Hancur sudah harga dirinya sebagai pemilik bar begitu melihat gerombolan pria berseragam necis hitam-hitam.
"Siapa?" Porsche hanya menoleh sebentar kepada Yok dan tetap melemparkan senyum menggoda kepada para gadis.
"Mafia! Mafia! Kau pasti akan dibunuh!"
"Apa?"
"Kau tidak buat masalah dengan mereka kan? Aduh-aduh barkuuuuu! Jangan sampai barku kenapa-kenapa!"
Porsche pun segera keluar dari meja kerjanya setelah menyuguhkan minuman secepat mungkin. "Aku yakin tidak buat masalah akhir-akhir ini. Jangan bilang orang yang kuajak tanding di arena adalah anak buahnya."
"Porsche! Porsche! Kau yakin kita akan baik-baik saja?" Bagai bocah kebelet pipis, Jom dan Tem mengguncang-guncang badan Porche penuh kepanikan. "Perasaanku jadi tidak enak!"
Porsche tetap berusaha tenang, "Hm ... kalian jangan khawatir. Kenal saja tidak dengan mafia itu, kenapa harus takut padanya?"
"Jadi, siapa diantara kalian yang bernama Porsche?" tanya Kinn to the point. Begitu masuk, pria nomor satu di keluarga Theerapanyakul itu langsung duduk di kursi untuk mengambil bir segelas. Dia memperhatikan tiga bartender di depan, lalu fokus kepada Porsche tanpa sadar.
"D-Dia, Tuan!" kata Jom.
"Iya, benar. Porsche itu dia, bukan kami," kata Tem. Dia tersenyum kaku bagai orang sembelit sebelum pamit pergi dari sana. "Baiklah. Kami pergi dulu, ya. Silahkan bicara dengannya. Ha ha .... ha ha ...."
"Aiy .... kukira kalian setia kawan?" kata Porsche tak habis pikir. Setelah menghela nafas panjang, dia lalu beralih fokus kepada Kinn. "Iya, itu aku. Kenapa?" tanyanya ketus.
Kinn meneguk minumannya dengan gestur seksi sebelum menjawab. Jakunnya bergerak-gerak saat menelan cairan keras itu, lalu tersenyum menyeringai. "Jadi, kau bisa kusewa seminggu penuh?"
"Apa?" Porsche lalu melirik ke barisan bodyguard di belakang Kinn. Kalau melihat ekspresi mereka biasa saja, sepertinya dia paham apa yang dimaksud pria ini. Tapi, hei ... aku tidak pernah menerima seks lelaki. Lebih baik kutanggapi biasa saja. "Tapi bodyguard-mu sudah banyak. Buat apa menyewaku? Orang-orang suka sekali membuang uang ...."
Porsche menggeleng-geleng, lalu kembali ke meja bar-nya.
Kinn mendesis pelan. "Siapa bilang aku memintamu jadi pengawal?"
"Tunggu, orang ini serius?" batin Porche. Dia pun berbalik dengan senyuman yang dibuat-buat santai. "Terus? Jadi babu di rumahmu? Ha ha. Lebih baik kerja di sini, Tuan. Aku cukup senang hidup biasa tanpa hutang dan bermain-main setiap akhir pekan."
Kinn tahu Porsche meredam pikirannya yang berkecamuk dengan membuat minuman. Namun, saat Porche mengambil gelas di dekatnya, Kinn menangkap tangan itu. "Ikut atau kuculik?" tawarnya dengan senyuman manis. "Tapi menurutku pribadi, mencoba jadi priaku lebih mending daripada tawanan. Benar kan?"
Jantung Porsche seperti diberondong senapan serbu. "Oke, baik. Aku paham," katanya sambil menarik tangan. Barusan bodyguard Kinn tampak pura-pura tak melihat saat Porsche melirik mereka lagi. "Walau aku tidak tahu darimana kau tahu aku. Yang pasti, Tuan. Aku tidak menerima pria. Tapi kalau gadis, biasanya memang kuseret di gang sebentar. Lagipula, kalau kau butuh pelacur, aku tahu rumah gigolo terdekat. Apa mau kuantar? Mumpung aku sedang baik hati."
"Bagaimana dengan tebusan 200 juta Baht?" kata Kinn. "Kau cukup membuatku tidak bosan selama seminggu. Apa itu sangat sulit?"
Porsche tampak keberatan. Demi apapun! Mana mau dia memberikan bokong untuk pria ini?
"Sekali lagi, Tuan. Aku tidak mau."
Kinn justru makin tertarik kepada yang seperti ini. "Baiklah, sepertinya aku sudah mendapat jawaban," katanya. Lalu menoleh kepada Big, salah satu bodyguard yang dia percaya. "Oi, Big. Suruh mereka membawa lelaki ini ke rumah."
"Baik," sahut Big.
Saat barisan bodyguard itu bergerak, Porsche refleks mengeluarkan kepanikannya. "Aiy ... oi ... oi ... oi ...! Ini benar-benar tindak kejahatan! Oiiiii!"
Terlambat. Baru saja Porsche bertarung melawan tiga bodyguard, kepalanya sudah ditutupi dengan karung hitam yang mengandung serbuk bius.
"Bangsat!" maki Porsche ketika dia bangun dari ketidak sadaran. Tangannya diborgol. Kakinya diikat. Dan badannya terbaring di kasur mewah wangi yang dia karang adalah semacam di hotel cinta. Hanya mereka berdua di sana. Dan Kinn baru menoleh setelah menyadari dia bangun.
"Sudah pagi, Kucing galak. Ada bagusnya kau mandi dulu sebelum pergi denganku hari ini," kata Kinn.
Porsche berdebar kencang karena di bawah selimut itu dia tak memakai apapun. Kaus dan celana dalam pun tidak. Tapi apa iya pria itu semalam meniduri dia? YANG BENAR SAJA!! "Kau ini ... ck. Apa sih yang kau pikirkan? Mau kubunuh ya?"
Kinn justru tertawa. "Mungkin, aku akan membunuhmu lebih dulu sebelum kau bisa usaha." Sebuah pistol laras pendek ditodongkan ke Porche.
Porsche pun diam. Dia berusaha meraba pantatnya di bawah sana. Sial! Basah! Kenapa aku tak ingat apapun?! Brengsek!
Kinn pun mendekat dan menindih Porche di atas ranjang berantakan itu. Dia tak peduli Porsche tampak bingung dan cemas, tetapi tertarik dengan wajahnya yang agak berminyak dan tetap tampan menggemaskan. "Menyerah sajalah. Kuberi kau 200 baht setiap seminggu kalau tidak puas," katanya. "Mungkin juga akan kunaikkan, karena aku cukup senang dengan tubuh ini setelah mencicipinya."
"Cuih!"
Setelah mengelap air ludah yang bermuncratan di rambutnya, Kinn pun menggebrak leher Porche ke ranjang.
BRAKH!
"Kau lakukan itu lagi, adikmu di rumah yang akan kubunuh."
"Apa?!"
"Porchay ...." kata Kinn. Lalu mengeluarkan sebuah foto dari dalam saku jasnya. "Tidakkah jadi priaku lebih baik daripada kehilangan dia?"
Bersambung ....