webnovel

Maaf

Rumah Atuk Irwansyah, Jakarta, 1990

Atuk Irwansyah sudah berada di Jakarta bersama Rizal dan Fania. Di rumahnya, Atuk Irwansyah memperkenalkan Rizal pada istrinya. Setelah bercakap-cakap di ruang tamu, Fania meminta Rizal mengantarnya pulang ke rumah orang tuanya yang berada di sebelah rumah Atuk Irwansyah.

"Fan, sebelum ke rumahmu, boleh aku pinjam telepon? Aku ingin mengabarkan keluargaku tantang rencana kita nanti malam, supaya mereka bersiap-siap," ujar Rizal.

"Boleh, ayo aku antar ke ruang tengah," sahut Fania.

Setelah Rizal dan Fania meninggalkan ruang tamu, Tengku Farisya bertanya pada suaminya. "Kalau kuperhatikan, wajah Rizal ade sedikit kemiripan dengan mendiang Wak Rasyid. Ape Abang tak merase?"

"Betul, Dek. Abang pun ade sedikit keyakinan, bahwa Rizal adalah cucunye Sani. Tapi entahlah, kite tengok saje nanti malam, Rizal nak membawe keluargenya datang ke rumah kite untuk berkenalan," ujar Atuk Irwansyah.

"Mudah-mudahan betul Bang. Puluhan tahun kite tak tahu kabar beritenye Bang Sani," sahut Tengku Farisya.

"Aamiin. Aku sangat mengharapkannye."

Tiba-tiba Rizal kembali ke ruang tamu dengan wajah panik bersama Fania.

"Maaf, Tuk. Saya harus segera ke rumah sakit. Tadi saya telepon ayah, kata beliau, kakek saya dalam keadaan kritis, saya sudah memintanya agar di bawa ke rumah sakit," ujar Rizal.

"Kalau begitu kami juga ikut ke rumah sakit, Zal." Atuk Irwansyah jadi ikut kuatir ingin melihat kondisi kakeknya Rizal, yang ia duga adalah Tengku Sani.

"Baik, Tuk," sahut Rizal.

*****

Rumah Sakit Harapan Kita, Jakarta, 1990

Di depan ruang ICU Rizal mengenalkan keluarga Fania kepada ibunya.

"Hanye menunggu sendiri, Nak?" tanya Tengku Farisya pada ibunya Rizal.

"Saya bersama suami, tapi dia sedang bicara di ruangan dokter, untuk mendengar penjelasan dokter," ujar ibunya Rizal.

"Boleh kami ikut menunggu di sini?" tanya Tengku Farisya.

"Silakan, Bu," sahut ibunya Rizal.

Atuk Irwansyah sudah menantikan pertemuan dengan Tengku Sani bertahun-tahun. Ia merasa harus segera bertemu.

"Maaf, Nak. Ape boleh saye minte izin masuk ke dalam?" tanya Atuk Irwansyah.

"Saya mengizinkan, tetapi ... "

Seorang perawat keluar dari ruang ICU. "Seluruh keluarga boleh masuk. Kondisi pasien semakin memburuk."

Seluruh keluarga Rizal dan Fania masuk ke dalam ruang ICU.

Atuk Irwansyah perlahan mendekati orang tua yang berbaring dengan penuh peralatan medis. Ia pun terkejut melihat wajahnya, begitu pula orang tua yang terbaring lemah itu.

"Irwansyah?" tanya orang tua itu.

Atuk Irwansyah mengangguk.

"Tolong ... mendekatlah," pinta orang tua itu dengan kepayahan.

Rizal dan ibunya memberi ruang kepada Atuk Irwansyah yang sedang mendekat.

"Maafkan aku ... Irwansyah," ujar orang tua itu. Matanya meneteskan air mata.

Atuk Irwansyah memandangi orang tua itu, ia pun jadi terkenang pada masa lalu.

"Irwansyah ... sejak kau bicara di pengadilan ... sebenarnya kau telah berhasil ... membuatku menyadari ... kesalahanku,"

Atuk Irwansyah memandangi Rizal. Ia heran, bukankah Rizal pernah bilang punya gelar bangsawan Melayu, tetapi orang tua yang terbaring ini justru seorang pembenci bangsawan Melayu."

"Maafkan saya, Tuk. Syam, memang kakek saya," ujar Rizal pasrah.

Wajah Atuk Irwansyah tampak gundah. Ayahnya Rizal masuk, ia berdiri di belakang Atuk Irwansyah.

"Irwansyah ... lihatlah kondisiku ... umurku panjang, tapi hidupku tersiksa ... aku merasa dikejar-kejar oleh dosaku sendiri ... itulah sebabnya aku pindah ke Jakarta ... tapi ... rasa bersalah itu tetap mengikutiku." Syam menggenggam tangan Atuk Irwansyah sambil menangis. "Maafkan aku ... aku memang selalu mengatakan maaf ... tapi tetap melakukan kesalahan lagi ... dan lagi ... tapi kali ini ...."

"Aku juga tetap memaafkanmu."

"Lalu bagaimana dengan kesalahan ... aku pada orang-orang yang lainnya ,,, apakah kau juga mau memaafkannya?"

"Maaf, Syam. Soal orang lain, bukan aku yang berhak mengampunimu, tapi aku sungguh menghormatimu, karena kau sudah menyadari kesalahanmu," ujar Atuk Irwansyah sambil menyeka keringat dingin Syam.

"Lalu ke mana aku harus memohon maaf? ... sedangkan, orang-orang yang aku dzolimi sudah tak ada ... dan tampaknya sebentar lagi ... malaikat maut akan datang menjemputku," ujar Syam.

"Setahuku, selama kita masih bernafas, Allah Maha penerima taubat dari hambanya yang bersungguh-sungguh," ujar Atuk Irwansyah.

Nafas Syam tua tampak tersengal-sengal. Semua anggota keluarga ikut lebih mendekat sambil memegangi Syam.

Atuk berkata di dekat telinga Syam, "Syam, sebaiknya kau mengucapkan lafaz ..."

Syam tampak meregang, setelah itu ia diam dan tidak bergerak. Atuk Irwansyah memeriksa nafas Syam.

"Innalillahi wa inna ilaihi rojiun. Syam sudah pergi, ikhlaskan dan maafkan segala kesalahannya," ucap Atuk Irwansyah sambil menutup mata Syam.

Semua orang di ruang ICU menangis.

*****

Rumah Atuk Irwansyah, Jakarta, 1990

Tiga hari setelah pemakaman Syam, Atuk Irwansyah mengundang keluarga Rizal ke rumahnya.

"Maaf, Tuk waktu pemakaman saya belum sempat mengenalkan diri dan bicara pada Atuk," ujar Ayahnya Rizal.

"Tidak apa-apa. Sebagai anak yang baru saja kehilangan orang tua, tentu kau masih dalam keadaan berduka. Jadi, siapa yang sebenarnya anak dari Syam, kau atau istrimu?" tanya Atuk Irwansyah.

"Istri saya. Kebetulan, saya dan istri sudah mendengar cerita tentang masa lalu Atuk dari Rizal. Saya ini adalah anak kecil yang pernah Atuk ajak bermain seharian, sewaktu Atuk pulang dari Bukit Tinggi."

Atuk Irwansyah tersenyum bahagia. "Aku sudah mendugenye, Nak. Wajahmu dan Rizal memang mirip mendiang Entu Tengku Rasyid. Sedangkan Sani mirip mendiang emaknye."

"Name awak Azhar, Pak Cik Irwan," ujar Azhar sambil mencium tangan.

Atuk Irwansyah memeluk Azhar. "Alhamdulillah. Kau yang dulu kutimang, kini malah dah punye anak yang nak melamar cucuku. Lalu, di mane Entu Sani, Nak?"

"Alhamdulillah. Entu masih sehat, tetapi awak tak mungkin menemui beliau. Awak rase Pak Cik Irwan paham penyebabnye," ujar Azhar.

"Pasti karene dulu kau nak menikah dengan perempuan yang sekarang dah jadi istrimu," jawab Atuk Irwansyah.

"Betul, Pak Cik. Entu sangat marah setelah tahu kekasih awak adalah anak Ayah Syam. Bahkan Entu hampir membunuh Ayah Syam bile tak awak cegah," ujar Azhar.

Atuk Irwansyah tersenyum. "Maafkanlah Entu kalian, anak-anakku. Kalian sudah mendengar ceritaku melalui Rizal, aku harap kalian juga dapat memahami perasaaan Entu kalian."

Azhar dan istrinya mengangguk.

"Entu bukan hanye tak merestui hubungan kami. Beliau pun bilang dah memutus hubungan darah, mengharamkan awak dan keturunan memakai gelar Tengku, menginjak tanah Melayu dan sebagainye. Dah berkali-kali awak datang, tapi Entu selalu mengusir awak," ujar Azhar dengan wajah sedih.

"Astaghfirullahaladzim," sahut Tengku Farisya.

"Kalau begitu, aku akan menemani kalian bertemu Sani," ujar Atuk Irwansyah.

Istri Azhar menangis. "Maafkan saya, Tuk. Izinkan saya bicara."

"Bicaralah, Nak," pinta Atuk Irwansyah.

"Ayah saya memang bersalah dan kesalahannya sangat besar. Tapi, semasa hidup, insya Allah beliau sudah menyadari kesalahannya. Ayah tidak pernah lagi mau ikut dalam urusan politik, bahkan melanjutkan hidup dengan menjadi buruh kasar di pasar agar tidak bertemu dengan teman-temannya. Kemudian, suami saya, Azhar, yang tadinya berasal dari keluarga berkecukupan, juga telah mendapat hukuman atas kedurhakaannya pada orang tuanya. Jika, kami bertemu dengan Entu Sani, saya sangat takut hal itu juga terjadi pada anak kami, Rizal, Tuk," ujar istri Azhar.

Istri Azhar menangis. Tengku Farisya membelai pundak istri Azhar.

"Maaf, Nak. Aku tak paham," ujar Atuk Irwansyah.

"Begini, Pak Cik. Entu menyumpahi awak. Beliau bilang, seumur hidup, kau akan jadi orang susah," ujar Azhar.

"Astaghfirullahaladzim," ujar Tengku Farisya.

Istri Azhar menangis. "Sumpah orang tua pada anak yang durhaka memang fatal. Setelah kami menikah, Bang Azhar mendadak kehilangan pekerjaan, setelah itu Abang pun sulit mendapat pekerjaan, sehingga ikut membantu Ayah saya menjadi buruh kasar, demi menopang nafkah keluarga. Alhamdulillah, anak kami Rizal, nasibnya akhirnya beruntung. Saya takut, beliau juga menyumpahi Rizal seperti sumpahnya pada Bang Azhar. Biarlah hidup kami saja yang tetap susah, asalkan anak kami bisa terlepas dari dosa kedurhakaan kami," ujar istri Azhar.

Atuk Irwansyah tersenyum. "Selagi orang tua kita masih ada, jangan pernah putus asa untuk menggugah hatinya agar memaafkan kita dan jangan lupa pula untuk meminta pertolongan pada Allah. Hanya Dia yang mampu membolak-balik hati. Allah Maha Bijaksana. Tuhan takkan menghukum orang yang tak bersalah. Lagi pula, hidup susah itu bukan berarti hukuman, hidup berlebih juga belum tentu ganjaran kebaikan."

"Baiklah, Tuk. Kami akan mengikuti apapun saran Atuk," ujar istri Azhar.

"Sebaiknya kita selesaikan masalah ini. Aku sejak kecil hidup bersama Sani. Hatinya itu sangat lembut, dia menjadi sekeras itu karena sedang menyalahkan dirinya sendiri yang dianggapnya tak mampu menolong saudara-saudaranya dari peristiwa yang membuat hatinya terluka. Kalau kalian tahu di mana saudaraku berada, marilah kita mendatanginya," ajak Atuk Irwansyah.

*****

Rumah Atuk Tengku Sani, Jakarta, 1990

Atuk Tengku Sani terkejut melihat Atuk Irwansyah yang muncul di rumahnya.

"Masya Allah! Irwansyah!" teriak Atuk Tengku Sani.

Keduanya pun berpelukan sambil menangis.

"Wan! Masya Allah! Aku tak menyangke Allah masih memperkenankan kite berjumpe di usie setua ini," ujar Atuk Tengku Sani.

"Siape yang sangke? Dicari tak dapat, tak dicari malah dapat. Payah betul aku mencarimu, San! Sejak rambutku masih hitam, hingge dah macam ditabur tepung, barulah nampak muncung kau. Maye kabar anak entuku ni?"

"Dikate mendai tidak, susah pun tidak. Harte tak kurang, tapi bahagie tak dapat. Kau sendiri cemane, Wan?"

"Samelah kite ni. Tak lengkap rasanye bile tiade sodare yang sejak kecik same berjuang. Eh, tak kau suruh duduk aku ni? Mentang-mentang kursi kau mahal, tak boleh pulak aku duduk. "

"Duduklah! Tapi, jangan kau mengangkat kaki, kotor pulak nanti kursiku," canda Atuk Tengku Sani. "Aku masih macam tak percaye, Wan. Tiade angin, tiade hujan, tibe-tibe ade orang tue muncul di rumahku, kupikir orang nak minte sedekah, ternyate orang hebat yang datang. Dari mane kau tahu ini rumahku?"

Keduanya duduk di kursi.

"Jodoh, pertemuan, rezeki hingge maut, semuenya Allah yang mengatur. Jadi, kau ade di Jakarta saat peristiwe revolusi sosial?" tanya Irwansyah.

Wajah Atuk Tengku Sani berubah menjadi merah padam ketika diingatkan peristiwa keji tersebut. "Ape revolusi sosial? Pembunuhan besar-besaran tak pantas kau sebut dengan istilah macam tu."

"Betul. Tapi, yang sudah, sudahlah. Dah tue kite ni, usie dah kepale tujuh, ape pentingnye lagi urusan dunie buat kite, San?"

"Entahlah, untuk urusan dunie yang satu tu, tak bise aku melupakannye. Seharusnya aku tak meninggalkan Langkat. Aku ni dah bersumpah, bile bertemu Syam ... "

Atuk Irwansyah tersenyum. "Allah dah menentukan takdir, bahwe kite selamat dan ade saudare-saudare kite yang tak selamat. Ape kau pikir bile kite ade, mereke bise selamat?"

Mata Atuk Tengku Sani mulai berkaca-kaca. "Wan. Ape menurutmu orang-orang baik tu layak mereke bunuh, sehingge kite tak perlu menuntut balas?"

"Doakan saje, balas dendam same sekali tak membawe manfaat untuk mereke yang tlah pergi. Dulu, aku pernah mengarungi laut dengan sampan berdue dengan atukku. Beliau bilang, sekalipun badai yang nak diturunkanNye, tak kan mungkin Tuhan salah berhitung. Bile ade orang baik yang mati terhempas badai, itu karene Tuhan merindukannye. Allah nak menghapus dose dan nak segere mengganjar amal baiknye."

"Aku selalu mendoakan pare korban, tapi bile cume doa, itu malah membuat diriku semakin merase tak bergune. Wan, seharusnye aku pulang, aku tak boleh hanye mementingkan keselamatan anak dan istriku. Akhirnye aku mendapat azab, aku memiliki anak yang lebih tak bergune ketimbang diriku," ujar Atuk Tengku Sani sambil menangis.

"Janganlah kau berkate begitu pade anakmu sendiri."

"Bayangkanlah perasaan hatiku, Wan. Anakku menikah dengan anaknye Syam. Azhar dah bukan lagi anakku. Jijik betul aku padanye," ujar Tengku Sani sambil terus menangis.

"Beberapa hari yang lalu, aku sempat bertemu dengan Syam."

Atuk Tengku Sani terkejut. "Antarkan aku bertemu dengannye, Wan! Aku dah bersumpah nak membunuhnye! Ayo, Wan! Cepat!" teriak Atuk Tengku Sani sambil mengguncang-guncang tubuh Atuk Irwansyah.

Melihat Atuk Tengku Sani kalap, Irwansyah dengan tenang membacakan satu ayat suci Al Qur'an.

Atuk Tengku Sani sadar dirinya telah dikuasai nafsu syaitan. Ia segera beristighfar berulang-ulang kali hingga menjadi tenang.

"Kau pernah belajar agame hinge ke universitas Al Azhar Kairo. Kau pasti tahu ayat ape yang baru saja kubace."

"Surat Ali 'Imran ayat 159," sahut Atuk Tengku Sani pelan.

Tolong terjemahkan padaku arti ayat tadi," pinta Atuk Irwansyah.

Atuk Tengku Sani tidak sanggup melakukan permintaan Atuk Irwansyah karena tahu arti ayat tersebut, ia pun menangis.

Atuk Irwansyah menerjemahkannya, "Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya."

Atuk Irwansyah tersenyum sambil memegang pundak Atuk Tengku Sani. "Kau pasti tahu asbabun nuzul dari ayat tersebut. Ceritekanlah padaku."

"Setelah kemenangan perang Badar, Nabi Muhammad SAW bermusyawarah dengan pare sahabat untuk memutuskan perkare pade tawanan perang. Sahabat Abu Bakar. RA menyarankan untuk membebaskan tawanan dengan syarat tebusan, sedangkan sahabat Umar Bin Khattab menyarankan untuk membunuh tawanan. Lalu, turunlah ayat tersebut."

"Dari ayat tadi dah jelas. Agame kite tak mengajarkan dendam, San," ujar Atuk Irwansyah.

Atuk Tengku Sani memegangi wajahnya. Ia terkenang perlakuannya pada anaknya.

"Ceritekan padaku tentang sikap baginde Nabi Muhammad SAW dalam Fathu Makkah. Ape beliau membalas perlakuan orang-orang yang pernah berbuat zalim setelah datang kemenangan?" pinta Atuk Irwansyah.

Atuk Tengku Sani tidak sanggup menjawab karena sangat sedih.

Atuk Irwansyah tersenyum. "Saat sahabat beliau berkate, ini adalah hari pembalasan, Rasulullah SAW malah berkate ini adalah yaumal marhamah atau hari kasih sayang. Beliau bahkan melindungi orang-orang kafir yang pernah menzaliminye itu."

Atuk Tengku Sani terus mengucapkan istighfar dengan pelan untuk menenangkan hatinya sendiri.

"Memang tak mudah, San. Bile kau belum bise memaafkan mereke yang tlah berbuat zalim, setidaknye kau mau memaafkan dirimu sendiri. Jangan kau salahkan dirimu atas sesuatu yang kau tak punye kuase untuk mengubahnye"

"Astaghfirullahaladzim. Rasulullah SAW adalah penuntun kite, seharusnye aku mencontoh segale yang sudah beliau ajarkan. Baiklah, aku mau memaafkan. Lalu, ape menurutmu aku harus mendatangi Syam dan bilang bahwe aku dah memaafkannye?" tanya Atuk Tengku Sani.

"Syam telah menghembuskan nafas terakhir saat kutemui. Nampaknye die memang dah bertaubat. Semoge Allah menerime taubatnye dan menerime amal baiknye."

"Inna lillahi wa inna ilaihi rojiun. Aamiin, ya Allah," sahut Atuk Tengku Sani.

Atuk memegang pundak Atuk Tengku Sani. "Bile kau tlah bise menjadi dirimu. yang kukenal, aku nak mengenalkan cucuku, Fania,"

"Di mane cucumu?" tanya Atuk Tengku Sani.

"Die ade di mobil bersame Farisya dan yang lainnye."

"Masya Allah! Alhamdulillah, kau rupenye jadi berjodoh dengan Dek Farisya! Kenape tak kau ajak masuk, Wan? Biar aku panggil Aisyah dulu sekejap, die ade di lantai atas."

"Nanti dulu, masih ade yang perlu kubicarekan berdue. Cucuku Fania tlah dipinang oleh cucu satu-satunye Entu Tengku Rasyid. Namanye Rizal."

Atuk Tengku Sani terkejut. "Anaknye Azhar?"

"Anaknye Azhar pulak kau bilang, cucumulah, San! Bile mendiang Syam saje boleh, ape aku kurang layak menjadi besanmu?"

Atuk Tengku Sani memeluk Atuk Irwansyah lagi. Wajahnya tampak bahagia.

"Panggilkan cucuku itu, Wan! Aku belum pernah berjumpe dengan Tengku Rizal."

"Eh, main sorong saje kau tu! Tunggu dululah, jangan macam besok Belande nak datang!"

"Rindu kali aku padamu, Wan!" ujar Atuk Tengku Sani sambil menghapus air matanya.

"Dengar, San! Sudahlah gelap setelah petang, tiade lampu di batang sukun."

"Eh, sudah kunyalekan lampu yang lebih terang, masih pulak kau bilang gelap? Lalu, Wan?"

"Sudahlah jauh aku datang, malah jumpe kawan yang dah pikun, hahaha! Tue betul kau ku tengok, San."

"Macam kau tak tue saje, nanti kuberi makan kari kambing, hajap kau mengunyah, hahaha."

"Masih lengkap gigiku ni. Eh, dah tak bise kau melawan pantunku?"

"Alamak, berani betul kau sekarang. Dengar, Wan. Entah kelape entah sukun? Habis menyale pasti menjadi arang."

"Hah? Kau kutip pulak dari pantunku. Mane mungkin kau bise menang."

"Oh, kali ni kau tekapar kubuat, Wan."

"Manelah pulak? Lanjutkanlah pantunmu."

"Entah siape yang lebih pikun? Bawe rombongan, yang masuk cume seorang. Hahaha!"

Atuk Irwansyah tertawa. "Betul pulak, mari kite jemput anak-anak dan cucu-cucu kite."

Atuk Irwansyah dan Atuk Tengku Sani tampak bahagia.

*****

Kisah tentang angkasa merona berhias bintang saat bumi merana berselimut hitam telah terkubur oleh zaman. Tiada maksud membuka luka, hanya sekadar mengajak muhasabah.

Sudah saatnya kita menjadi bijak, menyadari bahwa berkaca pada cermin retak, lebih baik ketimbang mengagumi lukisan cantik diri sendiri yang tak mirip dengan wajah, karena malu rasanya bila orang lain lebih tahu tentang kita.

Ambil hikmah, buang yang yang tiada manfaat. Bila kita telah bersepakat bersaudara, marilah saling menghargai dan mencintai.

TAMAT

Catatan Kaki

97. 'Mendai" adalah sebutan untuk "baik" dalam bahasa Melayu.