webnovel

Merantau ke Negeri Belanda - a

Universiteit Leiden, Netherlands, 1938

Belanda merupakan negara yang membangun sepertiga negerinya di dataran rendah atau di bawah permukaan laut, sehingga banyak terdapat bendungan, kanal-kanal besar dan kincir angin yang berfungsi untuk memompa air dari dataran rendah dan kembali ke sungai di atas tanggul supaya tanahnya bisa ditanami.

Beberapa hal lain di negeri Belanda tampak tidak terlalu asing buat Irwansyah, karena di kota Medan juga banyak orang-orang Belanda dan bangunan-bangunan bergaya arsitektur Belanda, bedanya di sini tentu lebih banyak. Perbedaan yang mencolok adalah agama, budaya dan suhu udaranya yang sangat dingin.

Irwansyah kuliah di Universiteit Leiden, kampus tertua di negeri ini dan paling diminati di Eropa, karena melahirkan banyak cendekiawan seperti René Descartes, Rembrandt, Christiaan Huygens, Hugo Grotius, Baruch Spinoza dan sebagainya, termasuk Raja-raja dan ratu-ratu Belanda.

Kampus yang berada di kota Leiden ini juga pernah melahirkan organisasi Perhimpunan Indonesia atau Indische Vereeniging di tahun 1908, organisasi pergerakan melawan kolonialisme. Salah satu tokohnya adalah Mohammad Hatta(47), mereka melakukan aktivitasnya di asrama milik Ahmad Soebardjo(48).

Saat ini sebenarnya negara-negara di Eropa dari kubu sekutu sedang kuatir dengan peningkatan pesat militer Jerman yang pernah kalah pada masa berakhirnya Perang Dunia Kedua, tetapi karena Belanda berada di posisi netral, maka kesultanan mengizinkan pemudanya untuk sekolah di Belanda.

Tinggal di negeri asing membuat Irwansyah lebih banyak menyendiri menghabiskan waktu dengan buku-buku, padahal di kampusnya para mahasiswa yang berasal dari negeri-negeri di kepulauan Nusantara senang bergabung dalam kelompok-kelompok yang sepemikiran. Irwansyah memilih fokus pada kuliahnya agar cepat selesai dan pulang ke tanah kelahirannya.

Irwansyah tinggal di asrama mahasiswa yang dihuni oleh orang-orang dari negeri serumpun. Dia sekamar dengan Salim, anak saudagar kaya raya keturunan Aceh yang besar di Batavia. Ia pandai bergaul dengan orang-orang Belanda. Salim punya sahabat yang bernama Amin, pemuda idealis yang berasal lahir dan besar di Madiun, tetapi akhirnya pindah ke Medan. Dia sebenarnya lebih ingin kuliah di Communist University of the Toilers of the East, Moscow, tetapi tidak diperbolehkan orang tuanya yang menjadi jaksa tinggi di Medan. Salim dan Amin bagai dua kutub yang seharusnya tidak mungkin bersatu, tetapi anehnya mereka sangat akrab.

Salim dan Amin baru saja pulang dari acara kampus. Mereka masuk ke kamar Irwansyah yang sedang berkutat dengan buku.

"Hey, Bung! Aku bingung, kau betah sekali kau di kamar. Rugi kau! Di acara tadi banyak anak gadis Belanda mencarimu," ujar Salim.

"Ah, untunglah kau tak mau ikut. Ternyata acara akademisnya cuma basa-basi. Selebihnya cuma acara pesta dansa-dansi kaum borjuis," gerutu Amin.

Salim tertawa. "Apa salahnya? Acara seperti itu membuat kita jadi lebih gampang bergaul dengan anak-anak petinggi di Eropa, Bung! Kampus itu bukan cuma tempat belajar, kau harus bisa memanfaatkannya untuk mencari kolega dagang."

Irwansyah hanya menanggapi dengan senyum, lalu kembali menatap buku. Amin yang sedang duduk di kursi membakar cerutunya. Salim membuka jasnya, ia memandangi wajahnya sendiri di cermin sambil merapikan rambutnya yang klimis, kemudian melirik sampul buku yang dibaca Irwansyah.

"Karl Marx? Hehe, rupanya anda juga sudah berada di kiri, Bung," ujar Salim.

Irwansyah tersenyum. Amin ikut melirik sampul buku yang dibaca Irwansyah.

"Differenz der demokritischen und epikureischen Naturphilosophie. Orang-orang cerdas berdarah pejuang memang pasti akan bertemu dengan ideologi yang sesuai," sahut Amin bangga.

"Berdarah pejuang? Mungkin maksudmu, orang-orang berdarah panas, hahaha. Gara-gara kader-kader ISDV membuat rusuh, maka gerakan pejuang di negeri kita dipersempit oleh Belanda," ledek Salim.

"Membuat rusuh? Itu revolusi, Bung! Memangnya kau, orang yang berkulit gelap tetapi mimpi di siang bolong ingin jadi orang Belanda, hehe. Tak heran jika sudut pandangmu selalu condong pada kaum kapitalis," balas Amin.

"Aku tak ingin jadi orang Belanda, tapi ingin jadi orang sukses. Justru kau orang kulit gelap yang terobsesi ingin jadi orang Soviet, hehe. Aku juga tidak pernah mau terikat ideologi, terlebih lagi pada ideologi tak produktif seperti yang kau anut. Apa untungnya? Hehe," balas Salim.

Amin tertawa. "Selalu tentang untung-rugi. Dari kalimatmu sudah terbukti, kau memang terlahir sebagai seorang kapitalis, bahkan kau tak perlu lagi dipengaruhi atau mempelajari itu dari para pemikir ide kapitalis lagi."

"Tentu!" Salim tersenyum sambil meletakkan jasnya di kursi, kemudian ia duduk di kursi yang bersebelahan dengan Amin. "Oh iya, kita hampir saja lupa. Bung Irwan, selamat! Anda telah menjadi saudara ideologis Bung Amin."

Irwansyah meletakkan buku yang dibacanya lalu duduk di pinggir ranjang.

"Kau salah alamat. Kita ini sama-sama tak mau terikat pada ideologi. Bedanya, kau memilih mengabaikannya, sementara aku justru ingin mengenalnya. Aku ingin tahu bagaimana cara mereka melahirkan pemikiran-pemikiran yang bisa membuat banyak orang menjadi fanatik," komentar Irwansyah.

Salim menyikut Amin sambil tertawa. "Kita salah, ternyata Bung Irwan bukan saudaramu, Bung."

"Justru, aku malah bersaudara dengan semua orang." Irwansyah pun menunjukkan buku-bukunya. "Ini buku-buku yang Bung Amin suka, kajian tentang pemikiran Karl Marx, Lenin, Stalin, Chen Duxiu dan yang lainnya. Sementara ini adalah buku-buku yang sudah melekat pada diri Bung Salim walau ia tak suka membacanya. Kajian pemikiran Adam Smith, Keynes, David Ricardo, Thomas Malthus dan yang lainnya. Sedangkan ini adalah buku-buku berbahasa Arab kiriman saudaraku dari universitas Al Azhar Kairo, kitab-kitab pengetahuan modern yang ditulis Ibnu Khaldun, Al-Farabi, Ibnu Sina, Al-Biruni dan sebagainya. Semuanya aku baca."

"Bukan main, kawan kutu buku kita ini. Buku mana yang paling tepat menurutmu?" tanya Salim.

"Tentunya sebagai sesama muslim, seharusnya kita sepakat bahwa Al Qur'an dan sunnah adalah pedoman hidup. Ini sangat penting untuk menyaring pemikiran manusia-manusia tadi. Jika tidak sesuai, artinya tidak tepat," jawab Irwansyah.

"Nah, kau baca itu, Min! Hahaha!" ujar Salim pada Amin.

Amin diam. Untuk hal yang satu ini, ia tidak berani mendebatnya.

"Oke, sebagai orang Islam, aku setuju. Yang aku heran, kawan kita ini katanya cucu guru ngaji, tetapi kenapa dia bisa berdiri di sebelah kiri?" ledek Salim pada Amin.

"Tidak semua orang kiri itu atheis, Bung!" sanggah Amin.

"Berarti kau ini belum kiri kaffah. Masih kiri abangan, hahaha!" ledek Salim.

"Sudahlah, perdebatan ini menarik kalau kita bawa-bawa agama. Bandingkan saja langsung antara kapitalis dengan sosialis. Pakai hati nurani, anda lebih setuju pada ideologi yang membela para borjuis atau ideologi yang membela para kaum proletar?"

"Biar aku yang jawab," potong Salim sambil menatap Amin. "Bung! Bapakmu kan seorang kepala jaksa, betul?"

'Kenapa kau jadi bawa-bawa bapakku, Bung?" tanya Amin.

"Oh Maaf, tapi ini penting untuk mengingatkanmu. Kau anak orang berada, oleh sebab itu kau tak pernah merasakan pusing cari uang. Begini, Bung, dulu kakekku sangat miskin. Sejak kecil bapakku telah dipaksanya bersusah payah cari uang. Dengan kegigihan, usaha perdagangan mereka berkembang pesat dan punya cabang di mana-mana. Lalu, apakah aku lantas boleh ongkang-ongkang kaki? Tidak, Bung! Sejak kecil aku juga dipaksa bapakku untuk ikut berkeringat. Kau tahu? Aku sekolah di Belanda karena keinginanku sendiri, bukan karena perintah siapapun. Aku ingin belajar hukum sekaligus memperluas hubungan bisnis," ujar Salim bangga.

"Hebat! Lalu apa hubungannya dengan diskusi kita?" tanya Amin.

"Ini soal tujuan! Tujuanku sudah kujelaskan. Tujuan Bung Irwan sekolah hukum karena akan mengurus urusan hukum perusahaan minyak kesultanan Langkat. Cuma kau di sini yang tidak punya tujuan. Bapakmu memaksamu sekolah hukum agar kau nantinya jadi seperti dia, sementara anaknya yang tidak suka pada bidang hukum, malah lebih banyak menghabiskan waktu di luar kampus untuk mencari jati diri. Karena kau tidak punya tujuan, akhirnya kau terperangkap menjadi orang kiri. Ya, itukan hanya demi terlihat punya identitas, setidaknya bisa menutupi kelemahan akademismu hahaha!" jawab Salim.

"Kau bicara panjang lebar, tapi tidak menjawab pertanyaanku. Apa yang salah dengan orang kiri? Kalau tidak ada orang-orang berpaham kiri, siapa yang mau membela para kaum proletar?" tanya Amin.

"Verdomme! Sejak kapan orang kiri membela para kaum proletar? Kalian cuma bisa marah-marah menyebar kedengkian, sementara orang kapitalis yang kalian protes, justru sudah memberi sesuatu yang nyata, upah," jawab Salim.

Amin tertawa. "Upah kecil kau banggakan? Kaum kapitalis menciptakan kondisi agar para buruh tetap miskin selama-selamanya, karena mesin-mesin hidup yang murah itulah yang membuat kalian kaya. Kalian juga menghalangi ikut campur negara, agar bisa memonopoli penguasaan ekonomi dengan kekuatan modal. Kaum proletar butuh keadilan, itulah yang diperjuangkan orang-orang kiri, Bung!"

"Kalau para sosialis hingga komunis benar-benar ingin berjuang mengubah nasib proletar, jangan dengan cara menyebar kedengkian, Bung. Nanti hasilnya adalah perampok, hahaha! Belajarlah dari cara kakekku. Tanamkan sifat tidak malas, ajari kemampuan berdagang dan berikan modal, apa kalian mampu?" tanya Salim.

Amin tampak berpikir sehingga Salim tertawa.

"Jelas tidak! Lucu sekali bukan? Orang-orang kiri bercita-cita mulia ingin mengubah nasib proletar, tapi kalian sendiri cuma sekumpulan orang-orang pemalas yang tidak punya kemauan dan apalagi kemampuan berdagang, bila punya modal pun pasti akan habis begitu saja. Ingin hasil tetapi tak mau berkeringat, makanya kalian sibuk menuntut," ledek Salim.

"Lalu kenapa kalian juga tidak membantu para proletar dengan cara yang tadi kau sebutkan? Kalian kan mampu," tanya Amin.

Salim tertawa hingga terbatuk-batuk. "Kau dengar, Bung Irwan? Lagi-lagi orang kiri ini hanya bisa merengek pada kaum kapitalis. Apa pendapatmu, Bung?"

Irwansyah tersenyum sambil mengangkat Al Qur'an. Salim menyikut Amin sambil cengengesan.

"Ah, kau ini, Wan. Kenapa selalu bawa-bawa agama?" tanya Amin.

"Karena jawabannya ada di situ. Kalian pasti tahu, Agama mengajarkan kita untuk berlaku adil. Orang miskin harus berusaha, orang kaya tidak boleh serakah. Orang miskin jangan meminta, orang kaya tidak boleh kikir. Orang miskin jangan dengki, orang kaya tidak boleh pamer. Jika sejak awal kita bawa agama, kalian tak perlu berdebat. Perlu kubacakan dalil-dalilnya, bila kalian tak percaya?" tanya Irwansyah.

"Jawablah, Min, hehe," canda Salim.

Amin tersenyum sambil menggelengkan kepala. "Tak perlu, aku percaya."

"Sudahlah, jika kalian membela ideologi yang hanya membela kepentingan satu golongan sosial, sampai kiamat pun tidak akan ada titik temu. Kalau kalian masih mau lanjut, silakan. Aku izin pindah ke ruang sebelah, mau sholat malam," ujar Irwansyah.

Amin berdiri. "Wan, biar kami aja yang pindah."

"Lho, kupikir, Amin berdiri mau ikut sholat, hahaha!" ujar Salim.

Amin tertawa.

"Ikut sholatlah, Min. Aku tahu, kau kan belum kiri kaffah. Mumpung satu kaki kau masih berpijak di tempat Irwan berdiri, hahaha!" canda Salim sambil berdiri.

"Justru, kau yang harus ikut sholat, Lim. Setidaknya, kalau kau rajin sholat, kau masih punya alasan, saat ditanya kenapa uang kau jadikan Tuhan," balas Amin.

Irwansyah merangkul kedua temannya. "Sudah, aku saja yang ke ruang sebelah. Seandainya kalian mau sholat, jangan heran kalau Ratu Belanda membangun masjid besar di halaman Leiden," canda Irwansyah.

*****

Catatan Kaki

47. Dr. (H.C.) Drs. H. Mohammad Hatta (1902 - 1980) adalah negarawan dan ekonom Indonesia yang menjabat sebagai Wakil Presiden Indonesia pertama.

48. Mr. Raden Achmad Soebardjo Djojoadisoerjo (1896 - 1978) adalah tokoh pejuang kemerdekaan Indonesia, Menteri Luar Negeri Indonesia yang pertama. Ia memiliki gelar Meester in de Rechten dari Universitas Leiden Belanda pada tahun 1933.

Next chapter