Makanan itu sudah tersaji di atas meja. Kepulan asap kembali mengisi ruangan setelah sekian lama tidak ada kepulan asap lagi di sana. Suara jangkrik dari arah belakang rumah ikut menghiasi acara makan malam Nial. Ibu telah menyuapi ayah untuk makan malamnya. Ayah makan bubur lagi dan kali ini dengan lauk ikan yang di masak oleh Nial tadi sore. Selain itu, ikan itu di masak dengan kuah sehingga cukup cocok untuk di nikmati bersama dengan bubur.
Ibu dan Nial duduk bersama menikmati santapan makan malam. Cahaya lampu remang-remang menemani makan malam mereka. Ruang tengah tempat ayah berbaring menghadap langsung pada arah dapur dan tempat makan yang terbuat dari bambu. Mereka akan makan malam sambil duduk lesehan dan menyantap makanan itu bersama. Rumah panggung kecil milik Nial yang sederhana hanya memiliki satu kamar utama dan satu kamar kecil milik Nial. Ruang tengah tempat ayah berbaring bukan kamar seperti pada umumnya. Akan tetapi tetapi terdapat satu ranjang kayu buatan sendiri yang memiliki sekat-sekat kayu di kedua sisinya tanpa pintu dan hanya ada tirai yang menutupi.
Ruang tengah yang sebelumnya menjadi ruang keluarga itu kini menjadi ruangan pribadi ayah. Banyak hiasan dan lukisan-lukisan hasil karya Nial, sejak ayah sakit ruangan itu menjadi tempat koleksi karya-karya Nial. Semua itu ia lakukan untuk menemani ayahnya ketika sendirian di rumah, begitulah alasan Nial saat di tanya mengapa ia tidak menempel karya-karyanya di dalam kamarnya.
“Ibu, besok pagi Nial ikut kakek Zul lagi untuk memancing!” Seru Nial setelah menghabiskan makanannya dan meneguk segelas air. Ibu membereskan makanan dari depan Nial menyimpannya di bawah tudung saji.
“Boleh. Tapi jangan sampai terlalu larut malam ya” jawab ibu. Nial ikut membawakan piring-piring kotor dan hendak mencuci piring-piring itu tapi ibu mencegahnya.
“Jam berapa?” Tanya ibu lagi. Ia mulai mencuci piring-piring kotor itu.
“Pagi Bu” Jawab Nial ia membersihkan butir-butir nasi dan juga air yang membekas di tempat makan bambu itu.
“Sampai jam berapa? Siang kah?” Tanya ibu yang sudah selesai mencuci piring.
“Iya. Tapi Nial akan tetap membawakan ibu makan siang seperti biasanya.” Jawab Nial cepat. Seolah ia tahu untuk tidak melupakan tugas pokoknya.
“Sisa besok Ni. Proyek itu akan di berhentikan sementara.” Ungkap ibu lagi. Nial mengangguk tanpa banyak bertanya, ia hanya bisa mendengarkan dengan baik. Meskipun pernyataan itu menyisakan tanda tanya di kepalanya.
Nial segera beranjak keluar rumah, ia memindahkan sepatu yang tadi sore ia cuci. Sekaligus memindahkan sandal pemberian kakek Zul. Nial menutup pintu pembatas dengan tangga dan menutup pintu utama rumahnya.
Ia segera menghidupkan lampu belajar untuk membaca buku yang ia pelajari tadi pagi di sekolah. Nial mencoba la mengerjakan tihan dengan soal-soal yang ia dapatkan dari sekolah. Ia menghabiskan malamnya dengan belajar kemudian tidur agar besok bisa bangun lebih pagi.
~
Suara lembu dan domba ternak menghiasi aktivitas pagi kampung. Lembu dan domba itu di giring menuju ladang rumput. Anak-anak kecil juga ikut membawa lembu-lembu kecil. Domba-domba kecil ikut dengan induk mereka mengikuti langkah-langkah pengembala. Suara jernih air danau yang menenangkan, membuat suasana pagi semakin sulit untuk di lewatkan.
Para petani buah dan padi mulai berangkat menuju sawah dan ladang mereka. Para petani laki-laki membawa cangkul di pundak tak lupa capil menghiasi kepala mereka. Para petani perempuan juga demikian, hanya saja membawa keranjang berisi makanan di tangan kanan serta keranjang kosong di tangan yang lain.
Beberapa anak lainnya ada yang masih berseragam sekolah. Karena, sebagian anak yang bersekolah di sekolah swasta masih aktif di hari Sabtu. Ada yang enggan masuk karena ingin bermain bersama teman-temannya yang lain, tapi ibu mereka bersikeras menyuruh mereka untuk tetap masuk.
Beberapa pedagang sayur mulai membuka warung mereka yang berada di pasar. Pedagang sembako juga mulai membuka toko mereka untuk mencari keuntungan dan bisa mencukupi hidup. Nial dan kakek menikmati perjalanan sepanjang jalan menuju Danau. Para laki-laki dewasa yang belum menikah banyak yang berkumpul di danau. Ada yang sekedar menikmati angin pagi hingga mereka yang datang berkelompok. Ada yang terlihat santai sambil menikmati sebatang rokok di tangannya. Mereka yang berkelompok menghidupkan api unggun untuk memanggang ikan hasil tangkapan mereka.
Di bagian lain para laki-laki dewasa paruh baya melempar pancingannya. Orang-orang itu sangat Nial kenal, karena mereka merupakan orang-orang kampungnya. Danau ini hampir di penuhi oleh warga sekitar yang mencakup beberapa kampung . Tak hanya dari kampung Nial, tapi juga dari kampung lain bahkan dari desa lain. Selain ikannya yang banyak dan segar-segar, banyak orang yang datang untuk sekedar menenangkan diri dari kesibukan dan pikiran yang banyak menuntut. Suasana yang indah, orang-orang yang ramah dan suka menyapa membuat siapa saja bisa merasakan kenyamanan. Para laki-laki dewasa yang masih lajang itu terlihat menyesap rokok di tangannya. Sesekali bercanda ria, melempar pancing dan memanggang ikan untuk di makan bersama. Mereka seolah menikmati we time mereka dengan kawan sebayanya. Sesekali mereka tertawa lagi membuat Nial ikut tersenyum, sepertinya indah jadi dewasa.
Nial terlalu cepat menyimpulkan. Bahkan bagi orang dewasa, mereka ingin kembali pada masa kanak-kanak. Masa bermain dan bebas dari pikiran menyiksa yang tak dapat di ungkapan dengan kata-kata. Ah ya, lupa! Nial adalah anak kecil yang di dewasakan oleh keadaan. Jika ia merasa masa kecilnya kurang menyenangkan, maka menjadi dewasa lebih tidak menyenangkan. Tidak ada lagi kata di mengerti seperti halnya dulu saat melakukan kesalahan. Kadang tidak bisa tertidur nyenyak, kadang juga harus memaksa menutup mata agar bisa tertidur. Semua itu tidak baik-baik saja! Tidak menyenangkan. Tapi Nial kecil selalu bisa tersenyum atas hal-hal yang terjadi. Baginya senyum merupakan hal terbaik untuk menghilangkan masalah dan mencegah rasa lelah.
Kakek Zul membuka kedua lipatan kursi kayu yang di bawa dari rumah. Ia menyuruh Nial duduk kemudian memancing bersama. Kakek Zul juga membawa dua ember seperti biasanya. Karena meskipun usianya yang tua, tapi stamina tubuhnya tak kalah dengan pria berusia tiga puluhan fisiknya cukup kuat. Bahkan jika tangkapannya banyak ia juga membawa plastik cadangan di balik jaket nyentriknya. Nial tersenyum melihat penampilan kakek Zul yang terlihat kekinian. Jaket kulit berwarna hitam, sepatu kulit homemade yang tak kalah keren dengan celana jeans navy menjadi penampilan epik untuk di lihat. Nial baru mengamati penampilan itu hari ini, mengapa ia tidak kepikiran dari kemarin. Nial melempar pancing ke dalam danau, ia terdiam menunggu umpannya bergerak.
Ia mengeluarkan sesuatu dari tas lusuh miliknya yang sengaja ia bawa dari rumah. Kakek Zul mengamati Nial yang sedang sibuk menata beberapa pewarna. Kakek Zul penasaran ia tak sempat bertanya karena umpan miliknya bergerak-gerak cepat. Kakek Zul segera menarik umpannya, kemudian hendak bertanya apa yang akan Nial lakukan.